Selasa, 27 Oktober 2015

Benarkah Orang Bali Materialistis?

Yanta dharmaaya aarthaaya
na kaamaaya nacaantaye.
Vyartham tajaanminaam janma
Maranaayaiva kevalam (Sarasamuscaya.270).

Maksudnya:
Orang yang gagal mewujudkan Dharma, Artha, Kaama dan Moksha, sangat sayang ia ada, tiada berguna hidupnya. Orang yang demikian hanya mementingkan memelihara badan wadagnya saja yang kemudian akan dicaplok oleh maut.


KINI ada pandangan yang menilai bahwa orang Bali sudah berubah menjadi semakin materialistis. Pandangan tersebut tidak perlu membuat orang Bali menjadi tersinggung atau berkecil hati. Karena pandangan tersebut bisa ya dan juga bisa tidak. Manusia yang hidup di kolong langit ini ada bermacam-macam isinya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Tentunya juga ada yang materialistis ada juga yang tidak. Yang materialistis itu adalah mereka yang lebih mementingkan nilai material daripada nilai spiritual.

Kalau hanya mementingkan nilai spiritual dan mandek sampai di sana, juga tidak baik. Karena itu, perlu seimbang antara materialistis dan spiritualistis. Sloka Sarasamuscaya yang dikutip di atas menyatakan bahwa hidup ini harus secara seimbang dan bertahap mewujudkan empat tujuan hidup. Dalam Brahma Purana. 228.45 menyatakan: Dharma artha kaama mokshanam sarira sadhanam.

Artinya, badan yang disebut sarira ini adalah alat untuk mendapatkan dharma artha kaama dan moksha. Sarira itu ada tiga yaitu Sthula Sarira yaitu badan wadah, Suksma Sarira adalah badan astral, dan Antakarana Sarira badan penyebab. Ketiga badan ini adalah alat bukan tujuan untuk mencapai tujuan hidup tersebut. Dalam kehidupan dunia modern manusia itu sangat dinamis. Ada yang seimbang menjalankan dinamika kehidupannya, ada juga yang tidak seimbang. Yang tidak seimbang itu pun wujudnya berbeda-beda.

Ada yang lebih mengutamakan nilai-nilai dharma. Ada juga yang lebih berdinamika dalam mengejar artha dan kaama. Orang yang hanya mengutamakan dharma dengan mengabaikan artha dan kaama, ia pun akan madek dalam mewujudkan dharma itu dalam hidupnya. Karena dharma akan menjadi impian kosong kalau tidak dengan artha.

Artha dan kaama akan menjadi dosa kalau diperoleh bertentangan dengan dharma. Sarasamuscaya 263 menyatakan kalau artha itu didapatkan berdasarkan dharma itulah yang disebut laabha namanya. Orang yang mendapatkan artha seperti itu sungguh-sungguh ia akan mendapatkan kebahagiaan.

Kembali pada pembahasan orang Bali semakin materialistis. Kalau materi itu dicari dengan mengabaikan nilai-nilai moral, itulah yang dapat digolongkan manusia materialistis. Tetapi kalau artha itu didasarkan pada dharma untuk mewujudkan sriya kaama atau keinginan mulia itulah yang diharapkan.

Kalau artha yang diperoleh berdasarkan dharma tetapi digunakan untuk mewujudkan wisaya kaama (keinginan mengumbar nafsu) itu juga usaha yang dosa. Sebalik Sarasamuscaya 264 menyatakan kalau artha diperoleh dengan adharma tetap hasilnya untuk membiayai usaha-usaha yang bersifat dharma, itu juga usaha yang sia-sia tidak akan memberi pahala yang mulia.

Orang Bali (baca: Hindu) pada awalnya bersikap seimbang mewujudkan empat tujuan hidup menurut ajaran agamanya itu. Misalnya tahun 1980-an saat cengkeh berjaya. Dari hasil cengkehnya itu mereka gunakan pertama-tama mewujudkan kewajiban-kewajiban agamanya. Cuma karena kurang tepat caranya memahami pengertian yadnya, maka hasil cengkehnya itu lebih diutamakan untuk membiayai upacara yadnya. Memperbaiki rumah kemudian barulah mereka menyekolahkan anak-anaknya.

Kalau saja wawasannya tentang yadnya itu tepat maka hasil industri pariwisata akan digunakan secara seimbang antara menyekolahkan putra-putranya, menolong orang miskin secara benar dan juga melangsungkan upacara yadnya. Dalam upacara yadnya itu terkandung nilai-nilai tattwa Hindu yang patut dipahami oleh Umat.

Tattwa yang terkandung dalam upacara yadnya itulah yang patut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena tekanan beragama pada zaman kali ini adalah dana punia. Untuk menjaga Bali sebagai wadah kehidupan yang nyaman banyak sekali dibutuhkan uang untuk dipuniakan agar berbagai program membangun Bali menjadi sukses. Karena itu, semangat orang Bali mencari uang sebanyak-banyaknya akan menjadi mulia sepanjang didapatkan dengan jalan dharma dan juga digunakan untuk mengupayakan Bali sebagai daerah yang aman, nyaman, adil dan sejahtera.

Julukan orang Bali semakin materialistis akan menjadi positif apabila digunakan untuk membangun keseimbangan itu. Profit berbagai usaha di Bali sudah sangat luar biasa. Tetapi, pemanfaatannya yang tidak adil. Kalau ketidakadilan ini berlanjut maka Bali akan rusak karena uang. Kalau ia ditata dengan baik dan menghasilkan kesejahteraan yang adil maka uang itu amat mulia.

Disebut materialistis apabila uang itu memperalat manusia. Kalau sebaliknya uang itu adalah alat manusia mewujudkan dharma dan mengendalikan keinginannya (kaama). Dengan konsep itu orang Bali yang mengejar uang sebagai alat tidaklah materialistis. * I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net