Sabtu, 06 Februari 2016

MAHABHARATA 27. Pengembaraan di Rimba Raya (lanjutan...)

Dalam perjalanan berikutnya, Resi Lomasa bercerita tentang kisah cinta dan kesetiaan Sawitri kepada suaminya.

“Terkisahlah bahwa Raja Aswapati punya seorang putri yang cantik dan baik hati bernama Sawitri. Nama itu sesuai dengan nama satu nyanyian suci untuk upacara pemujaan. Setelah Sawitri cukup dewasa, Raja Aswapati membebaskan putrinya untuk memilih sendiri calon suaminya. Sawitri senang karena maksud baik ayahnya. Setelah mendapat restu ayahnya, ia melakukan perjalanan ke negeri-negeri jauh, naik kereta emas, didampingi seorang panasihat tua kepercayaan ayahnya dan sejumlah pengawal.
“Dalam perjalanan itu ia singgah di berbagai negeri dan kerajaan. Sayangnya, setelah melihat banyak pangeran dan pemuda bangsawan, hati Sawitri tetap dingin. Tidak seorang pun membuatnya terpikat.

“Pada suatu hari, rombongan Sawitri sampai ke sebuah pertapaan di tepi hutan. Pertapaan itu milik Raja Dyumatsena yang telah ditaklukkan musuh dan kehilangan kerajaannya. Kekalahan berat itu menyebabkan ia lekas menjadi tua dan buta. Ia mengundurkan diri dari keramaian hidup di ibukota, pergi ke hutan, lalu menjalankan tapa brata ditemani istrinya dan putranya yang bernama Satyawan. Ia sendiri yang membangun pertapaan itu.

“Sawitri bertemu dengan Satyawan di dalam hutan. Hatinya langsung terpikat melihat pemuda itu, anak raja yang menjadi pertapa. Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke istana, Sawitri menghadap ayahnya untuk menceritakan pengalamannya.
“Raja Aswapati bertanya, ‘Anakku Sawitri, ceritakanlah. Siapa pemuda yang telah menawan hatimu?’

“Sawitri menjawab dengan tersipu-sipu, ‘Baiklah, Ayahanda. Ia putra Raja Dyumatsena yang telah kehilangan kekuasaan dan kerajaannya dan kini hidup sebagai pertapa di hutan. Pemuda itu rajin membantu ayah-ibunya mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan dan buah- buahan untuk dimakan.’

“Setelah mendengar cerita putrinya, Raja Aswapati meminta nasihat kepada Resi Narada. Resi itu berkata bahwa pilihan Sawitri membawa firasat yang menyedihkan. Katanya, ‘Dua belas bulan dari sekarang anak muda itu akan meninggal dunia.’
“Mendengar firasat buruk yang disampaikan Resi Narada, Aswapati segera menemui anaknya dan berkata,

‘Anakku Sawitri, anak muda itu akan menemui ajalnya dua belas bulan dari sekarang. Jika kau menikah dengannya, engkau akan segera menjadi janda. Pikirlah masak- masak! Batalkan pilihanmu, anakku sayang. Aku tidak tega melihat engkau menjadi janda dalam waktu begitu singkat.’

“Dengan hati mantap Sawitri menjawab, ‘Jangan Ayahanda risaukan hal itu. Jangan pula Ayahanda berharap aku mau kawin dengan orang lain dan mengorbankan pengabdian serta cintaku yang telah kuserahkan kepada Satyawan. Dialah pemuda pilihanku. Dalam hidup ini, seorang perempuan hanya dipilih dan memilih sekali. Aku sudah menentukan pilihanku. Aku tidak akan mengingkarinya.’

“Melihat kemantapan putrinya, sebagai ayah Raja Aswapati tak dapat berbuat apa-apa kecuali menikahkannya dengan pemuda pilihannya. Setelah upacara perkawinan usai, Sawitri mengikuti Satyawan masuk ke hutan untuk mengabdi pada mertuanya yang buta dan sudah tua.

“Sawitri tahu bahwa malapetaka akan menimpa suaminya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa kepada Satyawan. Dengan tulus, ikhlas, dan rajin setiap hari Sawitri ikut suaminya menjelajahi hutan untuk mengumpulkan umbi- umbian, daun-daunan, dan buah-buahan untuk orangtua mereka. Demikianlah kehidupan mereka setiap hari.

“Menjelang hari yang telah diramalkan itu, Sawitri tekun berpuasa dan bersamadi. Ia melewatkan malam tanpa tidur. Sambil berurai air mata ia bersujud, memohon karunia kekuatan dari dewata. Pada hari terakhir hidup suaminya, sedikit pun Sawitri tidak bisa mengalihkan pandangannya dari suaminya.

“Hari itu, seperti biasa mereka pergi mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan, dan buah-buahan. Tiba-tiba Satyawan mengeluh dan berkata kepada Sawitri, ‘Kepalaku pening, panca indraku serasa berpusing, pandanganku kabur. Wahai Sawitri, kantuk yang luar biasa memberatkan langkahku. Biarlah aku berhenti dan beristirahat sesaat.’
“Sawitri cemas, karena tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, ia terus berusaha menenangkan suaminya. Katanya, ‘Suamiku, jantung hatiku, baringkanlah kepalamu di pangkuanku.’

“Sesaat setelah Satyawan membaringkan kepalanya di pangkuan Sawitri, ia tertidur. Mula-mula badan dan kepalanya terasa bagai terbakar api, kemudian rasa panas itu berangsur reda dan berubah menjadi dingin. Sawitri memeluk suaminya yang tak sadarkan diri sambil menangis tersedu-sedu.

