Selasa, 01 September 2015

Janganlah Biarkan Adat Mengalahkan Agama

Idaanim dharmapramaanaanyaaha
Vedo'khilo dharmamulam.
Smrtisila ca tadwidam.
Aacarascaiva saadhuunaam
Atmanastustireva ca.
(Manawa Dharmasastra. II.6) 

Maksudnya:
Seluruh pustaka suci Veda (Sruti) adalah sumber pertama dari Dharma (agama). Kemudian smrti, sila (tingkah laku yang mulia), Acara (kebiasaan-kebiasaan pengamalam agama), dan akhirnya kepuasan Atman. 


MEMPERHATIKAN Sloka Manu Smrti ini sumber tertinggi dari ajaran agama Hindu itu adalah Veda sabda suci Tuhan. Kemudian barulah hasil dari apa yang diingat oleh para resi yang disebut Smrti. Kitab Smrti ini pun ada empat kelompok. Ada kitab Smrti pedoman beragama Hindu untuk Kerta Yuga, ada untuk Treata Yuga. Dwapara Yuga dan ada untuk Kali Yuga. Dari kitab Smrti inilah dikembangkan menjadi Sila artinya tingkah laku yang patut dijadikan panutan atau yang patut dihindari. 

Dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana kita akan menjumpai banyak sekali perilaku yang patut dijadikan contoh dan ada juga yang patut dihindari. Perilaku yang patut dicontoh adalah para Pandawa, Sri Rama, Sri Krisna, para resi, dll. Ada juga perilaku yang patut dihindari seperti perbuatannya Rahwana, Sakuni, Duryudana, Dusasana, dll. Dalam kitab-kitab Purana banyak ada contoh perilaku untuk bisa dipakai pedoman dalam hidup ini. 

Itihasa dan Purana itu sebagai sumber ajaran Hindu yang ketiga. Setelah itu barulah Acara. Dalam bahasa Sansekerta kata Acara artinya tradisi agama. Kitab Sarasamuscaya 177 menjelaskan Acara sbb: Acara ngaraning prawrtii kawarah ring aji. Artinya Acara adalah pengalaman (prawrtti) ajaran agama. Istilah kawarah ring aji ini maksudnya apa yang diajarkan dalam agama. 

Kata aji dalam bahasa Jawa Kuna artinya kitab suci. Jadi, Acara itu adalah tradisi pengalaman yang diajarkan dalam kitab suci. Tidaklah setiap tradisi itu adalah berasal dari kitab suci. Sumber terakhir dari kebenaran Dharma itu adalah Atmanastusti artinya kepuasan Atman. Kepuasan Atman itu tidak sama dengan kepuasan nafsu. Tidaklah dapat diartikan apa yang memuaskan diri kita itulah kebenaran Dharma. Jadi, tradisi agama atau adat budaya Hindu itu adalah adat yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Ajaran agama Hindu itulah yang harus diadatkan oleh umat Hindu. 

Janganlah ajaran agama Hindu itu dikalahkan oleh adat. Seperti bergesernya ajaran tabuh rah menjadi judian sabungan ayam. Bahkan, ada desa pakraman sampai mewajibkan krama banjarnya matajen. Kalau tidak ikut dikenai denda. Dalam hal ini sangat jelas suatu penyimpangan pemberdayaan desa pakraman melalui banjarnya. 

Langkah ini adalah menggeser tradisi agama Hindu menjadi tradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Tindakan untuk mewajibkan krama banjar berjudi sabungan ayam adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu dan hukum negara. Kitab suci Rg Weda Mandala X Sukta 34 Mantra 3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang dan cukupkan dan puaskanlah penghasilan itu. 

Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra IX, Sloka 221 s.d. 228 menegaskan tentang pelarangan orang berjudi, minuman keras yang disebutkan sebagai pencurian tersamar. Dalam kitab Manawa Dharmasastra tersebut ada dua istilah yang disebutkan yaitu Dyuta artinya judian dan Samahwaya artinya pertaruhan. Bermain dengan benda mati seperti dengan uang disebut berjudi (Dyuta). Sedangkan kalau berjudi menggunakan benda hidup seperti ternak disebut Samahwaya. Dalam bahasa Sansekerta Samahwaya itu artinya pertaruhan. Dalam Sloka 221 kitab Manawa Dharmasastra tersebut di atas disebutkan: Hendaknya perjudian dan bertaruh supaya benar-benar dilarang di wilayah pemerintahan, karena kedua hal itu sebagai penyebab hancurnya negara dan merosotnya generasi muda. 

Dalam Sloka 222 disebutkan perjudian dan pertaruhan menimbulkan pencurian karena itu pemerintah harus melarang kedua kegiatan itu. Sloka 224 menyebutkan hendaknya pemerintah memberikan hukuman badan pada mereka yang berjudi. Sloka 225 menyebutkan judi dan pertaruhan, orang-orang kejam dan penjual minuman keras harus segera dijauhkan dari wilayah negara. Sloka 226 menegaskan bahwa berjudi dan bertaruh itu sebagai pencuri tersamar. Kebiasaan buruk itu segera akan mengganggu dan mempengaruhi penduduk yang baik-baik. 

Sloka 227 menegaskan bahwa judi itu selalu sebagai sumber permusuhan, karena itu orang yang baik hendaknya menjauhi judian itu meskipun hanya untuk hiburan belaka. Jadinya pernyataan kitab suci wahyu maupun kitab suci tafsir atau Smrti sudah sangat tegas melarang judi itu. Secara yuridis judi juga dilarang di wilayah hukum Republik Indonesia oleh Undang-undang No. 7 Tahun 1974. 

Kalau ada desa pakraman atau banjar yang mewajibkan anggota krama-nya berjudi sabungan ayam itu jelas tindakan menodai agama dan hukum negara. Meskipun judian sabungan ayam itu sudah mentradisi hendaknya tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama dan hukum agama itu dihapus secara bertahap. Jangan dibiarkan terus adat yang sesat itu mengalahkan agama. 

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net