Sabtu, 09 April 2016

Upacara Otonan dan Penguatan Identitas Kehinduan

 

Memperhatikan perkembangan masyarakat Bali dewasa ini terdapat gejala menarik yang perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu terjadinya perubahan sikap dan perilaku orang Bali secara signifikan. Orang Bali kini cenderung menjadi sangat pragmatis sehingga mengarah pada human ekonomikus. Gejala lain adalah semakin memudarnya kebiasaan membuatkan upacara otonan (peringatan kelahiran yang dilaksanakan setiap 210 hari sekali) dan digantikan dengan peringatan kelahiran berupa ulang tahun (dirayakan setahun sekali).
Gejala lain yang sangat menonjol adalah tingginya angka bunuh diri pada orang Bali. Pada tahun 2002 terjadi 146 kasus bunuh diri, sedangkan pada tahun 2003 terjadi 100 kasus (berdasarkan catatan yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Sanglah). Sementara itu untuk Kabupaten Jembrana pada tahun 2003, telah terjadi 36 kasus bunuh diri.
Gejala-gejala tersebut memberikan indikasi bahwa masyarakat Bali mengalami anomi sehingga harus dilakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah kembali ke jati diri sebagai manusia Bali dengan melakukan upaya-upaya penguatan identitas kehinduan. Agama adalah salah satu mekanisme ke arah penguatan moral dan identitas.
Dalam hubungannya dengan penguatan identitas kehinduan, upacara otonan menjadi sangat penting untuk dibahas. Persoalannya adalah: apa makna upacara otonan itu sehingga menjadi penting untuk dirayakan dan mengapa penguatan identitas kehinduan itu menjadi penting? Inilah dua persoalan pokok yang akan dibahas dalam pemaparan selanjutnya.
Pembahasan
Agama Hindu yang sekarang diwarisi di Bali adalah sebuah perpaduan akulturatif antara tradisi kecil (budaya Bali) dengan tradisi besar (Hindu) yang datang dari India. Oleh karena agama Hindu merupakan sebuah hasil akulturasi, maka beberapa tradisi lokal masih tetap bertahan hingga saat ini. Masuknya agama Hindu lebih banyak bersifat mempermulia apa yang telah ada di Bali. Beberapa tradisi lokal yang tetap bertahan misalnya bentuk-bentuk pelaksanaan upacara.
Agama Hindu terdiri atas tiga kerangka, yaitu tattwa, etika dan upacara. Dalam realisasinya ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, satu aktivitas keagamaan merupakan realisasi dari ketiga kerangka dasar tersebut. Dalam penampilannya secara empiris upacara mungkin tampak lebih menonjol dibandingkan dengan aspek etika dan tattwa. Akan tetapi esensi, terdalam dari agama Hindu terdapat dalam Tattwa.
Bagi masyarakat Hindu di Bali, realisasi ajaran agama itu dilaksanakan dalam bentuk kebaktian dan yadnya. Di Bali dikenal lima jenis yadnya yang disebut Panda Yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Melakukan upacara yadnya merupakan langkah yang diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting karena yadnya adalah salah satu penyangga bumi. Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa Weda.
Upacara agama adalah merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan yadnya sebagai dasar pengembalian Tri Rna. Weda mengajarkan, Tuhan menciptakan alam semesta ini berdasarkan yadnya. Oleh karena itu, manusia yang bermoral akan merasa berutang kepada Tuhan. Dari adanya rasa berutang itu umat Hindu melakukan Dewa Yadnya sebagai rasa bakti umat kepada Tuhan dan melakukan, Bhuta Yadnya untuk memelihara semua ciptaan Tuhan. Rasa berutang kepada leluhur (pitra) diwujudkan dengan berbakti kepada leluhur atau pitra dalam bentuk Pitra Yadnya dan mengabdi kepada keturunan karena keturunan tersebut pada hakikatnya adalah leluhurlah yang menjelma.
Mengabdi kepada keturunan dalam bentuk manusa yadnya pada hakikatnya adalah leluhurlah yang menjelma. Mengabdi kepada keturunan dalam bentuk manusa yadnya pada hakikatnya juga melakukan Pitra Yadnya secara filosofis. Hal ini terjadi karena agama Hindu mengajarkan kepercayaan kepada punarbhawa atau reinkarnasi. Anak-anak yang dilahirkan adalah penjelmaan leluhur yang terdahulu. Sehubungan dengan itu mengupacarai anak-anak dalam bentuk Sarira Samskara atau di Bali disebut Manusa Yadnya adalah bentuk pengabdian orang tua kepada leluhur melalui anak-anak.
Salah satu bentuk upacaranya adalah upacara otonan yang datangnya setiap enam bulan. Upacara otonan adalah upacara penyucian. Dengan menyucikan anak-anak, berarti juga menyucikan leluhur. Melakukan bagi orang tua kepada anaknya. Upacara ini sering juga disebut utang orang tua kepada anak. Utang ini juga utang moral. Upacara ini bertujuan agar segala keburukan dan kesalahan yang mungkin dibawa sejak lahir dan semasa hidupnya terdahulu dapat dikurangi atau ditebus. Dengan demikian kehidupan yang sekarang benar-benar merupakan kesempatan untuk memperbaiki serta meningkatkan diri untuk mencapai kehidupan yang sempurna. Jadi upacara otonan bagi masyarakat Hindu demikian mendalam.
Dalam rangka membentuk sumber daya manusia yang berkualitas, maka upacara otonan ini mutlak dilakukan oleh para orang tua, terutama kaum perempuan sebagai penyangga yadnya. Namun, kenyataan yang ditemukan di lapangan banyak orang tua (terutama para perempuan/ibu yang berkarier di luar rumah) mengganti otonan menjadi perayaan ulang tahun sehingga makna otonan itu sendiri menjadi sangat kabur. Ada kalanya bagi orang tua yang mampu justru melaksanakan kedua-duanya (otonan dan ulang tahun). Konsep pikir mereka adalah mengikut izaman. Hal ini jelas menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki konsep pikir seperti itu sudah kena pengaruh modernisasi dan pola pikir keseragaman.
Bahwa dewasa ini terjadi berbagai krisis pada diri manusia, di antaranya adalah krisis keanekaragaman. Semua krisis yang terjadi disebabkan dan dinikmati oleh manusia sendiri. Lebih jauh dikatakan bahwa krisis keanekaragaman ditandai dengan hilangnya ciri-ciri khas, bahkan punahnya spesi atau penampilan sebagai akibat dari upaya penyeragaman, sedangkan penyeragaman dilakukan dengan tujuan effisiensi dan modis. Penyeragaman ini tidak hanya dalam bentuk arsitektur bangunan, makanan dengan berbagai jenisnya yang sering dikonsumsi oleh orang Bali (Hindu), tetapi juga dalam hal perayaan hari kelahiran.
Padahal, menurut konsep Hindu yang ada kaitannya dengan permasalahan tersebut adalah Bhineka Tunggal Ikayang terdapat dalam Lontar Sutasoma. "Bhinneka Tunggal Ika" mengandung makna keanekaragaman, bukan keseragaman. Landasan, keanekaragaman juga ditemukan dalam ajaran filosofis Tri Hita Karana. Ajaran filosofis ini mengajak umat Hindu untuk menjaga hubungan dengan sesama, manusia mesti menyadari bahwa dirinya dilahirkan dalam perbedaan dengan orang lain dan dalam perbedaan itulah manusia memiliki makna.
Upaya penyeragaman dengan umat agama lain juga telah menggusur kebiasaan umat Hindu dalam memperingati hari kelahirannya. Umat Hindu mengenai hari kelahiran sebagai paweton (otonan). Peringatan hari kelahiran berdasarkan sistem otonan dilaksanakan enam bulan sekali. Sistem ini akan mendapatkan hari yang sama dengan hari ketika kelahirannya, baik wuku, saptawara, maupun pancawaranya. Keadaan ini akan lebih tepat bila dibandingkan dengan sistem ulang tahun yang hanya memperhitungkan tanggal kalender Masehi. Dengan demikian, yang diperingati sebenarnya bukan hari kelahiran (birth day), melainkan justru gejala ini sangat tampak pada masyarakat Hindu dewasa ini, yakni ulang tahun lengkap dengan pesta-pestanya. Padahal umat Hindu memiliki sistem otonan yang secara filosofis memiliki makna yang lebih mendalam.
Upacara otonan bagi umat Hindu di Bali sebagai sebuah upacara penguat identitas kehinduan menjadi sangat penting dalam perkembangan masyarakat yang mengarah pada masa postmodern yang ditandai dengan keanekaragaman. Pada masa modern telah terjadi penyeragaman akibat adanya globalsiasi. Zaman modern dengan tradisi serba logika ilmiah ternyata tak mampu menyelesaikan semua persoalan, yang dihadapi manusia. Akhirnya orang mulai melirik berbagai kearifan lokal yang dimiliki bangsa-bangsa dalam upaya membantu mengatasi, berbagai persoalan baik persoalan-persoalan yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah.
Saat ini gaya hidup, modern dengan orientasi global hampir menguasai setiap aspek kehidupan manusia Bali. Berbagai etika dan tradisi yang mengikat kelompok budaya sebelumnya menjadi goyah karena didesak oleh gaya hidup baru zaman modern. Gaya hidup modern sering kali dikaitkan dengan rasionalisasi, konsumtivisme, komersialisasi budaya lokal, yang pada ujungnya nanti menghancurkan budaya nasional.
Dalam sebuah artikelnya Fukuyama mengemukakan bahwa pasca-perang dingin ketika kapitalisme dan demokrasi liberal menjadi pemenangnya merupakan puncak dan akhir peradaban dunia atau dengan kata lain sejarah telah berakhir. Akan tetapi, akhir sejarah lebih dimaknai tidak akan ada kemajuan penting lebih lanjut dalam perkembangan yang mendasari prinsip-prinsip dan institusi-institusi karena seluruh persoalan besar yang sesungguhnya telah terjawab.
Apa yang disampaikan oleh Fukuyama mendapat tanggapan dari Samuel P. Huntington yang lebih menekankan bahwa peradaban sekarang lebih menuju pada pluralisme daripada univeralisme. Oleh karena itu, menurut Huntington, sumber fundamental konflik dalam dunia baru ini pada dasarnya bukan lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan. Bahwa dalam menghadapi globalsiasi, budaya lokal yang beraneka ragam memberikan respons yang berbeda-beda bergantung pada kualitas pengaruh globalisasi itu serta soliditas dari budaya-budaya lokal itu.
Di sisi lain para penganut paham postmodern berpendapat bahwa kontak budaya tidak mungkin dihindari di era global sehingga akan terjadi pengaruh timbal balik dengan cara yang mendalam. Dengan demikian, akan terjadi fenomena yang disebut globalisasi (globalsiasi dan lokalisasi) budaya. Artinya unsur lokal dan global saling bertukar dan dapat hidup bercampur menjadi satu. Di sini tampak bahwa penganut paham postmodern menolak adanya proyek-proyek global yang membawa sifat universalisme, tetapi ingin melihat, menghargai perbedaan, keunikan, sejarah dari bagian-bagian dunia.
