Sabtu, 03 Oktober 2015

Menguatkan Rohani para Politisi

Prajanam raksanam daanam.
Ijyadhyayanammeva ca.
Visayesvaprasaktatisca.
Ksatriasya samaasatah.
(Manawa Dharmasastra, I.89). 

Maksudnya:
Menciptakan rasa aman (raksanam) dan menciptakan tubuhnya kesejahteraan (Daanam) untuk rakyat (Praja), memuja Tuhan (Ijya), mempelajari kitab suci (dhyayana). Mengendalikan hawa nafsu (visayavaprasakta). Semuanya itu kewajiban serta ciri Ksatria Varna. 


Pemilihan umum adalah proses demokrasi politik. Artinya rakyatlah yang memilih para politisi untuk menjadi pemimpin di berbagai lembaga negara. Para pemimpin itulah yang akan menentukan berbagai kebijaksanaan politik negara. Dari kebijakan politiklah datangnya berbagai kebijakan dalam menata kehidupan bersama dalam suatu negara. 

Para pemimpin politik itu dalam sistem profesi Hindu tergolong Ksatria Varna. Dalam Sloka Manawa Dharmasastra tersebut di atas kewajiban utama para politisi kepada rakyat adalah menciptakan rasa aman (Raksanam) dan menciptakan kondisi ekonomi agar rakyat dapat mengembangkan kehidupan yang sejahtra (Daanam). Dua hal itu adalah kewajiban utama politisi kepada rakyat. 

Agar politisi itu dapat melakukan dua kewajiban utama tersebut, ia harus membina diri secara jasmani dan rohani. Politisi harus rajin melakukan pemujaan kepada Tuhan. Hal itu disebut ijyanam. Bukan mendadak rajin sembahyang saat-saat pemilu saja. Setelah pemilu selesai terus sembahyangnya sangat jarang. Apalagi gagal mendapatkan jabatan sebagai kelanjutan hasil pemilu. 

Politisi yang demikian itu tergolong politisi amatiran. Para politisi juga seharusnya rajin mempelajari kitab suci atau Dhyayana. Politisi itu harus mampu mengendalikan hawa nafsunya (Visaya Vaprasakta). Dalam Manawa Dharmasastra XI.236 dinyatakan: tapa atau proses penyucian dari politisi itu adalah mengabdi dan melindungi rakyat. 

Dalam Sloka tersebut dinyatakan sbb: Tapah ksatriasya raksanam. Politisi akan terpanggil jiwanya untuk berpolitik dengan baik dan benar apabila ia memiliki rohani yang cerah dan kuat. Memuja Tuhan, mendalami kitab suci dan mengendalikan hawa nafsunya adalah sebagai suatu kegiatan hidup sehari-hari yang seharusnya dilakukan oleh politisi yang benar. Dari kegiatan tersebut politisi tersebut akan mendapatkan kekuatan rohani. 

Dari kekuatan rohani itulah politisi akan memiliki kemampuan untuk menampilkan moral yang luhur dan mental yang tangguh. Dengan moral yang luhur dan mental yang tangguh politisi baru dapat melakukan kegiatan politik praktis yang normatif. Prinsip politik yang normatif adalah mengabdi pada rakyat. Karena itu, proses politik itu ada tiga tahap yaitu hegemoni (pencari pengaruh), dominasi (berkuasa) dan dedikasi yaitu pengabdian. 

Mencari pengaruh dan kekuatan bukan untuk kewibawaan atau ketenaran dan kekayaan. Pengaruh dan kekuasaan adalah untuk dijadikan media mengabdi pada rakyat berdasarkan kebenaran. Dalam dinamika politik seperti pemilu adalah berfungsi untuk menentukan siapa sesungguhnya pengaruhnya dapat diterima oleh rakyat. Siapa yang dapat diteriam oleh rakyat memegang kekuasaan dalam berbagai jabatan politik. 

Proses tersebut hendaknya dijaga oleh para politisi kemurniannya. Jangan ada hal-hal yang dimanipulasi. Lebih-lebih di Bali, pulau yang kecil ini kehidupannya bersandarkan pada keamanan dan kedamaian. Dari adanya keamanan dan kedamaian itulah pariwisata dapat berlangsung dengan normal. Hal itu seharusnya merupakan kepedulian para politisi. Demikian juga dalam proses kampanye seyogianya simbol-simbol agama dan adat jangan dimanipulasi untuk memenangkan partai politik tertentu. 

Kegiatan politik seharusnya mampu memberikan contoh untuk bersikap proporsional dan profesional secara benar dan tepat. Sikap tersebut dapat ditampilkan apabila politisi itu sudah mampu menguasai dirinya dan berpolitik dengan rasional. Kegiatan politik di Bali tidak akan menjadi aspek yang mengganggu apabila para politisi yang berpolitik mengikuti aturan berpolitik yang normatif. Tidak melanggar moral agama dan hukum positif yang berlaku. 

Berpolitik secara sportif dan menggunakan nilai-nilai moral yang sudah ajeg berlaku di Bali. Misalnya, dalam mengambil hati rakyat menggunakan pendekatan yang disebut ngalap kasor. Artinya, mengambil hati rakyat dengan cara merendah. Tidak dengan cara memaksakan kehendak. Ada juga istilah ngejuk be ditelagane, be bakat telagane tusing puwek. Seperti menangkap ikan di kolam. Ikan didapat air kolam tidak keruh. 

Maksudnya, dalam pemilu mencari kemenangan dengan tidak membuat keruhnya keadaan masyarakat. Kearifan lokal Bali tersebutlah yang hendaknya dijadikan pegangan dalam memenangkan tujuan politik. Leluhur kita di Bali sesungguhnya banyak mewariskan berbagai kearipan untuk dijadikan pegangan untuk menapaki kehidupan, termasuk berpolitik. 

* I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net