Jumat, 19 Februari 2016

MAHABHARATA 27. Pengembaraan di Rimba Raya

Kaum brahmana yang dulu bersama-sama Yudhistira di Indraprastha setia menyertainya dalam pengasingan di hutan. Tidak mudah mengatur dan membiayai rombongan yang sangat besar itu. Resi Lomasa menasihati Yudhistira agar memperkecil rombongannya supaya pengembaraan lebih lancar, terutama ketika berziarah ke tempat-tempat suci di hutan. Atas saran tersebut, Yudhistira memberi tahu pengikut-pengikutnya bahwa mereka yang tidak biasa menghadapi kesulitan dan mengikutinya hanya karena berbela rasa, sebaiknya kembali ke Negeri Astina yang diperintah Raja Dritarastra atau ke Negeri Panchala yang diperintah Raja Drupada. Selanjutnya, Yudhistira menyerahkan sepenuhnya kepada para pengikutnya cara apa yang mereka anggap paling baik dan sesuai dengan kesanggupan mereka. Dalam pengembaraan dari satu tempat suci ke tempat suci lainnya di dalam hutan, Pandawa mendengar, melihat, dan mengalami berbagai keadaan dan situasi yang membuat mereka yakin bahwa masa depan mereka akan baik. Sebagai suri teladan, Resi Lomasa menceritakan kisah

Resi Agastya kepada mereka, “Pada suatu hari, Agastya melihat roh manusia berdiri terbalik, kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Karena anehnya, ia bertanya kepada makhluk itu dan dijawab bahwa makhluk itu adalah nenek moyangnya sendiri yang telah meninggal dunia. Ia mengalami nasib demikian karena keturunannya tidak mau kawin dan tidak punya anak yang wajib mengadakan upacara-upacara persembahyangan untuk roh nenek moyang. Mendengar hal itu, Agastya langsung memutuskan untuk kawin.

“Terkisahlah bahwa raja Widarbha tidak punya anak. Raja itu kemudian memohon restu kepada Resi Agastya agar ia dikaruniai anak. Pada waktu memberikan restu, Agastya mengucapkan kutuk-pastu, yaitu: jika anak yang lahir perempuan, anak itu harus diserahkan kepadanya untuk dikawini.

“Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang putri jelita yang kemudian diberi nama Dewi Lopamudra. Semakin dewasa semakin sempurnalah kecantikannya. Dewi Lopamudra termasyhur di kalangan para kesatria, tapi tidak seorang pun berani mendekatinya karena takut pada Resi Agastya.

“Pada suatu hari, Resi Agastya datang ke istana Raja Widarbha untuk menagih janjinya. Tetapi Raja Widarbha keberatan. Dia tak mau menyerahkan putrinya yang cantik itu kepada resi tua yang hidup menyendiri di dalam hutan. Raja cemas kalau-kalau kutuk-pastu sang Resi akan menjadi kenyataan. Mengetahui kecemasan dan kesedihan orangtuanya, Dewi Lopamudra justru menyatakan keinginannya untuk kawin dengan resi itu. “Setelah disepakati, perkawinan dilangsungkan sebagai- mana mestinya. Sebelum memboyong istrinya ke hutan, Resi Agastya menyuruh Dewi Lopamudra melepas semua perhiasannya dan mengganti pakaiannya yang mewah dan mahal. Istrinya harus bersedia hidup sederhana sesuai kebiasaan para resi yang tinggal dalam asrama di hutan. Dewi Lopamudra membagi-bagikan semua perhiasan dan pakaiannya kepada teman-teman dan para pelayannya, kemudian mengenakan pakaian dari kulit kayu.

“Demikianlah, Resi Agastya dan Dewi Lopamudra hidup bahagia di pertapaan di hutan Ganggadwara. Mereka saling mengasihi dan selalu tampak mesra. “Pada suatu hari, karena perasaan cintanya yang melu-ap-luap, Dewi Lopamudra tak bisa menahan perasaannya.

Ia meminta kepada Resi Agastya agar sekali-sekali mereka menikmati kemewahan.
“‘Aku ingin sekali kita tidur di tilam kerajaan yang empuk, mengenakan jubah indah dan memakai perhiasan seperti waktu aku di rumah orangtuaku.’

