Jumat, 02 Oktober 2015

Melindungi Tradisi, Misi yang Suci

Advestaa sarva bhuatanaam.
Maitrah karuna Eva ca.
Nirmamo nirahamkaarah.
Sama duhkha sukhah ksami.
(Bhagavad Gita. XII.13) 

Maksudnya:
Kasihilah semua makhluk. Bersahabatlah dengan penuh rasa kasih sayang. Janganlah merasa paling memiliki (nirmama), tidak egois (nirahamkara). Bersikap seimbang dalam keadaan suka dan duka (sama dhukha sukha) dan menjadilah seorang pemaaf (ksami). 


DALAM kehidupan bersama di planet bumi ini manusia akan menderita apabila hidup saling membenci dan saling mencurigai. Di Indonesia keadaan bangsa sangat beraneka ragam. Demikian juga keadaan masyarakat yang menghuni Pulau Bali ini. Di Pulau Bali ini tradisi saling menghormati dalam persahabatan sudah dibangun dari sejak zaman kerajaan. Meskipun sang Raja menganut agama Hindu, sang Raja tidak menghindukan semua penduduknya. Justru mendorong penduduknya menaati agamanya masing-masing. 

Karena itu, pemerintah kerajaan pun memfasilitasi semua umat yang berbeda agama secara adil. Umat yang muslim dibantu mendirikan mesjid, yang Kristen dibantu mendidikan gereja, demikian juga yang Buddha. Jadinya umat yang bukan beragama Hindu pun dibantu membuatkan fasilitas beragama agar mereka dapat melaksanakan agamanya dengan baik. 

Kebijakan inilah sampai menimbulkan tradisi manyama braya di Bali dengan tidak membeda-bedakan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Hal ini terjadi karena kitab suci mengajarkan janganlah membenci atau kasihilah semua makhluk. Ajaran itu dipahami dan diamalkan terutama oleh para pemimpin Bali dimasa lampau. Apalagi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki Tri Premana (sabda, bayu dan idep). Sabda, bayu dan idep-nya itulah yang semestinya dijadikan dasar membangun kekuatan untuk memelihara tradisi manyama braya itu. Amanat untuk mengasihi semua makhluk saya yakin ada pada kitab suci semua agama. 

Pada zaman modern dewasa ini tradisi manyama braya itu patut dipelihara dengan sebaik-baiknya. Tradisi manyama braya itu tidak saja dengan sesama umat yang berbeda agama, juga sesama umat yang seagama. Gangguan pada tradisi manyama braya itu tidak semata-mata datang dari perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat. Gangguan itu juga datang dari perbedaan asal daerah asal desa, asal banjar, soroh, dll. Padahal mereka itu menganut agama yang sama. Kalau kita perhatian kutipan Sloka Bhagavad Gita di atas kemajuan pada zaman modern ini banyak menghasilkan manusia-manusia yang mamakara yaitu merasa memiliki dan merasa miliknyalah yang baik dan benar, sedangkan milik orang lain jelek dan salah. Sifat yang belum mampu dikalahkan pada zaman modern ini masih banyak orang ahamkara, artinya yang egois menganggap dirinyalah yang paling penting. Semua pihak harus mementingkan dirinya. 

Suka dan duka dalam hidup ini belum diterima dengan sikap seimbang. Padahal suka dan duka itu tidak mungkin terpisah dari perjalanan hidup ini. Demikian juga sikap hidup yang disebut Ksami atau Ksama yang artinya menjadilah seorang pemaaf semakin tidak menjadi pegangan dalam hidup kita. Kalau ajaran dalam kitab suci tersebut belum diamalkan maka tradisi manyama braya itu akan tidak terpelihara dengan baik. 

Kehidupan di Bali yang pernah ajeg memelihara tradisi manyama braya dewasa ini menjadi terganggu. Pendatang maupun yang didatangi hendaknya sama-sama terpanggil bahwa semua orang wajib memelihara tradisi yang baik dan mulia itu. Apalagi dalam paradigma bertamu. Tamu yang datang hendaknya merasa menjadi tamu. 

Tamu yang baik semestiya menunjukkan sikap yang mulia. Kalau tamu itu datang dengan sikap arogan itu bukanlah tradisi tamu. Tradisi tamu semestinya kulo nuhun istilah Jawa. Ngalap kasor istilah di Bali. Kalau pendatang sebagai tamu yang didatangi pun wajib menampilkan diri sebagai tuan rumah yang baik. Memperlakukan tamunya secara terhormat sesuai dengan kemampuannya. Meskipun demikian, bukan berarti tuan rumah itu meninggalkan jati dirinya demi menghormati tamunya. 

Tradisi manyama braya dan tradisi bertamu adalah tradisi yang sangat mulia. Memelihara tradisi yang mulia itu adalah suatu tugas suci. Untuk membangun suatu tradisi yang mulai itu tidak mudah. Lebih-lebih zaman modern sekarang ini kebanyakan orang masih dibelit oleh sifat individualis egoistis. 

Dalam masyarakat yang sudah disebut post modern ini kondisinya sangat heterogin dan plularistis. Ditambah lagi fluktuasi suka dan duka dalam hidup ini semakin tajam. Untuk mengatasi hal itu marilah kita tingkatkan upaya untuk memelihara tradisi manyama braya dan kode etik bertamu. 

Memelihara tradisi itu hendaknya menjadi komitmen bersama baik bagi mereka yang sudah hidup bersama dalam kurun waktu yang lama maupun yang baru datang. 

* I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net