“Di tengah hutan yang sunyi, Sawitri memeluk Satyawan. Roh-roh kematian berdatangan, hendak mencabut nyawa Satyawan. Tetapi, berkat lingkaran api gaib yang mengelilingi Satyawan dan Sawitri, makhluk-makhluk pen- cabut nyawa itu tidak berani mendekat. Mereka berbalik dan pergi menghadap Batara Yama, Dewa Kematian, untuk melaporkan bahwa mereka gagal mencabut nyawa Satyawan.

“Batara Yama, Dewa Kematian, datang sendiri untuk mencabut nyawa Satyawan. Kepada Sawitri ia berkata,
‘Anakku, lepaskan raga yang telah mati itu. Ketahuilah, kematian pasti dialami semua makhluk hidup. Aku ini makhluk hidup yang mati pertama kali di dunia ini. Sejak itu setiap makhluk hidup harus mati. Mati adalah batas akhir hidup makhluk hidup.’
“Mendengar sabda sang Dewa Kematian, Sawitri rela melepaskan tubuh Satyawan yang sudah tidak bernyawa. Setelah mengambil nyawa Satyawan, Batara Yama pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi setiap kali melangkah maju, ia mendengar langkah orang mengikutinya dari belakang. Ia menoleh, dilihatnya Sawitri mengikutinya. Ia berkata, ‘Wahai anakku Sawitri, kenapa engkau mengikuti aku? Sudah ditakdirkan, setiap manusia pasti mati.’

“‘Aku tidak mengikuti engkau, Dewata,’ jawab Sawitri.

“Memang sudah suratan bagi kaum wanita; ia akan ikut ke mana pun cintanya membawanya. Dan hukum alam yang abadi tidak akan memisahkan laki-laki dari istrinya yang mencintainya dengan setia.

“Batara Yama berkata lagi, ‘Anakku, mintalah anugerah apa saja, kecuali jiwa suamimu.’
“Sawitri menjawab, ‘Kalau demikian, aku mohon agar mertuaku yang buta dapat melihat lagi dan hidup bahagia.’ “‘Permohonanmu kukabulkan, Anakku yang patuh dan setia,’ kata Batara Yama lalu meneruskan perjalanan mem- bawa nyawa Satyawan. Tetapi, kembali ia mendengar langkah-langkah kaki mengikutinya. Ia menoleh dan melihat Sawitri. ‘Anakku Sawitri, mengapa engkau masih juga mengikuti aku?’ tanyanya.
“‘Ya Dewata, aku tidak bisa berbuat lain selain ini. Aku sudah mencoba untuk pulang, tetapi jiwa dan ragaku selalu mengikuti suamiku. Jiwa suamiku telah kauambil, tetapi jiwaku selalu mengikutinya. Oh, Batara Yama, cabutlah juga jiwa dari ragaku ini. Bawalah jiwaku bersama jiwa suamiku,’ demikian jawab Sawitri.

“‘Sawitri yang setia dan berbudi, peganglah kata-kataku. Mintalah anugerah lagi, tetapi jangan jiwa suamimu,’ kata Dewa Kematian.

“‘Kalau begitu, aku mohon agar kekayaan dan kerajaan mertuaku dikembalikan kepadanya,’ jawab Sawitri. “‘Anakku yang penuh kasih dan cinta, permintaanmu kukabulkan. Pulanglah, sebab manusia yang hidup tidak mungkin terus mengikuti Dewa Kematian,’ kata Batara Yama lalu meneruskan perjalanannya.

“Tetapi Sawitri yang setia tetap mengikuti suaminya yang telah mati. Batara Yama menoleh lagi, dan berkata,
‘Sawitri yang berhati luhur, jangan ikuti cintamu yang sia-sia.’

“Sawitri menjawab, ‘Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali mengikuti Engkau yang telah mengambil jiwa suamiku tercinta.’

“‘Baiklah, Sawitri! Andaikata suamimu orang terkutuk penuh dosa dan harus masuk neraka, apakah engkau akan mengikutinya ke neraka?’ tanya Dewa Kematian.
“‘Dengan senang hati akan kuikuti dia, hidup atau mati, ke surga atau ke neraka,’ demikian jawab Sawitri.

“‘Anakku, engkau kurestui. Peganglah kata-kataku ini. Mintalah anugerah sekali lagi, tetapi ingat, yang sudah mati tak bisa dihidupkan lagi,’ kata Batara Yama.

“‘Kalau demikian, aku mohon berilah mertuaku seorang putra yang akan meneruskan kelangsungan kerajaannya. Ijinkan kerajaannya diwarisi oleh anak Satyawan,’ kata Sawitri.

“Batara Yama tersenyum mendengar permintaan Sawitri. Ia berkata, ‘Anakku, engkau akan memperoleh segala keinginanmu. Terimalah jiwa suamimu, ia akan bidup kembali. Ia akan menjadi ayah dan anak-anakmu kelak akan memerintah kerajaan kakeknya. Telah terbukti, cinta dapat mengalahkan kematian. Tak ada perempuan yang mencintai suaminya seperti engkau mencintai suamimu. Cintamu yang tulus dan sangat besar telah mengalahkan maut. Bahkan aku, sang Dewa Kematian, tidak berdaya melawan kekuatan cinta sejati yang bertakhta dalam jiwamu.’”

Demikianlah, Resi Lomasa menceritakan riwayat Sawitri kepada Yudhistira dalam salah satu perjalanan ziarahnya di dalam hutan. Sang Resi menekankan bahwa cinta dan kesetiaan seorang istri adalah harta paling berharga yang bisa dimiliki seorang lelaki.

Bersambung....

sumber : https://www.facebook.com/agung.joni.31/posts/218026491868210

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net