Vidhi hinam asrsta annam
Mantra hinam adaksinam.
Sradhaavirahitam yajnyam.
Taamasam paricaksate.
(Bhagavadgita XVII.13)
Maksudnya:
Upacara yajnya yang tidak berdasarkan petunjuk Sastranya (viddhi hina) tidak ada jamuan suci (asrsta anna). Tanpa mantra atau gita (mantra hina), tidak didasarkan pada keyakinan yang tulus (sraddha virahitam). Yadnya yang demikian itu tergolong taamasika yadnya.
DALAM kutipan Sloka Bagavad Gita ini dinyatakan, upacara yadnya yang tergolong tidak baik atau Tamasika Yadnya apabila tidak didasarkan pada Vidhi. Vidhi dalam hal ini adalah petunjuk murni kitab suci. Tidak adanya jamuan makanan yang suci. Di Bali disebut lungsuran Ida Batara. Tidak ada mantra yang dilafalkan oleh pandita/pinandita atau kidung yang dilantunkan oleh umat.
Jadi menurut Sloka Bhagawad Gita tersebut, suatu yadnya apa lagi dalam wujud upacara sakral tanpa dilantunkan kidung suci, upacara uadnya tersebut sangat tidak bernilai religius atau tadnya yang tergolong Taamasika. Kidung dalam pengertian umum di Jawa dan Bali adalah meliputi Sekar Alit, Sekar Madia dan Sekar Agung. Tetapi dalam pengertian yang lebih khusus kidung itu umumnya dimaksudkan hanyalah Sekar Madia.
Kidung yang dilantunkan saat berlangsungnya upacara yadnya itu tiada lain sebagai pengejawantahan dari intisari nilai Veda Sruti agar nilai suci Veda tersebut dapat menyusup ke dalam lubuk hati sanubari umat. Jadi mantra Veda dilafalkan oleh pandita terus dilanjutkan dengan nyanyian suci atau kidung oleh yajamana yaitu umat yang menyelenggarakan upacara yadnya. Yajamana artinya mereka yang membiayai yadnya. Bahasa mantra Veda adalah berbahasa Sansekerta yang oleh umat awam tidak begitu mudah memahaminya.
Oleh karena itu, sastrawan Weda merekonstruksi inti sari nilai-nilai mantra Veda itu dijadikan kidung dalam bahasa yang mudah dipahami oleh umat kebanyakan (walaka). Umumnya kidung itu menggunakan bahasa lokal. Dengan demikian nilai-nilai Veda yang suci itu diimplementasikan sangat kontektual dan aktual sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal. Dengan kidung yang kontekstual dan aktual itulah umat diajak mendaki menuju kesucian mantra Veda. Dengan kidung tersebut umat pada umumnya tidak merasakan mendaki kesucian Veda sebagai beban yang memberatkan. Padahal untuk mendaki kesucian Veda itu bukanlah sesuatu yang mudah. Isi kidung itu adalah tuntunan hidup yang sudah terjabarkan ke dalam Itihasa Purana dan Khila.
Manawa Dharmasastra III.232 juga menyatakan bahwa setiap penyelenggaraan upacara yadnya sangat ditekankan kepada yajamana sebagai pemilik upacara yadnya untuk memperdengarkan nilai-nilai mantra Veda dan Sastranya kepada para tamu (athiti yadnya) dan semua yang hadir dalam upacara yadnya tersebut.
Nilai-nilai Veda yang wajib diperdengarkan dalam setiap upacara yadnya adalah mengenai Dharmasastra, Itihasa, Purana dan Khila. Khila adalah cerita-cerita ringan sebagai penjabaran nilai-nilai suci Veda untuk diperdengarkan kepada umat. Karena itu, kidung tersebut sebagai media untuk menjabarkan dan menanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat tentang isi Veda.
Dharmasastra menjabarkan isi Veda yang menyangkut norma-norma hidup menghadapi tiap perkembangan zaman. Itihasa dan Purana seperti Ramayana dan Mahabharata adalah menjabarkan berbagai sila atau tingkah laku dalam wujud cerita.
Sila yang dipentaskan itu adalah perilaku baik (Subha Karma) yang patut diteladani dan yang buruk (Asubha Karma) yang patut dijauhi oleh mereka yang mendambakan kehidupan bahagia. Sila yang Subha Karma maupun yang Asubha Karma meliputi semua tingkatan dan profesi hidup umat manusia. Di dalam kidung itu harus juga mengulang-ulang nama suci Tuhan untuk menyucikan hati nurani dan lidah. Lidah harus dibiasakan untuk mengucapkan kata-kata suci. Itulah semestinya isi kidung yang dilantunkan umat dengan niat suci.
Nyanyian suci yang dilantunkan itu belakangan ini disebut Dharma Gita. Pada awalnya gita itu hanyalah digunakan untuk menyatakan sabda suci Tuhan. Artinya, sabda suci Tuhan yang disebut Nada Brahman itu yang disampaikan Tuhan kepada Maharesi dengan sangat indahnya itulah yang disebut gita. Sedangkan pemujaan Tuhan oleh manusia dalam wujud nyanyian suci itu disebut dalam Sastra suci Weda seperti Bhagawad Gita bhajan dan kiirtan.
Bhagawata Purana misalnya pemujaan umat kepada Tuhan juga disebut Kirtanam. Istilah bhajan untuk memuja Tuhan oleh umat manusia dalam bentuk nyanyian suci itu dinyatakan dalam Bhagawad Gita VI. 31,47. Demikian juga dalam Adyaya VII.16. Bhagavad Gita Adyaya IX.13,29 dan 30. Adyaya X.8 dan 10. Semua Sloka kitab suci Bhagawad Gita itu menyebutkan pemujaan umat kepada Tuhan dengan keindahan hati yang diwujudkan dengan suara indah (Sundaram) disebut dengan istilah Bhajan.
Dalam Kamus Sansekerta Indonesia yang disusun oleh semua tim yang dipimpin Dr. I Gde Semadi Astra, kata Bhajan juga berarti memuja. Kata Bhajan ini berasal dari asal kata Bhaj. Artinya memuja. Dari kata inilah asalnya kata Bhakti yang artinya menyembah dan Bhakta yang artinya penyembah. Sedangkan Bhagawad Gita IX.14 pemujaan umat kepada Tuhan juga disebut Kiirtan.
Penggunaan istilah Gita, Bhajan, Kiirtan dan Kidung untuk memuja Tuhan dengan suara indah sebagai ekspresi keindahan bahasa hati nurani perlu direnungkan saja dan tidak perlu diperdebatkan. Apalagi dewasa ini tradisi makidung sudah mengarah sangat positif dalam berbagai bentuk pesantian. Dharma Gita inilah yang lebih diberikan prioritas dalam kehidupan beragama Hindu menghadapi zaman Kali ini dengan melantunkan nama suci dan kesucian Tuhan.
* I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar