Kamis, 05 Mei 2016

''Siat-siat'' Wayang

KEARIFAN lokal yang juga merupakan kristal nilai-nilai agama Hindu di Bali -- selain dapat diikuti pada Mimbar ini sebelumnya -- ada disebutkan dalam bahasa Bali sebagai berikut: ''siat-siat wayang pamuput mapunduh di gedogane'' Kalimat ini kalau dibahasa-indonesiakan maksudnya: seperti perang dalam pewayangan akhirnya semua wayang berkumpul kembali di keropak (kotak) tempat penyimpanannya.

Kearifan lokal ini mengandung nilai-nilai manajemen konflik yang benar-benar arif. Dalam cerita pewayangan ki dalang umumnya melengkapi pementasannya dengan adanya perang antara ruang kenawan lawan ruang kebot. Maksudnya wayang simbol kebaikan dan kebenaran (Dharma) umumnya dimainkan dengan tangan kanan ki dalang. Sedangkan simbol kejahatan (Adharma) umumnya dimainkan dengan tangan kiri ki dalang. Setelah Ki Dalang selesai mementaskan wayangnya semua wayang, baik yang dimainkan dengan tangan kanan maupun tangan kiri kembali disatukan terkumpul dalam kotak wayang. Perang dalam bahasa Bali disebut siat atau mesiat. 

Leluhur orang Bali yang beragama Hindu pada zaman duhu umumnya paling menggemari pementasan wayang ini. Apalagi saat itu teknologi hiburan tidak seperti sekarang majunya. Dari seringnya menonton wayang itulah timbul kristal pemikiran para pemikir orang tua-tua dulu. Saking seringnya melihat pementasan wayang itulah kemudian mengkristal menjadi ungkapan siat-siat wayang pemuput mepunduh di gedogane. Kristal nilai ini umumnya dinasihatkan kepada mereka yang sedang berkonflik. Mereka yang berkonflik itu tidak dicela. Karena mungkin memang ada suatu hal yang memang patut dikonflikkan karena ketidakmampuan mereka yang bermusyawarah. Namun orang-orang yang arif umumnya akan menasihati dengan nasihat siat-siat wayang tadi. Ini maksudnya untuk mengingatkan bahwa kita bersaudara. 

Apakah itu saudara sekandung, saudara sebanjar, sedesa, atau kawitan memiliki kesamaan ideologi politik dan lain-lain. Habis ribut-ribut berkonflik agar mereka sadar bahwa kalau mereka dapat rukun kembali akan banyak pihak diuntungkan di samping mereka yang berkonflik tersebut. Jadi kearifan lokal siat-siat wayang itu mengandung nilai yang universal untuk memberikan kontribusi bagi upaya memanajemen konflik yang sudah terjadi. Setidaknya tidak mengarahkan konflik dari fight menuju fight, apalagi kalau bisa mengarah pada keadaan menuju kondisi tidak tegang. Dari kondisi ini, kalau mungkin lagi diarahkan menuju kondisi yang mengarah pada terbentuknya perjanjian-perjanjian menuju rekonsiliasi. Rekonsiliasi artinya kembali rukun dan damai seperti semula. Karena rekonsiliasi itu puncak daripada penyelesaian konflik dengan metode mediasi dengan mediator-mediator yang cerdas, sabar dan ulet. 

Perang yang dipentaskan oleh ki dalang adalah perang yang terus menerus terjadi di dalam diri manusia dan di dalam bhuwana agung ini. Yang dilukiskan dalam wayang itu adalah perang antara Dewi Sampad (kecenderungan kedewaan) melawan Asuri Sampad (kecenderungan keraksasaan). Kalau satu pihak dikuasai oleh kecenderungan kedewaan maka ia pun akan menampilkan perbuatan yang benar dan baik. Di lain pihak ada yang sedang dikuasai kecenderungan keraksasaan. Dua kecenderungan inilah yang umumnya dipentaskan berperang oleh ki dalang. Karena setiap orang bisa saja khilaf sehingga berbuat yang tidak baik. Tetapi suatu saat ia pun bisa sadar. Saat sadar itu janganlah ia dimusuhi. Ajaklah kembali bersama dan bersatu. 

Demikian juga dalam hubungan sosial tidak selalu kita bermusuhan atau bersahabat. Kadang-kadang sahabat bisa menjadi musuh bahkan musuh bisa berbalik menjadi sahabat. 

Pisahkanlah antara dua kecenderungan kedewaan dan keraksasaan sebagai ekspresi sifat manusia dan kemanusiaannya sendiri. Karena pada hakikatnya kemanusiaan itu baik karena ada Sang Hyang Atma bersemayan dalam diri setiap orang. Yang patut dimusuhi dengan tujuan memperbaiki adalah sifat-sifatnya. Inilah yang dipentaskan oleh ki dalang. Dua kecenderungan itu memang pasti akan selalu bertarung. Tetapi harus diingat nilai-nilai kemanusiaannya yang suci. Nilai-nilai kemanusiaan itulah yang harus terus diingat dan itulah yang dijadikan pedomanan membangun kebersamaan dan persatuan. Itulah yang diingatkan oleh leluhur kita dulu agar terus diingat sehingga kita dapat bersatu kembali bagaikan wayang berkumpul kembali di dalam keropaknya. 

Nasihat kearifan lokal ini tidak bersifat menggurui orang yang berkonflik. Wayang hanya ditunjuk sebagai contoh yang sangat patut diteladani. Demikian bijaknya leluhur zaman dulu mengatasi persoalan. Dengan cara itulah manusia dituntun untuk membeda-bedakan kecenderungan sifat manusia dan mana kemanusiaan yang universal itu. Di samping itu tidak ada yang kekal di dunia ini. Orang konflik juga tidak kekal. Orang bersahabat juga tidak ada yang kekal karena hanya Tuhanlah yang Maha Kekal. Kalau ada yang sedang konflik hendaklah berusaha mencari momen-momen yang tepat untuk kembali baik-baik. Kalau dalam keadaan baik-baik, dalam persahabatan, berusahalah sekuat mungkin menghindari momen-momen yang dapat merusak persahabatan itu. 

Karena itu dalam bersahabat, betapa pun akrabnya, hendaknya selalu dibatasi agar persahabatan itu lebih lama bertahan bahkan diwarisi sampai pada keturunan kita kelak. Keturunan pun semestinya memelihara warisan persahabatan leluhur untuk dilanjutkan dari generasi ke generasi. 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net