Hal yang perlu dicatat dari kedua paham tersebut, baik paham modern maupun postmodern adalah akan selalu terjadi proses dialektika budaya dalam masyarakat (termasuk Bali). Oleh karena itu, yang menjadi problem saat ini adalah bagaimana membuat manusia Bali memiliki ketahanan budaya dalam menghadapi budaya asing sehingga tidak tercabut dari akar budayanya. Hal ini penting karena menghindarkan diri dari pergaulan budaya global tak mungkin. Oleh karena itu, akan bergantung pada respons-respons budaya lokal terhadap pengaruh Budaya Barat yang telah begitu kuat di dunia. Menurut Samuel P. Hungtington, respons-respons ini bisa mengambil salah satu atau gabungan dari tiga bentuk di bawah ini :
a. Dalam bentuk yang ekstrem negara non Barat dapat melakukan semacam isolasi, melindungi masyarakat mereka dari penetralisir atau korupsi yang dilakukan Barat. Akibatnya ke luar dari keterlibatan dalam masyarakat global yang didominasi Barat.
b. Berusaha ikut Barat dan menerima nilai-nilai serta lembaga-lembaganya.
c. Alternatif ketiga adalah berusaha mengimbangi Barat dengan mengembangkan kekuatan-kekuatan (ekonomi dan militer) dengan melakukan kerja sama dengan negara-negara lembaga-lembaga dan nilai-nilai pribumi.
Mungkin bangsa Indonesia khususnya Bali bisa memilih alternatif ketiga, namun hanya dalam hal melestarikan lembaga-lembaga dan nilai-nilai pribumi, sambil membenahi sistem ekonomi dan bidang-bdiang lainnya.
Pada era postmodern akan terjadi "perang peradaban" sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P. Huntington. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha-usaha penguatan identitas budaya pada tiap-tiap pendukung peradaban. Peradaban yang tak mampu menyesuaikan diri akan tenggelam. Bila umat Hindu tidak ingin tenggelam atau ditenggelamkan pengaruh budaya lain, maka perlu dilakukan upaya-upaya penguatan identitas kehinduan di antaranya melalui upacara otonan.
Upacara otonan adalah satu bentuk upacara manusa yadnya, sebagai peringatan hari kelahiran yang jatuh setiap 210 hari sekali. Perhitungannya berpedoman pada hari lahir seseorang berdasarkan Panca Wara (Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon); Saptawara (Redite, Coma, Anggaran, Budha Wrhaspati, Sukra dan Saniscara); dan Pawukon (banyaknya 30 mulai dari wuku Sinta sampai dengan Watugunung). Misalnya seseorang yang lahir pada Budha Kliwon Dunggulan, maka 210 hari terhitung sejak saat itu ia akan merayakan otonannya tepat pada Budha Kliwon Dunggulan juga.
Kata oton berasal dari kata metu. Kata yang identik dengan itu adalah odalan dari medal. Kedua kata itu mengandung makna lahir atau ke luar. Otonan atau odalan bagi manusia merupakan peringatan hari kelahiran sendiri. Kelahiran pada hari tertentu ini menurut keyakinan umat Hindu membawa dampak terhadap watak dan kepribadian seseorang. Setiap hari kelahiran membawa kelebihan dan kelemahan sendiri bagi yang bersangkutan. Upacara agama dilakukan pada hari kelahiran tersebut agar yang bersangkutan terhindari dari petaka-petaka yang mungkin muncul dari hari kelahirannya itu. Oleh karena itu, terdapat bentuk-bentuk upacara penebusan oton.
Banten yang digunakan untuk upacara otonan yang pertama kalinya, yaitu ketika anak berumur enam bulan adalah prayascita byakala, perurubayan, pesaksi ke Bale agung, banten tuwun tanah, banten kumara, jejanganan dan tataban seadanya disertai penebusan oton. Sebaliknya, untuk oton-oton selanjutnya, diperlukan banten dapetan, byakala, tataban, Penyelenggaraan otonan setiap enam bulan (210 hari) sekali merupakan tonggak peringatan hari kelahiran secara berkesinambungan, mengandung makna penyucian, serta memberi sinyal, baik pada keluarga maupun yang bersangkutan agar selalu berusaha meningkatkan pengendalian diri.
