Senin, 18 Januari 2016

Dua Fungsi Pura

Aham n pitrim suvidatam avitsi
Napatam ca vikramanam ca Visnoh
Bharhso ye svadyaya sutasya.
Bhajanta pitvasta ihagamistah. (Rgveda X.15.4) 

Maksudnya: Anugerah akan diperoleh berlimpah dari leluhur dan Dewa Visnu. Melalui upacara persembahyangan minuman suci kepada leluhur sebagai pitara yang berstana dengan bertebaran dan datang atas persembahan itu dengan gembira. 


RIBUAN pura di Pulau Bali ini sesungguhnya memiliki dua fungsi. Ada Pura Dewa Partistha yaitu memuja Tuhan sebagai jiwa alam semesta yang disebut bhuwana agung atau makrokosmos. Tuhan sebagai jiwa agung alam semesta ini dipuja dalam segala aspek kemahakuasaan-Nya. Sementara pemujaan Tuhan dalam fungsinya sebagai jiwa yang suci dari makhluk hidup seperti manusia yang disebut bhuwana alit atau mikrokosmos disebut pura untuk Atma Pratista.

Jadi, ribuan pura yang ada di Bali itu hanya memiliki dua fungsi. Meskipun sederhana, konsep tatwa tentang pemujaan Tuhan pada dua fungsi pura, ia memiliki silakrama yang penuh dengan etika dan estetika. Untuk mendirikan pura yang berfungsi sebagai Pura Dewa Prastistha maupun Atma Pratistha dibutuhkan tata cara atau silakrama tertentu. Misalnya dalam menentukan tempat mendirikan pura harus dipilih tempat yang tepat sesuai dengan kriteria yang diuraikan dalam Lontar Asta Dewa maupun sumber-sumber lainnya.

Setelah tempatnya memenuhi kriteria maka pendirian palinggih yang ada di dalam areal pura tersebut diatur tata letaknya menurut Lontar Asta Dewa dan Asta Bhumi dan juga sumber-sumber pustaka Hindu lainnya. Selanjutnya ada prosesi pendirian kedua jenis pura tersebut, sehingga layak difungsikan sebagai tempat pemujaan Tuhan baik sebagai Dewa Partistha maupun sebagai Atma Pratistha.

Mengapa umat Hindu memiliki dua jenis pura? Dua jenis tempat pemujaan Hindu tersebut memiliki dimensi yang amat luas. Salah satu adalah sebagai media untuk mengupayakan diri agar atman yang bersemayan dalam diri setiap orang semakin dekat dengan Brahman yang menjiwai bhuwana agung. Atman yang semakin dekat dengan Brahman akan menjadi sumber kehidupan yang bahagia bagi umat manusia.

Mendekatkan atman dengan Brahman sebagai upaya bertahap untuk mewujudkan tujuan akhir dari hidup manusia menurut ajaran Hindu yaitu mencapai moksha. Moksha itu adalah luluh bersatunya atman dengan Brahman. Untuk mencapai hal itu tidaklah mudah. Jangankan menyatukan atman dengan Brahman. Upaya beragama Hindu untuk mendekatkan atman dengan Brahman saja tidak mudah. Jika atman tersekat jauh dengan Brahman maka manusia tidak akan mendapatkan kehidupan yang bahagia. Karena orang yang atmanya diselubungi oleh kegelapan gejolak nafsu duniawi akan hidup dalam kesengsaraan. Sebab, nafsu duniawi itu ibarat kuda yang sehat dan kuat. Kalau ia di bawah kendali maka kuda yang sehat dan kuat itulah yang akan membawa kereta cepat mencapai tujuan. Karena itu pemujaan pada Tuhan di Pura Atma Pratistha untuk melatih diri agar kesucian atman itulah yang mendominasi hidup manusia sehari-hari. Karena itu pada semua Pura selalu ada dua jenis palinggih. Meskipun pura itu fungsi utamanya sebagai tempat memuja Dewa manifestasi Tuhan dapat dipastikan ada juga pelinggih untuk memuja Atma Pratistha. Demikian juga sebaliknya. Meskipun pura itu fungsi utamanya sebagai Pura Atma Pratistha dapat juga dipastikan ada pelinggih untuk memuja Dewa manifestasi Tuhan. Yang dipuja di Pura Atma Pratista itu adalah atman leluhur (pitra) yang telah suci. Karena itu, pemujaan di Pura Atma Pratista itu disebut pemujaan leluhur. Sedangkan pemujaan di Pura Dewa Pratista disebut memuja Dewa manifestasi Tuhan. Dalam upanisad dinyatakan hakikat atman dan Brahman itu sama dan satu. Karena itu, tujuan memuja leluhur dan memuja Dewa adalah memuja Tuhan Yang Mahaesa.

Dalam Manawa Dharmasastra III.25 ada dinyatakan bahwa pemujaan pitra atau leluhur yang telah suci harus dilakukan mendahului pemujaan pada Dewa. Kalau pemujaan leluhur tidak dilanjutkan dengan pemujaan pada Dewa maka orang tersebut akan hancur bersama keturunannya. Pemujaan sebelumnya akan memperkuat pemujaan berikutnya. Ini artinya pemujaan pada leluhur pada pelinggih Atma Partista akan memperkuat pemujaan pada Dewa di pelinggih Dewa Pratista. Kedua tahap pemujaan itu akan memperkuat pemujaan pada Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, dalam tradisi Hindu di Bali pemujaan leluhur dilanjutkan dengan pemujaan Dewa dan pemujaan Dewa diteruskan dengan pemujaan pada Tuhan. Hal ini sangat jelas dalam konsep pemujaan dalam Lontar Panca Sembah. Tahap-tahap pemujaan itu tidak berdiri sendiri. Ini artinya tujuan semua pemujaan itu adalah pada Tuhan Yang Mahaesa.

Sistem pemujaan pada leluhur dan kepada Dewa di Bali adalah tahapan untuk memuja yang tertinggi yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Pemujaan pada leluhur bukan berhenti pada pemujaan leluhur. Demikian juga pemujaan kepada Dewa. Karena itu, Pura Atma Pratista dan Dewa Pratista sebagai tahapan untuk menuju pemujaan yang tertinggi yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Dalam tradisi Hindu di Bali, Tuhan Yang Mahaesa itu disimbolkan berstana di luhuring akasa. Sembah puyung yang terakhir untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Suksma yang Acintya.

* Ketut Gobyah

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net