Senin, 28 September 2015

Empat Swadharma Pandita

Sista ngaran sang hyang satyavaadii,
sang aapta, sang patirthan,
sang panadahan upadesa
(Sarasamuscaya, 40) 

Maksudnya:
Sista adalah orang yang selalu berbicara berdasarkan kebenaran (satya) sang aapta (orang yang selalu dapat dipercaya), sang patirthan yaitu orang yang jadi tempat penyucian diri dan orang selalu menyebarkan pendidikan kerokhanian (panadahan upadesa). 


DALAM Bhagawad Gita IV. 19 dinyatakan, orang yang diberi gelar Pandita, orang yang tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya. Keyakinannya dikuatkan oleh Jnyana Agni atau nyala api ilmu pengetahuan suci. Sejalan dengan Sloka Bhagawad Gita itu adalah Sarasamuscaya Sloka 500 yang menyatakan, kalau ada orang yang sadar akan hakikat dirinya beliau disebut majnyana (berilmu pengetahuan suci). Beliau tidak dilekati rasa suka dan duka. Beliau itulah yang patut diberikan gelar Pandita. 

Jadinya orang yang bergelar Pandita, orang yang memiliki ilmu pengetahuan suci. Mampu mengamalkan pengetahuan suci dalam kehidupan individual dan sosial. Orang yang demikian dalam Manawa Dharmasastra XII. 109 disebut Sista Brahana. Brahmana yang benar-benar ahli Weda. Istilah Sista dalam Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra sering dijadikan untuk menyebutkan para Pandita. 

Sista dalam bahasa Sansekerta yakni orang yang ahli Weda atau orang yang suci karena Weda. Pandita itu juga disebut Stotriya. Artinya, orang yang memiliki wewenang mengucapkan mantra-mantra Weda. 

Di Bali, Pandita memiliki kedudukan yang sangat utama dan mulia. Dalam kutipan Sarasamuscaya 40 di atas wujud Dharma ada tiga yaitu Weda Sruti, Weda Smrti dan Sang Sista atau Pandita. Sarasamuscaya 40 juga menyatakan, swadharma Sang Sista atau Pandita itu empat yaitu: Satyawaadii, Sang Apta, Sang Patirthan dan Sang Panadahan Upadesa. 

Satyawaadi artinya swadharma Pandita untuk selalu berbicara yang berdasarkan kebenaran Weda. Satya adalah kebenaran Weda yang tertinggi. Satya dalam Slokantara, Sloka 2 dinyatakan lebih utama dari seratus kali melakukan upacara yadnya. Menghindari Pandita salah bicara di PHDI Pusat dari PHDI Pusat tahun 1980 pernah ditradisikan Pandita itu hanya memberikan Upanishad. Berbicara memberikan tuntutanan pawisik suci kepada umat. Artinya, hanya menyampaikan suatu ajaran Hindu yang benar-benar sudah baku dalam kitab suci Sastranya. 

Pandita dalam menyampaikan ajaran suci disebut Dang Acarya yang umumnya hanya mengajarkan Dharma pada umat. Dang Acarya umumnya tidak memimpin upacara agama. Hal ini dimaksudkan untuk berkonsentrasi pada satu bidang swadharma saja. Sedangkan untuk ceramah agama yang disebut dharma wacana hanya boleh diberikan oleh walaka. Dharma wacana itu adalah pembicaraan agama yang masih dapat didiskusikan (dharma tula) oleh umat. Diskusi dalam rangka memperluas wawasan umat dalam melakukan ajaran Hindu yang dianutnya. 

Swadharma yang kedua dari Pandita adalah Sang Apta. Menjaga agar beliau selalu dapat dipercaya. Karena itu, seorang Pandita harusnya sangat hati-hati menjaga kesucian diri, baik dalam hal berbicara maupun berpreilaku. Untuk itulah kitab suci menetapkan Pandita hendaknya selalu melangkah berdasarkan kitab suci. 

Swadharma yang ketiga adalah menjadi tempat bagi umat untuk mendapat penyucian diri. Dalam hal inilah Pandita disebut Sang Patirthan. Tirtha artinya suci. Dengan Tirtha itulah Pandita menuntun umatnya menapak kehidupan yang makin suci. Tirtha dengan sarana air cusi hanya simbolis sebagai media untuk mendorong umat agar senantiasa berusaha secara sadar melakukan transpormasi diri dan sosial ke arah yang makin suci. 

Swadharma inilah yang paling berat namun mulia dari seorang Pandita. Apa lagi zaman Kali ini intelektualitas umat lebih kuat daripada kesucian moral dan mentalnya, sehingga meyakinkan umat sungguh tidak murah. Dalam hal inilah Pandita tidak bisa bicara terlalu bebas. Swadharma yang keempat adalah Panadahan Upadesa. Artinya, Pandita itu harus terus-menerus menyebarkan pendidikan rohani menguatkan karakter umat. 

Pendidikan sekarang lebih banyak memberikan Guna Widya (pendidikan keterampilan) untuk mencari nafkah. Pesatnya pendidikan keterampilan dan keahlian itu hendaknya diimbangi pendidikan yang membangun karakter (Tattwa Adyatmika) agar peserta didik memiliki kemampuan mengelola hidupnya di dunia ini secara seimbang. Mengembangkan pendidikan Tattwa Adyatmika ini sebagai swadharma yang juga sangat mulia bagi seorang Pandita. 

* I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net