Kamis, 18 Februari 2016

Hindu sebagai Agama Pembebasan Umat Manusia

Untuk bahan renungan akhir tahun 2015 ini seharusnya umat Hindu di mana saja melakukan suatu refleksi holistik, apakah peranan agama Hindu telah memberikan manfaat kepada umatnya atau sebaliknya. Agama bukan sesuatu yang diwacanakan saja, melainkan harus menjadi suatu kenyataan hidup. Khususnya untuk mengangkat isu tentang ''agama sebagai kekuatan pembebasan umat manusia''. Memeluk agama Hindu jangan sampai umatnya bertambah bodoh, miskin (nista), tertindas, terlibat angkara murka, melakukan tindakan kekerasan, pembunuhan dan perang, penyimpangan seks dan pelacuran, dililit oleh berbagai penyakit sosial, serta berbagai bentuk adharma lainnya.
TANTANGAN terbesar umat Hindu sekarang ialah ''meningkatkan kualitas sradha (iman) dalam bentuk kualitas hidup beragama''. Terutama dalam meningkatkan ''roh sradha Hindu'' yang sejati. Memeluk agama Hindu tak cukup dengan rajin melaksanakan ritual-ritual keagamaan, namun harus ada upaya meningkatkan kualitas dunia spiritual.

Di sekitar kita bergentayangan manusia-manusia yang hipokrit (munafik) dalam beragama. Sangat senang memakai udeng putih, namun hatinya berkelana ke sana-ke mari. Mulutnya berwacana agama, namun perilakunya banyak yang amoral. Mengklaim diri paling suci, namun masih senang ngulurin indriya. Dunia rwa bhineda telah menyatu dalam masyarakat dan budaya di depan mata kita.

Banyak orang tak mengerti tentang ''hakikat agama Hindu'', sebab agama Hindu selalu dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan (Panca Yadnya) yang sangat kompleks. Siapa yang mampu menyelenggarakan ritual besar (karya agung), maka dia dipercaya akan memperoleh sorga. Kepercayaan yang demikian sungguh menyesatkan. Ritual-ritual keagamaan hanyalah bagian kecil dari budaya agama yang kompleks. Terdapat budaya agama internal yang sulit untuk dibaca dengan mata. Hanya Tuhan (Brahman) yang mengerti isi hati dan pikiran manusia. Orang yang pikiran dan hatinya jahat dapat saja menyelenggarakan karya agung, asalkan ada materi, uang dan kekuasaan.

Hakikat ajaran agama Hindu yang paling dalam ialah pembebasan umat manusia. Pengertian pembebasan ini ialah pembebasan dari kondisi kebodohan (awidya), dari kemiskinan dan kesengsaraan (samsara), dari penindasan manusia oleh manusia (baik secara individual maupun kelompok) seperti bentuk kehidupan dalam penjajahan dan feodalisme, dari ketidakpercayaan kepada pihak lain yang menjadi sumber kedengkian, kecemburuan, kemarahan, dan keinginan balas dendam dengan kekerasan dan pembunuhan (angkara murka), dari segala bentuk kriminalitas, dari segala bentuk penyakit sosial (penyimpangan seks dan pelacuran, perjudian, pemakaian obat terlarang napza, pemakaian minuman keras, pornografi, praktik aborsi, dan sebagainya). Dengan bahasa agama, bahwa Hindu harus mampu memberantas segala bentuk adharma.

Untuk apa kita membebaskan diri dari adharma? Jelas, untuk mengantarkan umat Hindu mencapai moksha. Marilah kita merenung dengan akal murni. Untuk apa kita beragama dan memeluk agama Hindu jika di sekitar kita masih melekat berbagai bentuk adharma di dalam kehidupan masyarakat? Untuk apa kita memeluk agama Hindu kalau kualitas hidup kita makin menurun? Untuk apa kita memeluk agama Hindu kalau keluarga kita berantakan? Untuk apa kita beragama kalau berbagai wujud penyakit sosial makin menggejala di sekitar kita? Untuk apa kita memeluk agama kalau kita berada dalam bencana atau malapetaka? Dengan pertanyaan ini, maka kita harus sampai kepada pemahaman bahwa agama Hindu adalah agama pembebasan umat manusia.

Kehidupan Adharma Meluas

Jika kita membaca Weda seperti Reg Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atarwa Weda, maka kita dapat menyatakan bahwa inti Weda adalah substansi Bhagawad Gita (dikenal sebagai Panca Weda). Demikian juga kalau kita renungkan hakikat epos besar Mahabharata dan Ramayana sebenarnya telah tercermin dalam Bhagawad Gita. Di mana didahului oleh ajaran tentang dunia (kosmos) ini suatu dunia yang tak real, yang maya, dan bukan suatu realitas, serta selalu berada dalam kondisi konflik baik secara kosmik, fisik, psikis, dan spiritual.

Di dalam kosmos ini selalu mengalami konflik (baik mikro maupun makro) yang abadi persis seperti perang Ramayana dan Mahabharata (antara Rama dan Rahwana, antara Kurawa dan Pandawa) yang mencerminkan perang antara dharma dan adharma (perang antara kebaikan dan keburukan). Agama Hindu diturunkan oleh Brahman dengan tujuan membebaskan umat manusia dari cengkraman dan belenggu adharma (keburukan, kegelapan, dan sebagainya). Untuk membebaskan umat manusia tentu tidak gampang dan pasti melalui perjuangan dan konflik yang berkepanjangan.