“Agastya menjawab, ‘Aku tidak punya kekayaan apa- apa, karena sekarang kita hidup di hutan sebagai peminta- minta.’

“Lopamudra menyarankan agar Agastya menggunakan kekuatan gaib yogi-nya untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Tetapi Agastya tidak setuju, karena kekayaan yang diperoleh dengan jalan demikian tidak akan kekal. Setelah berdebat lama, mereka sepakat untuk pergi meminta-minta kepada raja-raja kaya dengan harapan kelak mereka bisa hidup enak.

“Mereka menghadap seorang raja yang terkenal kaya raya.

“Agastya berkata, ‘Tuanku Raja, aku datang untuk memohon harta. Berilah aku yang dapat diberikan, tanpa menyebabkan kekurangan atau kehilangan bagi orang lain.’
“Raja itu memperlihatkan catatan pendapatan kerajaan kepada Agastya dan mempersilakan sang Resi mengambil apa yang diperlukannya dan kelebihan yang ada. Ternyata Resi Agastya tahu bahwa antara pendapatan dan pengeluaran kerajaan itu tidak ada sisanya. Ia kemudian pergi meminta-minta ke negeri lain. Ternyata negeri itu mengalami kekurangan karena rajanya mengeluarkan lebih banyak uang daripada jumlah pendapatan dari upeti yang dipungut atas rakyat.

“Tanpa putus harapan, Agastya pergi ke negeri-negeri lain. Di sana ia menjumpai keadaan yang tidak banyak berbeda. Ia berkata pada dirinya sendiri, ‘Untuk mendapat sedekah dari seorang raja saja aku membuat rakyat harus memikul beban berat. Karena itu, aku akan meminta di tempat lain dengan cara lain.’

“Demikianlah Agastya banyak mengetahui keadaan keuangan suatu kerajaan. Ia menyimpulkan bahwa menurut pekerti luhur, seorang raja tidak boleh menarik upeti dari rakyatnya secara sewenang-wenang, melebihi kebutuhan pengeluaran untuk kepentingan umum yang sebenarnya. Dan siapa pun yang menerima pemberian hadiah atau sebangsanya dari hasil pungutan upeti rakyat, itu berarti dia telah menambah beban rakyat. Sungguh tidak adil. Itu sebabnya Agastya memutuskan untuk menemui raksasa Ilwala yang terkenal jahat dan kaya raya, untuk mencoba meminta-minta.
“Mula-mula Ilwala dan Watapi, saudaranya, berniat membunuh Agastya karena mereka membenci kaum brahmana. Selama ini, mereka selalu membunuh setiap brahmana yang datang menemui mereka. Tetapi Agastya adalah seorang brahmana yang sakti. Ketika tahu itu, Ilwala sangat takut dan segera memenuhi permintaannya. Agastya mendapatkan apa yang diinginkan istrinya dan keduanya hidup bahagia.”

Demikianlah cerita Resi Lomasa kepada Yudhistira yang intinya merupakan pelajaran tentang bagaimana seharusnya mengurus harta kerajaan yang merupakan hasil pungutan upeti dari rakyat. Harta kerajaan harus diguna- kan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya Resi Lomasa berkata, “Di lain pihak, sungguh salah jika kita berpikir bahwa seseorang dapat dengan mudah hidup suci sebagai brahmacharin jika ia dibesarkan dalam lingkungan yang sama sekali tidak mengajarkan pengetahuan akan kenikmatan duniawi dan kenikmatan olah asmara.”

Ia melanjutkan, “Kebajikan yang dituntun oleh ketidaktahuan tidaklah meyakinkan.”
Resi Lomasa lalu bercerita tentang Negeri Angga yang pernah mengalami bahaya kelaparan yang mengerikan. “Romapada, raja negeri Angga, sangat cemas karena negerinya dilanda bencana alam. Panen gagal, tumbuh- tumbuhan kering, hujan tidak turun-turun, ternak mati dan di mana-mana rakyat menderita kelaparan. Sungguh sengsara. Romapada memanggil semua brahmana di negerinya untuk dimintai nasihat tentang cara mengatasi bencana yang mengerikan itu. Para brahmana menyaran- kan agar Raja memanggil Resi Risyasringga yang masih muda, putra Resi Wibhandaka yang masyhur. Resi Risyasringga telah menjalani kehidupan yang suci sempurna dan karena tapanya yang lama tanpa putus, ia sanggup memanggil hujan yang akan menyuburkan tanah. Sepanjang hidupnya, resi muda itu selalu bertapa di samping ayahnya dan sama sekali belum pernah melihat manusia lain, laki-laki atau perempuan, selain ayahnya.

