Selasa, 03 Mei 2016

Proses ''Purity'' dalam Tradisi

SWAMI Satya Narayana menyatakan bahwa penganut Veda hendaknya selalu memuja lima ibu dalam meningkatkan kualitas moral dan mental dalam menjalani hidup. Lima ibu itu adalah Dewa Mata yaitu Tuhan sebagai ibu menciptakan segala yang ada. Deha Mata adalah ibu kandung yang melahirkan kita secara fisik. Veda Mata yaitu kitab suci sabda Tuhan. Dari Veda-lah lahir bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti Apara Vidya dan Para Vidya. Bumi Mata yaitu ibu pertiwi yang melahirkan berbagai macam sarwa prani yang menjadi sumber kehidupan umat manusia di bumi ini. Desa Mata yaitu kristal-kristal Veda yang telah menjadi tradisi. Tradisi tersebutlah yang secara nyata sudah menjadi pegangan hidup masyarakat dalam mengamalkan ajaran Veda dalam wujud agama Hindu. 

Salah satu tujuan menganut agama Hindu adalah menjaga selalu tegaknya nilai-nilai Veda yang telah dikemas dalam tradisi tersebut. Karena keterbatasan manusia nilai-nilai suci Veda itu dalam pengamalannya dalam tradisi akan mengalami pasang surut. Pasang surut tersebut disebabkan oleh perubahan ruang dan waktu yang terus berjalan sepanjang zaman. 

Ibarat proses kehidupan manusia, setiap hari badan manusia itu harus dibersihkan dengan mandi. Setelah mandi manusia pun merasa dirinya segar kembali seperti semula. Demikian juga dalam menjaga tradisi Veda harus ada proses purity yang wajar pada tradisi Veda. Proses purity ini semata-mata agar nilai-nilai Veda tetap ajeg atau tegak kembali menjadi murni untuk menuntun manusia dalam menjalani hidupnya. Veda adalah sabda Tuhan yang kekal abadi. Yang mengamalkan sabda Tuhan itu adalah manusia. Setiap perbuatan manusia kena hukum Rwa Bhineda. 

Perbuatan itu ada yang benar dan ada yang salah, ada yang baik dan ada yang buruk. Perbuatan manusia itu dibatasi juga oleh ruang dan waktu. Ada perbuatan yang benar dan baik dalam suatu waktu tertentu dan bisa menjadi salah dan buruk dalam waktu yang lain. Ada perbuatan yang baik dan benar di suatu tempat tertentu dan bisa saja menjadi salah dan buruk ditempat yang lain. Karena itu, agar Veda itu sukses diamalkan di mana saja penerapannya selalu disesuaikan dengan ruang dan waktu. Hal inilah yang mewajibkan adanya proses purity pada tradisi Veda di mana dan kapan pun berada. Persepsi dan visi umat pada keberadaan tradisi Veda ini sangat beraneka ragam. Hal inilah yang mengharuskan kita tidak boleh menyeragamkan secara total tradisi beragama Hindu tersebut. 

Merumuskan suatu langkah dalam proses purity itu harus dilakukan secara merdeka dan demokratis. Pemimpin keagamaan dan kelembagaannya hanya berfungsi sebagai vasilitator dan mediator dalam merumuskan proses purity tradisi kitab suci Veda tersebut. Dengan demikian proses purity kitab suci itu akan menjadi ajang saling beryadnya dengan kesukarelaan yang setulus-tulusnya. Hal itu akan membawa rasa kemerdekaan yang membahagiakan dalam kehidupan beragama. Karena pemimpin dan kelembagaan umat itu sering diintervensi oleh kekuasaan politik pemerintah, maka terjadilah rasa tertekan yang laten dalam kehidupan beragama. Apalagi kehendak kekuasaan itu sepertinya melebihi suara Tuhan yang tercantum dalam kitab suci. Hal ini akan menyebabkan ketidakberhasilan kehidupan beragama memberi kontribusi positif pada kehidupan umat manusia. Di Indonesia pemimpin agama dengan lembaga umat dan kekuasaan pemerintah sebaiknya berpegang teguh dengan ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk menganut agama dan kepercayaan serta beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan itu. Kalau intervensi itu terlalu jauh maka proses purity melalui Utpati, Stithi dan Pralina akan menjadi sangat terganggu. Bukan kitab suci menjadi pegangan beragama tetapi kehendak sang penguasa yang harus dipatuhi. 

Tipe keberagamaan umat Hindu sangat beraneka ragam. Kalau tipe keberagaman penguasa dijadikan pegangan beragama umat maka akan terjadilah rasa yang tertekan secara laten dalam kehidupan beragama masyarakat. Di samping itu yang punya tabiat menjilat akan mengikuti penguasa dalam beragama untuk tujuan yang lain. Misalnya untuk mendapatkan akses tertentu pada Sang Penguasa. Kehidupan beragama masyarakat yang bertabiat menjilat itu pun menjadi semakin munafik. Sedangkan yang berbeda tipe keberagamannya dengan mereka yang berkuasa akan menjadi tertekan. Apalagi memang benar penguasa menggunakan alat-alat kekuasaan untuk meminggirkan mereka yang berbeda. Hal tersebut tidak membangun suasana beragama yang memberikan proses purity pada tradisi kitab suci secara murni. Kalau agama dikatakan belum berhasil membangun kehidupan individu dan sosial yang aman dan damai, hal itu bukan merupakan kegagalan agama sebagai sabda Tuhan. Ketidak berhasilan itu karena kelemahan manusia dalam mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 

  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net