Persoalan terbesar bagi umat beragama sekarang ini ialah ''semakin meluasnya kehidupan adharma''. Adharma makin memiliki kekuatan yang besar dan real, di samping manusia sendiri makin tidak kritis, tak jujur, tak ikhlas dan tidak berhati mulia. Dengan pernyataan sosiologis, manusia makin bersikap "permisif dengan adharma" sebagai akibat adanya kebebasan pikiran manusia untuk memaknakan kehidupan.

Hindu sebagai agama pembebasan umat manusia harus mampu memfokuskan kepada kegiatan-kegiatan keagamaan yang bermakna membebaskan umat Hindu dari kebodohan, dari kemiskinan, dari penjajahan manusia atas manusia, dari ketidakpercayaan masyarakat dengan warga yang lain, dari segala bentuk angkara murka, dari segala bentuk kejahatan dan kekerasan, dari segala bentuk penyakit sosial. Tidak ada manfaatnya kita melakukan ritual agama yang berkelanjutan kalau di depan mata kita terdapat banyak keburukan dan penyimpangan terhadap hukum-hukum agama.

Setiap umat Hindu harus memiliki pengertian bahwa agama Hindu adalah agama pembebasan umat manusia, terutama pembebasan umat manusia dari segala bentuk kehidupan buruk menurut pandangan Brahman dan Weda. Terutama dibebaskan dari tahap kehidupan yang rendah dan buruk. Karena itu, setiap wacana beragama haruslah mengandung makna inovatif untuk meningkatkana kualitas kehidupan.

Tak ada keinginan untuk menyatakan ritual-ritual agama itu buruk. Jika kita beragama yang benar maka melaksanakan suatu ritual saja tidaklah cukup. Janganlah kita menyatakan ritual agama (yadnya) sebagai "jalan emas untuk menuju Brahman". Setiap menyelenggarakan ritual-ritual agama harus direnungkan tentang hakikat agama itu. Karena itulah, kalau kita ingin beragama secara benar, umat Hindu harus memasuki wilayah filsafat (dharsana). Tanpa suatu dharsana, kita tak mampu menangkap hakikat agama Hindu itu.

Dalam kesempatan ini dinyatakan bahwa hakikat ritual keagamaan (yadnya) itu sebenarnya juga suatu pembebasan umat manusia. Dengan yadnya umat Hindu harus mampu menjamin diri dan keluarganya akan berubah menjadi lebih baik, bukan dengan yadnya lalu seseorang atau keluarga memiliki lebih banyak utang dan persoalan hidup.

Salah satu kendala terbesar umat manusia dalam melaksanakan agama secara murni dan konsekuen adalah makin lemahnya umat manusia berjuang untuk kebebasan, kebenaran, keadilan, kebaikan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Umat manusia makin terperosok ke jurang ketidakbebasan, ketidakadilan, ketidakbenaran, keburukan, dan nilai-nilai dishumanisme.
Umat manusia makin tak kuat berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang murni, karena adanya kekuasaan (politik) dan kekuasaan uang. Peranan materi dan uang makin dominan dan berkuasa dalam peradaban sekarang, demikian pandangan George Simmel dalam bukunya ''The Philosophy of Money'' (1972, 2000). Kebenaran dan keadilan yang sejati makin diyakini tidak ada dalam dunia ini. Mereka yang berkuasa dan memiliki uang akan mengkonstruksi kebenaran dan kebaikan, demikian pandangan Karl Marx (dalam ''Eric From, Konsep Manusia Menurut Marx'', 2001). Akhirnya idealisme tentang adanya kebenaran dan keadilan murni dalam hidup bermasyarakat makin hilang.

Demikian juga sebenarnya kondisi yang terjadi dalam masyarakat Hindu, di mana umatnya makin tidak melakukan perenungan kritis dan reflektif terhadap agamanya sendiri. Umat Hindu terlalu sibuk melakukan ritual-ritual keagamaan (yadnya), namun kurang mampu melakukan "perenungan dan penghayatan internal". Agama Hindu di Bali dapat dikatakan sebenarnya masih berada di bawah payung feodalisme yang sangat kuat. Praktik keagamaan sangat ditentukan oleh kekuatan satu kelompok, yang belum tentu semuanya setia meneruskan warisan agama Hindu secara murni. Akibat adanya hegomoni dan feodalisme maka masih ada sikap dan tindakan "penistaan" terhadap orang lain. Umat Hindu makin berposisi masuk jurang, dalam arti makin terperosok ke dalam berbagai malapetaka dunia dan penyakit sosial. Terutama umat Hindu di Bali adalah identik dengan ''sabungan ayam''. Apakah umat Hindu mampu membebaskan diri dari tradisi budaya sabungan ayam? Anda sendiri lebih tahu menjawabnya.

Lembaga agama Hindu terutama PHDI haruslah dikembangkan sebagai suatu orsos yang mampu "meningkatkan kualitas keimanan Hindu" sekaligus juga untuk melakukan pembebasan. Karena itulah, harus dilakukan pembinaan, pendidikan agama dan dialog agama secara lebih terbuka.

Karena itulah, harus ada gerakan revitalisasi agama Hindu secara menyeluruh. Banjar dan desa adat, orsos dadia, orsos subak, orsos Parisada, dan orsos-orsos lokal lainnya harus dijadikan wadah untuk melakukan pembinaan agama (terutama untuk kaum muda), pendidikan agama yang sistematik, dan tempat dialog agama yang terbuka. Agama Hindu akan tetap menjadi suatu ''wacana kosong'' manakala tak melakukan pembebasan secara real bagi umat manusia. Sesungguhnya kedatangan Sri Krishna ke dunia ini (dikisahkan dalam Bhagawad Gita) adalah untuk melakukan pembebasan umat manusia dari kegelapan dan kebodohan, dan itulah hakikat agama Hindu yang terdalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net