Sabtu, 23 April 2016

Buta Kala Merajalela di Petinggi Bangsa Indonesia

Pandita Mpu Jaya Dangka Ramana Putera

Hakikat Buta kala
Umat Hindu mengenal istilah Butakala. Konotasinya negatif dalam kehidupan manusia. Butakala itu serakah, loba, tidak pernah puas, terkadang menciptakan berbagai penyakit dan wabah baik bagi manusia maupun alam lingkungan. Bila manusia disusupi oleh butakala, maka sifat-sifat butakala akan menjelma dalam tindakan manusia. Untuk menangkal halhal yang merugikan manusia tersebut maka setiap upacara panca yadnya, selalu diawali dengan memberi suguhan kepada butakala dalam bentuk caru, dari yang terkecil sampai yang terbesar (caru ekosata, manca sata, resi gana dan seterusnya sampai caru eka dasa ludra).

Tujuan suguhan caru agar sarwa butakala jangan membuat ulah yang merugikan sang jayamana (pelaksana yadnya). Dalam setiap yadnya, setelah ngarga tirta, merayascita dan ngelinggihang surya, segera menghaturkan caru, diikuti dengan mantra nglukat buta, ngemantukang buta dan terakhir mrelina buta. Nglukat buta agar sarwa buta kembali pada asalnya yaitu Sangyang Sangkan Paran, yang menciptakan sarwa buta sendiri. . 

Mantra selanjutnya pemantukan buta, agar unsur-unsur panca mahabuta kembali pada sumbernya yaitu pertiwi kembali pada ganda, apah kembali pada rasa, bayu kembali pada sparsa, teja kembali pada rupa dan akasa kembali pada sabda. Ganda, rasa, sparsa, teja, sabda adalah unsur-unsur pertama kali diciptakan oleh Hyang Widhi Wasa, simultan dengan penciptaan jagat raya. Maksud mantra ini agar unsur-unsur tersebut yang membentuk manusia, termasuk butakala kembali pada sumbernya, sehingga tidak lagi mengganggu kehidupan dan ketentraman manusia, sehingga semua perbuatan dan aktifitasnya didasari oleh pertimbangan baik buruk dari manah.

Mantra ketiga yaitu mantra pralina buta, agar sarwa buta menyatu pada panca resi (lima dewata agung yaitu Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu dan Çiwa), Panca Resi menjadi Brahman, dan Brahman menyusup pada manusia. Bila harapan seperti itu tercapai, maka manusia akan memiliki sifat-sifat dewa (daiwi sampad), sehingga diliputi oleh sifat-sifat tatwamasi, wasudewa butumbakan (semua manusia adalah saudara). Mampu melepaskan diri dari panca klesa atau kegelapan batin (awidya, asmita, raga, dwesa dan abiniwesa) bijaksana, welas asih.

Bila dihubungkan dengan lima lapisan unsur tubuh, dikatakan ada lima lapisan panca maya kosa. Yag paling luar disebut anna maya kosa (lapisan unsur panca mahabuta yang selalu haus dengan keinginan-keinginan indria), lapisan kedua lebih dalam disebut prana maya kosa, yang dikuasai oleh dasa bayu, penuh dengan sifat-sifat rajas. Dasa bayu yang menyebabkan tubuh mampu beraktifitas, mulai dari anus, alat kelamin, pendengaran, penciuman, kaki tangan dan lain-lain. Dasa bayu perlu diwaspadai oleh manusia agar jangan nafsu indria diumbar berlebihan. Lapisan ketiga yaitu mana maya kosa yang memegang kendali, penuh dengan pertimbangan-pertimbanagn baik dan buruk terhadap aktifitas dasa bayu.

Bila manusia lupa terhadap unsur manah ini maka manusia akan cenderung berbuat memuaskan nafsu panca indria, tidak peduli terhadap akibat yang ditimbulkannya. Manusia menjadi momo angkara, loba, serakah, rakus, ego, tidak peduli dengan sesama manusia lainnya. Semua perbuatan hanya demi aku. Di sinilah dikatakan manusia bersifat asura (keraksasaan). Usahakan agar unsur mana maya kosa tidak ditarik keluar oleh unsur prana maya kosa. Pada unsur mana maya kosa inilah atman melinggih. Bila manusia mampu menarik lapisan mana maya kosa ke lapisan yang lebih dalam yang disebut wijnana maya kosa, maka yang bersangkutan penuh dengan kebijaksanaan. Apalagi bisa sampai ke lapisan kelima, ananda maya kosa, maka dialah manusia dewa (daiwi sampad).

