Sabtu, 30 April 2016

Merenungkan Kembali Perilaku Beragama Kita

SALAH satu fungsi manajemen adalah melakukan proses evaluasi terhadap berbagai pelaksanaan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Apalagi dalam mewujudkan ajaran-ajaran agama yang kita anut ketentuannya telah ditetapkan dalam kitab suci dan kitab-kitab tafsirnya. Ajaran agama sebagai sabda Tuhan yang supra empiris amatlah suci. Tidak ada agama mengajarkan umatnya untuk melakukan sesuatu yang membuat penderitaan orang lain dan juga dirinya. Demikian juga tidak ada agama mengajarkan untuk membuat ketidakseimbangan di dunia ini, baik itu merupakan kesenjangan sosial maupun ketidakseimbangan lingkungan. Kalau ada umat beragama yang dengan sengaja atas nama agama yang dianutnya membuat penderitaan orang lain, itu sudah jelas suatu kesalahan umat bersangkutan. Hal itu bukan karena kesalahan agama yang dianutnya. 

Demikian juga dalam kehidupan beragama Hindu. Sesungguhnya kalau kita perhatikan betul konsep beragama yang dinyatakan dalam kitab suci atau kitab Sastranya sudah ada banyak perilaku beragama Hindu yang perlu ditinjau kembali. 

Perilaku beragama Hindu tabf sangat perlu ditinjau itu misalnya, beberapa puluh tahun yang lalu melakukan upacara yadnya dengan mewah akan sangat banyak maknanya untuk memeratakan kesejahteraan ekonomi. Meskipun tujuan utama upacara yadnya bukanlah untuk mengembangkan ekonomi. Tujuan utama upacara yadnya adalah mengharmoniskan hubungan umat Hindu dengan Hyang Widhi melalui sradha dan bhakti berdasarkan yadnya. Mengharmoniskan hubungan umat manusia dengan alam lingkungannya dengan menjaga kelestarian lingkungan tersebut berdasarkan kasih sayang. Selanjutnya mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan manusia melalui saling mengabdi secara timbal balik berdasarkan yadnya sesuai dengan swadharma masing-masing. 

Upacara yadnya yang menggunakan sarana alam lingkungan pada zaman dulu akan dapat memberikan lapangan kerja pada umat, karena berbagai hasil buminya akan laku keras. Khususnya di Bali dewasa ini alam Bali sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan akan sarana upacara yadnya tersebut. Misalnya saya mendapatkan informasi dari Bapak Dr. I Dewa Ngurah Suprapta, Dosen Fakultas Pertanian Unud yang mengadakan penelitian masalah kebutuhan akan sarana upacara yadnya di Bali. Katanya umat Hindu di Bali mendatangkan sarana upacara sehari-hari di luar ngodalin dan Hari Raya Hindu di Bali seharga satu trilyun enam ratus juta rupiah setiap tahunnya. Hal ini belum termasuk pisang yang didatangkan dari luar Bali senilai tiga ratus milyar rupiah setiap tahun. Di lain pihak di daerah Bali banyak lahan tidur. Kenyataan ini perlu kita renungkan kembali, apakah demikian semestinya kita melakukan upacara yadnya? 

Konsep penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara keagamaan Hindu adalah justru untuk melestarikan flora dan fauna yang ada di lingkungan kita. Hal ini ditegaskan dalam Manawa Dharmasastra V.40. yang pada intinya menyatakan bahwa flora dan fauna yang dijadikan sarana upacara yadnya akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaannya yang akan datang. Ini artinya penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara yadnya sebagai suatu amanat untuk terus melestarikan keberadaan flora dan fauna tersebut. 

Ada baiknya perilaku kita beragama Hindu, khususnya mengenai penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara yadnya perlu ditinjau kembali. Di Bali keberadaan flora dan fauna tersebut sudah semakin menipis. Penggunaan flora dan fauna itu perlu dilakukan secara selektif. Misalnya pilihlah upacara yang lebih sedikit menggunakan sarana flora dan fauna (sarwa prani). Cukup digunakan untuk membuat banten-banten yang inti saja. Misalnya banten gebogan buatlah yang sesuai dengan keadaan alam lingkungan saja. Usahakanlah jangan membuat gebogan dari buah-buahan impor. Di samping itu setelah banten itu dipersembahkan ia sebagai lungsuran atau prasadam. Artinya makanan yang suci sebagai karunia Hyang Widhi Wasa. Sebagai lungsuran semestinya ia habis dimakan secara bersama-sama. Kalau sampai berlebihan dan busuk, itu artinya kita sudah mengabaikan simbol karunia Tuhan. 

Salah satu ajaran agama Hindu yang sangat patut kita perhatikan adalah, kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan. Di Bali disebut Sang Hyang Amertha. Perilaku beragama lainnya yang patut kita renungkan kembali adalah upacara yang ditampilkan terlalu egoistis. Sepeti penggunaan jalan secara berlebihan, sikap pamer dan sikap memuji-muji diri dalam upacara yadnya itu. Perilaku beragama seperti itu dalam Bhagavad Gita digolongkan sebagai yadnya bersifat Rajasik. Ritual yang Rajasik ini yang umumnya dilakukan oleh Asura. 

  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net