“Bersama para penasihatnya, Romapada merundingkan cara untuk memanggil Risyasringga. Atas nasihat mereka, Romapada mengumpulkan beberapa perempuan penggoda dan menugaskan mereka untuk membawa resi itu ke ibukota Angga.
“Mula-mula perempuan-perempuan penggoda itu takut kepada raja yang berkuasa itu dan kepada Resi Wibhandaka yang sakti. Tetapi setelah diberi penjelasan, mereka menerima tugas itu dengan senang hati karena keberhasilan mereka adalah demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kemudian mereka membangun taman indah yang ditanami pohon-pohon rindang dan dilengkapi dengan pertapaan di tengahnya. Taman buatan itu dibangun di tepi sebuah sungai besar yang jernih airnya, yang di hulunya mengalir melewati pertapaan Resi Wibhandaka. Sebuah perahu mereka labuhkan di tepi sungai, dekat pertapaan itu.

“Pada suatu hari, ketika Resi Wibhandaka sedang pergi, salah seorang perempuan yang cantik itu mengayuh perahu dan melabuhkannya di tepian pertapaan. Ia menemui Risyasringga sambil memberi salam sesuai adat seorang resi bila bertemu resi lainnya.
“Seumur hidup Risyasringga belum pernah melihat perempuan cantik dan bersuara merdu. Ia mengira perempuan itu seorang brahmacharin. Ia bertanya, ‘Rupanya engkau seorang brahmacharin yang halus dan cemerlang. Siapakah engkau, di mana pertapaanmu, dan ajaran suci apa yang engkau pelajari? Aku menyembah kepadamu.’ Kemudian, sesuai adat, ia menyerahkan buah-buahan sebagai persembahan kepada seorang resi yang bertamu.

“Perempuan itu berkata bahwa pertapaannya tak jauh dari situ, di pinggir sungai yang sama. Karena kuatir kalau-kalau Resi Wibhandaka cepat kembali, perempuan itu segera mempersembahkan buah-buahan yang ranum, minum-minuman yang manis dan kalung bunga yang harum kepada Risyasringga. Sambil membelai dan memeluk resi itu, perempuan itu berkata bahwa begitulah yang ditradisikan bila seorang resi bertemu dengan resi lain yang seajaran.

“Risyasringga tidak keberatan. Ia justru berpendapat bahwa cara itu memberinya kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Kesucian pikirannya ternoda. Ia tak kuasa menahan gejolak nafsunya menghadapi perempuan itu. Tanpa berpikir panjang, ia mengundang brahmacharin cantik itu untuk datang lagi mengunjunginya.

“Ketika kembali, Resi Wibhandaka sangat kaget melihat suasana pertapaan yang tidak seperti biasanya. Rumput dan semak-semak bunga terlihat habis diinjak-injak, sisa- sisa makanan berserakan, wangi kalung bunga menyusupi hidungnya, dan wajah putranya tampak aneh. Ia bertanya, apa yang telah terjadi. Risyasringga bercerita bahwa ia dikunjungi seorang brahmacharin yang wujud tubuhnya luar biasa indah. Brahmacharin itu memberi salam dengan cara memeluk dan membelainya, membuat sekujur tubuhnya merasakan kenikmatan tak terkira. Dengan lugu Risyasringga berkata bahwa ia ingin sekali bertemu lagi dengan brahmacharin itu dan merasakan kembali kelembutan belaiannya.

“Mendengar cerita anaknya, Resi Wibhandaka langsung mengerti apa yang telah terjadi. Dalam hati ia sangat marah, tetapi kepada putranya ia berkata, ‘Anakku, yang datang mengunjungimu bukanlah brahmacharin melainkan makhluk jahat yang sangat berbahaya. Ia sengaja menipumu dan berniat menodai pertapaan kita. Jangan biarkan ia datang lagi.’

