Jumat, 06 Mei 2016

Siwa Latri, Malam Kesadaran Rohani

SEHARI sebelum bulan mati atau Tilem disebut Siwa Latri. Tetapi khusus sehari sebelum Tilem Sasih Kepitu disebut Maha Siwa Ratri. Hari raya keagamaan Hindu ini bersumber dari kitab Sastra Weda Purana seperti Garuda Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan juga Padma Purana. Purana terakhir inilah yang digubah atau dibahasajawakunakan oleh Mpu Tanakung menjadi Kakawin Siwa Ratri Kalpa. Karya sastra keagamaan Hindu ini di Bali lebih populer dengan Kakawin Lubdaka. Isi ajarannya tentang keagungan ajaran Siwa dengan pemujaan Tuhan sebagai Siwa saat hari Siwa Ratri. Mengapa Tuhan dipuja sebagai Siwa demikian penting saat hari raya Siwa Ratri? 

Tuhan memang mahakuasa. Kemahakuasaan dan keagungan Tuhan tiada terbatas. Namun umat manusia yang memujanya memiliki keterbatasan. Karena itulah Tuhan dipuja sesuai dengan keterbatasan umat manusia. Karena itu setiap jenis kemahakuasaan Tuhan itu diberi sebutan oleh para Resi. Karena menurut Rgveda, Tuhan itu Esa tetapi para Vipra (para Resi) memberikan banyak sebutan (Ekam Sat Vipra Bahuda Vadanti). 

Pada malam Siwa atau Siwa Ratri ini Tuhan dipuja sebagai Siwa. Kata Siwa dalam bahasa Sansekerta berarti suci, tenang, baik hati, suka memaafkan, memberi harapan, membahagiakan. Demikianlah arti kata Siwa dalam bahasa Sansekerta. Ini artinya, dengan memuja Tuhan sebagai Siwa umat manusia mengharapkan mendapatkan kesucian, ketenangan hati dan hidupnya. 

Demikian juga manusia dalam kehidupannya bersama dalam masyarakat tidak luput dari berbagai kesalahan atau kekurangan. Kesalahan dan kekurangannya itu tentunya dilakukan dengan tidak sengaja atau di luar kemampuannya. Dalam hal yang demikian itulah umat manusia memohon kepada Tuhan Siwa semoga diberikan kekuatan untuk dapat saling memaafkan. Karena untuk menjadi seorang pemaaf tidaklah mudah. Apalagi di zaman Kali vibrasi adharma lebih kuat mendominasi atmosfir alam. Orang pun akan jarang merasakan dan mengakui kesalahannya. Orang akan lebih mudah melihat kesalahan orang lain daripada dirinya. Karena untuk menjadi seorang pemaaf tidak mudah. Dalam hal inilah dibutuhkan kesadaran untuk menjadikan diri seorang pemaaf atau Ksama Murti. 

Dengan upaya menjadikan diri seorang pemaaf inilah dibutuhkan tuntutan Tuhan melalui pemujaan pada Tuhan sebagai Siwa. Tanpa kesadaran Tuhan orang akan sulit menjadi seorang pemaaf. Apalagi gejolak ego (ahamkara) yang sedang menguasai jiwa seseorang. Memaafkan itu akan dianggap sikap hidup pengecut, tidak punya harga diri. Berbeda halnya dengan orang yang meyakini bahwa dalam hidup di dunia ini Tuhan itu adalah Sutradara Agung dari sandiwara kehidupan ini. Apa pun yang dialami dalam hidup ini atas kehendak Tuhan. Apakah mereka mendapatkan suka atau duka, untung- rugi, nasib baik atau nasib buruk; semuanya itu adalah skenario kehidupan yang disutradarai oleh Tuhan sendiri. Bagi orang yang menyadari kesadaran rohani ini memaafkan kesalahan orang lain itu suatu keindahan. Ia tidak perlu dendam karena hal itu menjadi skenario Tuhan. Tentunya Tuhan menetapkan suatu skenario dalam drama kehidupan ini tidaklah sewenang-wenang. Apa yang harus kita mainkan dalam hidup ini tentunya ditentukan oleh Tuhan berdasarkan karma-karma yang kita pernah perbuat. 

Ada seseorang dimainkan kena fitnah dalam drama kehidupan ini oleh Tuhan. Hal itu terjadi karena orang tersebut pernah memfitnah. Entah dalam penjelmaannya kapan ia pernah memfitnah orang. Hanya Tuhan yang Mahatahu. Dengan kesadaran ini orang pun tidak perlu saling mendendam. Tuhan tidak mungkin memberikan kita hidup menderita kalau kita tidak pernah membuat orang lain menderita. Kalau kita tidak ingin menderita janganlah membuat orang lain menderita. Kalau ada orang secara nyata saat ini membuat orang lain menderita dan nyata ia hidupnya tidak menderita, hal itu karena ia masih menikmati karma baik pada penjelmaan sebelumnya. Perbuatannya menderitakan orang lain saat ini pasti akan dipetiknya. Kapan itu ia petik hanya Tuhan yang Mahatahu. Kesadaran rohani seperti inilah yang semestinya kita bangkitkan dalam merayakan Malam Siwa ini. 

Kata Siwa juga berarti ''memberi harapan''. Dalam perjalanan hidup ini orang tentu pernah dirundung kekecewaan. Dengan memuja Tuhan sebagai Siwa dapat dibangun keyakinan diri mendapat harapan hidup yang lebih baik. Dengan harapan rohani dari memuja Siwa itu akan dapat dibangun kesadaran diri untuk menanggulangi kekecewaan hidup. Ini artinya dengan memuja Tuhan sebagai Siwa kekecewaan dapat diubah menjadi hidup optimis penuh harapan. Siwa juga berarti ''bahagia''. Ini juga bermakna bahwa siapa pun yang dengan disiplin memuja Tuhan sebagai Siwa terutama pada hari Siwa Ratri akan mendapatkan pahala kebahagiaan rohani. Jadi Maha Siwa Ratri itu adalah malam kesadaran rohani. Siapa pun yang mampu memiliki kesadaran rohani, pasti semakin terhindar dari perbuatan dosa. Karena perbuatan dosa berasal dari kegelapan jiwa. 

Kegelapan jiwa dilambangkan oleh bulan mati. Sebelum datang kegelapan itu kuatkanlah kesadaran jiwa dengan memuja Siwa. Dengan demikian kita tidak terkena dosa oleh kegelapan jiwa itu. 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net