Fenomena NKRI
Jika dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, terutama sebagian petinggi, penegak hukum mulai lini terbawah sampai tertinggi, rupa-rupanya mantra ngelukat buta, pemantukan buta dan pralina buta berbalik arah, sehingga sifat-sifat kedewataannya menipis bahkan lenyap. Sebaliknya justru sifat-sifat asura/butakala yang memurti (mewujud). Maka jadilah kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti saat ini. Tidak ada lagi pemimpin yang dapat dijadikan panutan oleh rakyat. Tidak ada lagi pemimpin sebagai negarawan, yang ada politikus pengabdi uang. Mereka selalu mencari atau meminta “tetadahan”, untuk pemuas nafsu, mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, kendati gaji mereka sudah sangat tinggi. Wakil rakyat justru memeras rakyat. Akhirnya korupsi meraja lela, sogokan terang-terangan, gratifikasi dianggap sebagai hal yang biasa. Mereka sudah kehilangan rasa malu, tidak punya harga diri, sedikitpun tidak peduli dengan masyarakat miskin dan melarat. Hal ini terjadi karena mereka menuju kekuasaan melalui jalan tikus, kemudian benarbenar menjadi tikus ketika berkuasa, dengan tidak malu-malu menggrogoti uang rakyat.

Untuk membatasi sifat-sifat keraksasaan/ buta kala tersebut mestinya berusahalah selalu bertanya pada manah, mewaspadai akibat dari perbuatan. Berusahalah menjadi manusia yang penuh kebijaksanaan (wijnana). Siapapun dia, termasuk pandita, pemuka umat, ketika melaksanakan manca yadnya betul-betul bisa menyebabkan yang meyadnya menjadi bahagia. Bukan dijadikan objek, sehingga setelah meyadnya mereka menjadi miskin, tidak dapat menyekolahkan anak cucunya. Harus disadari bahwa anak cucu yang disekolahkan setinggi- tingginya merupakan darma agama utama, investasi manusia yang paling utama. Berusahalah hidup sederhana. Bukankah nasihat kuno mengatakan “ merta matemahan wisia, dan sebaliknya wisia matemahan merta”. Hidup sederhana bisa mendatangkan kebahagiaan, harta yang terkumpul bisa menyebabkan kesengsaraan. Untuk itu kumpulkan harta dengan konsep catur purusa arta, sehingga harta yang terkumpul tidak menjadi wisia atau racun. Ini yang dilupakan oleh para pemimpin Indonesia saat ini.

Apa yang kami sampaikan ini hanyalah ajakan berdasarkan ajaran Agama Hindu yang sangat luhur, namun keputusan dan tindakan kembali pada manusianya sendiri. Walaupun di era sekarang ini banyak yang menuhankan harta benda, sejatinya yang lebih dikagumi masyarakat bukan kekayaan, rumah mewah, mobil mewah, tetapi keluhuran budi seseorang. Sebagaimana ketika Rama, Sita dan Laksamana rela berpakaian kulit kayu menjalani pengasingan di hutan selama 14 tahun, tidak menuntut walau batal dinobatkan menjadi raja, demi membayar janji ayahnya sang Prabu Dasarata dengan Dewi Keikayi, toh tetap dielu-elukan rakyat karena keluhuran budinya.

Jangan memohon hidup berumur panjang karena abiniwesa. Mungkin permohonan akan dikabulkan oleh- Nya, namun yang hidup hanya mata, telinga, sedangkan unsur-unsur yang lainnya mati alias stroke. Akhirnya tidak bisa menikmati hidup, kekayaan yang terkumpul pun sia-sia, kemudian memelas minta cepat mati. Jangan kemudian dikatakan Hyang Widhi menghukum kita. Dalam Hindu tidak ada istilah Tuhan menghukum manusia, yang ada, semua karma ada phalanya. Manusia mau phala yang manis? Berkarmalah yang manis. Demikian sebaliknya. Suatu pilihan yang sangat adil.

Pandita Mpu Jaya Dangka Ramana Putera
Jl. Jaya Pangus 7 Denpasar


sumber : http://www.mediahindu.net/index.php?option=com_content&view=article&id=114:buta-kala-merajalela-di-petinggi-bangsa-indonesia&catid=3:artikel-umum&Itemid=6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net