Kamis, 28 April 2016

Mensyukuri Hidup, tidak Iri kepada Orang Lain

DALAM pergaulan sehari-hari sering kita menjumpai orang yang tidak pernah mensyukuri hidupnya. Keberadaan dirinya sering disesalinya dengan mendalam. Mengapa saya tidak seperti dia yang hidupnya bergelimang kekayaaan, kesehatan dan kesenangan, dan lainnya. Haya itulah yang sering meliputi benaknya. Ia pun selalu hidup dalam kekecewaan. Saban hari ia selalu mengeluhkan nasibnya. Untuk itu sering dia merasakan hidupnya penuh derita. Padahal mereka itu sudah memiliki berbagai hal untuk menyelenggarakan hidupnya secara wajar. Padahal ia masih bisa memenuhi kebutuhan pokoknya secara wajar, seperti dalam hal pangan (wareg), kesehatan (waras), busana (wastra), perumahan (wisma) dan juga kebutuhan pendidikan, kebudayaan dan kebutuhan sosiologisnya (wasita). 

Meskipun pemenuhan kebutuhan itu dalam ukuran standar umum, sesungguhnya sudah merupakan karunia Tuhan yang sepatutnya amat disyukuri. Merendahkan diri secara berlebihan tidak mensyukuri karunia Tuhan itu sering dianggap meremehkan atau meniadakan anugerah Tuhan. Terhadap orang seperti itu umumnya orang tua-tua dulu sering menasihati dengan nasihat bahasa Bali sebagai berikut: ''Sing dadi nampesang swecan Widhi''. Nasihat orang tua-tua dulu ini juga sebagai kearifan lokal Bali yang sudah turun-temurun kita warisi dari nenek moyang umat Hindu di Bali. 

Nasihat sebagai bentuk kearifan lokal ini sungguh mulia dan patut kita renungkan kembali. Kalau sradha dan bhakti kita sungguh mendalam terhadap Sang Hyang Widhi kita sesungguhnya patut selalu bersyukur dapat menjelma sebagai manusia. Orang tua-tua di Bali menyatakan bahwa hidup ini adalah peduman Widhi. Artinya hidup ini adalah pembagian dari Tuhan. Tuhan memberikan kita hidup ini tentunya sesuai dengan karma-karma kita di masa lampau. Yakinlah Tuhan tidak akan sewenang-wenang memberikan kita nasib hidup seperti yang kita terima ini. Yakinlah juga Tuhan pasti punya alasan yang benar dan adil pada keberadaan hidup kita ini. Menyesali hidup karena melihat keglamoran hidup orang lain dapat merusak diri kita secara psikis. 

Dalam Sarasamuscaya. 4 dinyatakan bahwa menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama. Karena manusia dapat mendorong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik. Karena itu janganlah sekali-kali bersedih hati sekalipun kehidupan kita tidak makmur. Apalagi ukuran hidup makmur dan tidak sangatlah relatif. Hendaknya kita bersyukur dapat ditakdirkan oleh Tuhan menjelma menjadi manusia. Sebab, amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun hina sekalipun. 

Meskipun ajaran ini sudah demikian dikenal oleh umat Hindu, untuk menjadikan pegangan hidup yang mendalam memang tidak semudah mempelajari teorinya. Karena itu, marilah kembali kita renungkan kearifan lokal dalam bentuk nasihat leluhur kita di masa lampau, ''Sing dadi nampesang swecan Widhi''. 

Sesungguhnya Tuhan selalu sweca kepada kita. Karena kita sudah menjelma sebagai manusia marilah kita syukuri. Apalagi kita sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup meskipun dalam standar menimal seperti wareg, waras, wastra, wisma dan wasita seperti diuraikan di atas. Dengan menyadari bahwa hidup ini saking swecan Widhi, maka tekanan batin yang sering menimpa hidup manusia di zaman Kali ini dapat kita rasakan tidak terlalu berat. Menyesali nasibnya karena tidak sebaik rekannya akan dapat menimbulkan tekanan batin yang dalam. Ujung-ujungnya dapat menimbulkan tekanan jiwa yang lebih parah. Mensyukuri hidup ini sebagai karunia Tuhan dapat memberikan kita kekuatan membangun stabilitas diri. Diri yang stabil dapat menumbuhkan daya kreativitas yang positif menghadapi tantangan hidup ke depan yang makin tidak mudah. 

Hidup ini bukanlah hukuman tetapi kesempatan memperbaiki diri yang dikaruniai oleh Tuhan. Gunakanlah kesempatan ini untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diajarkan oleh Hyang Widhi melalui para Resi utusan-Nya. Mengabaikan kesempatan emas ini sungguh nampesang swecan Widhi. Adanya perbedaan nasib manusia di dunia ini bukanlah bentuk ketidakadilan Tuhan. Perbedaan nasib itu karena adanya perbedaan karma yang dilakukan oleh manusia sendiri. Tuhan selalu melimpahkan kasih-Nya secara adil kepada semua ciptaan-Nya. Gunakanlah keadaan nasib yang berbeda-beda itu sebagai peluang saling beryadnya. Hilangkan sifat iri hati terhadap orang yang bernasib baik. Karena nasib baik dan buruk itu tidak kekal pada diri seseorang. Orang yang nasibnya baik bisa saja berbalik menjadi buruk, demikian sebaliknya. 

  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net