“Tiga hari tiga malam Wibhandaka berusaha mencari perempuan yang telah menggoda anaknya, tetapi sia-sia belaka.

“Pada kesempatan lain, ketika Resi Wibhandaka sedang mengadakan perjalanan, perempuan itu datang lagi. Melihat Risyasringga hanya sendirian, ia berlari mendekati dan tanpa menunggu-nunggu lagi mengajak resi itu pergi sebelum ayahnya kembali. Inilah kesempatan yang ditunggu- tunggu oleh perempuan-perempuan penggoda yang mengemban tugas dari Raja Romapada. Segera setelah resi muda itu masuk ke dalam perahu, sauh diangkat dan perahu dikayuh ke hilir, menuju ibukota Negeri Angga. Di sana, resi itu diterima dengan upacara kehormatan oleh Raja Romapada dan dipersilakan beristirahat di tempat yang sudah disediakan di dalam lingkungan istana.
“Berkat kehadiran Risyasringga, hujan mulai turun di wilayah Kerajaan Angga. Danau dan telaga mulai berisi air, sungai mengalir deras menyuburkan tanah, binatang mendapat makanan cukup dan pepohonan mulai bersemi kembali. Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Romapada menyerahkan Dewi Santa, putrinya, untuk diperistri oleh Risyasringga.

“Untuk menghindari kemurkaan Resi Wibhandaka, Raja Romapada mengerahkan berpuluh-puluh gembala sapi. Mereka disebar ke mana-mana, terutama di sekitar jalan- jalan yang mungkin akan dilalui Resi Wibhandaka. Jika bertemu dengan resi itu, mereka harus berkata bahwa mereka adalah gembala yang menggembalakan ratusan sapi milik Risyasringga.

“Sementara itu, dengan perasaan cemas dan geram Resi Wibhandaka meninggalkan pertapaan untuk mencari putranya. Ia menjelajahi segala penjuru hutan, tetapi tidak juga menemukan putranya. Kemudian ia keluar dari hutan, menjelajahi ladang-ladang dan pedesaan. Ia heran melihat puluhan gembala sedang menggembalakan sapi- sapi yang tambun dan sehat. Para gembala itu berkata bahwa sapi-sapi itu milik Risyasringga. Karena berkali-kali mendengar jawaban yang sama di mana-mana, lambat laun amarah Wibhandaka berkurang.

“Akhirnya ia sampai ke ibukota Negeri Angga. Timbul rasa ingin tahunya, apakah anaknya ada di ibukota itu. Di depan istana, tanpa disangka-sangka, ia disambut dengan upacara kebesaran, bahkan Raja Romapada sendiri yang mengantarkannya ke puri tempat tinggal putranya. Akhirnya ia dapat bertemu dengan Risyasringga yang telah menyunting Dewi Santa yang cantik. Sang Resi lega dan senang setelah mengetahui bahwa putranya hidup bahagia sebagai menantu Raja dan dengan kesaktiannya telah menghindarkan rakyat Negeri Angga dari bencana kelaparan.

“Ia merestui anaknya dan berkata, ‘Teruslah berbuat kebajikan untuk menyenangkan hati Raja Romapada yang mencintai rakyatnya. Setelah engkau punya anak laki-laki, kembalilah ke dalam hutan dan temani ayahmu.’

“Resi muda itu menaati perintah ayahnya.” Resi Lomasa mengakhiri ceritanya dengan kata-kata demikian, “Seperti halnya Damayanti dan Nala, Sita dan Rama, Arundhati dan Wasistha, Lopamudra dan Agastya, Santa dan Risyasringga, engkau dan Draupadi pun ditakdirkan untuk hidup mengembara di dalam hutan selama waktu yang telah ditentukan. Hiduplah dengan penuh cinta kasih, saling menyayangi, dan selalu menjalankan dharma. Tempat ini adalah bekas pertapaan Risyasringga. Mandilah dalam kolam ini dan sucikan dirimu.”

Mengikuti anjuran Resi Lomasa, Pandawa mandi dan menyucikan diri dalam kolam itu. Setelah membersihkan dan merapikan diri, mereka bersembahyang memuja dewata.

Bersambung...
sumber : https://www.facebook.com/agung.joni.31/posts/210584135945779

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net