Bertambahnya umur berarti bertambah pula pengetahuan dan kebijaksanaannya dan serta persoalan-persoalan hidup yang harus diatasi. Melalui upacara ini, manusia Hindu memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar selalu memberikan bimbingan dan tuntutan-Nya. Hanya Tuhan tempat manusia memohon perlindungan karena Ia yang kuasa pada hidup manusia. Hal ini tergambar dalam penggunaan berbagai bentuk bebanten seperti byakala dan prayaseita.
Banten byakala dan prayascita dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan, baik jasmani maupun rohani orang yang dibuatkan upacara otonan. Hampir semua upacara manusa yadnya mengandung makna yang sama, yaitu penyucian dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini perlu dilakukan secara berulang-ulang karena dalam perjalanan hidup manusia tak mungkin lepas dari papa dan dosa. Hal itu terjadi sebab dalam diri manusia terdapat unsur-unsur Daiwi Sampad (unsur-unsur kedewataan) serta Asuri Sampad (unsur-unsur keraksasaan). Oleh karena itu, harus selalu dilakukan upacara-upacara tertentu agar unsur-unsur kedewataan mengayoni unsur-unsur keraksasaan sehingga hidup manusia menjadi lebih mulia dari waktu ke waktu. Jadi itu upacara oton sebagai awal periode waktu kelahiran mengandung makna yang sangat tinggi.
Keyakinan semacam  ini  tampaknya memang terjadi di berbagai belahan dunia, di mana pun terdapat konsep tentang akhir dan awal periode waktu, berdasarkan pengamatan ritme biokosmis dan membentuk bagian sistem yang lebih besar sistem pemurnian periodik (misalnya, pembersihan dosa, puasa, pengakuan dosa, dan sebagainya) dan regenerasi hidup periodik. Meskipun peringatan kelahiran awal periode waktu kehidupan manusia di kosmos -diperingati di berbagai belahan dunia, oton hanya dimiliki oleh mereka yang beragama Hindu, khususnya di Bali.
Hal ini menjadi amat penting ketika usaha-usaha penguatan identitas eknik menjadi gejala budaya dan manusia memasuki abad postmodern saat ini. Melalui upacara otonan identitas kehinduan dimaksudkan dapat dijadikan nilai-nilai luhur yang dapat membentuk kepribadian manusia-manusia Hindu. Penguasan identitas dalam arti bahwa hal itu bisa menjadi filter bagi yang bersangkutan ketika berinteraksi dengan budaya-budaya lain sangat penting artinya sehingga terjadi proses selektif terhadap pengaruh-pengaruh yang diterimanya.
Upacara oton mengandung makna penyucian, baik terhadap fisik yang bersangkutan maupun terhadap rohani orang yang dibuatkan upacara. Upacara oton juga sebagai sinyal untuk mengingatkan yang bersangkutan dan keluarganya bahwa bertambahnya umur berarti bertambah pula kebijaksanaan dan tantantan yang akan dihadapi dalam kehidupan ini. Oleh karena itu dimohonkan wara nugraha Hyang Widhi untuk selalu memberikan bimbingan dan perlindungan.
Makna upacara otonan bila dikaitkan dengan usaha penguatan identitas kehinduan adalah sebagai proses internalisasi nilai-nilai kehinduan secara berkelanjutan. Variasi bentuk materi peringatan kelahiran tersebut, misalnya penambahan penggunaan kue tart bagi anak-anak boleh saja sepanjang tidak melupakan penggunaan berbagai bentuk banten yang mengandung makna-makna tertentu.
Bagi umat Hindu, pelaksanaan upacara oton ini harus lebih dimasyarakatkan sehingga upacara ini tidak terkikis dari keyakinan masyarakat Hindu. Pepatah yang mengatakan "tak kenal maka tak sayang" harus dijadikan pedoman untuk memasyarakatkan upacara otonan.
Source : I Wayan Budi Utama l Warta Hindu Dharma NO. 497 Mei 2008
sumber : http://phdi.or.id/artikel/upacara-otonan-dan-penguatan-identitas-kehinduan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net