maweh apangan ring kraman.
(Dikutip dari Agastia Parwa)
Maksudnya:
Manusa Yadnya namanya memberikan makanan lahir batin pada manusia (masyarakat).
UPACARA untuk meningkatkan status kesucian seseorang seperti upacara kelahiran, lepas tali pusar, Nutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, upacara perkawinan dan seterusnya dalam tradisi Hindu di Bali disebut upacara Manusa Yadnya. Dalam Kitab Manawa Dharmasastra hal itu dinyatakan sebagai Sarira Samskara. Artinya, upacara untuk meningkatkan kesucian seseorang. Untuk mencapai peningkatan tersebut hendaknya diupayakan keseimbangan pertumbuhan antara badan (sarira) jasmani dan rohani.
Unntuk itu, dalam Kitab Agastia Parwa dinyatakan bahwa Manusa Yadnya itu adalah beryadnya kepada manusia dengan cara membangun secara seimbang jasmani dan rohaninya. Ini artinya bukan hanya jasmani yang membutuhkan makanan bergizi lengkap dan seimbang dalam pertumbuhannya. Rohani pun harus juga diberikan santapan spiritual untuk membangun pertumbuhan rohani itu sendiri menuju rohani yang sehat.
Hidup yang berkualitas adalah hidup yang tumbuh sehat dan bugar secara jasmani dan rohani secara seimbang. Sejalan dengan Agastia Parwa itu ada dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra III.70 dan 81 istilah Nara Yadnya yang artinya sama dengan Manusa Yadnya.
Pada Sloka Manawa Dharmasastra tersebut Nara Yadnya itu diartikan sebagai memberikan makanan kepada sesama manusia dan juga melayani setiap orang yang datang kepada kita sebagai tamu yang patut dihormati (Nara Yadnya atithi puujanam). Mantra Rgveda pada bagian Sathapatha Brahmana disebutkan dengan istilah Manusa Yadnya. Mantra Rgveda ini sumber yang tertinggi dari kedua sumber sastra Hindu yang disebutkan di atas. Dalam Mantra Rgveda tersebut Manusa Yadnya juga diartikan memberikan makanan lahir batin kepada manusia.
Jadinya Manusa Yadnya tidaklah sekadar mengupacarai anak-anak dari lahir sampai dia kawin. Upacara Manusa Yadnya tersebut barulah merupakan nyasa-nyasa atau simbol untuk menanamkan konsep filosofi Manusa Yadnya melalui media ritual yang sakral. Upacara tersebut baru merupakan penanaman jiwa dan semangat dari nilai-nilai Manusa Yadnya tersebut.
Selajutnya ia harus diimplementasikan lebih lanjut dalam perilaku nyata untuk memelihara dan mendidik manusia itu dari ia masih dalam kandungan sampai ia dapat mandiri. Idialnya sampai ia menjadi suputra atau putra yang berkualitas. Kalau upacara Manusa Yadnya itu bertujuan untuk membangun aspek niskala saja. Sedangkan melahirkan, memelihara dan mendidik mausia itu secara normatif sebagai upaya sekala.
Dalam hal ini ada baiknya kita sitir kembali sloka dari kitab Slokantara 2, baris ketiga sbb: Yadnya sataad vai parama'pi putra. Artinya, memiliki seorang putra utama jauh lebih tinggi nilainya daripada seratus kali berupacara yadnya. Ini jangan diartikan bahwa upacara itu tidak penting. Upacara yadnya itu mutlak bagi umat yang beragama Hindu pada umumnya.
Namun upacara yadnya tersebut baru tahap menanamkan nilai-nilai spiritualnya lewat media ritual yang sakral. Tanpa implementasi nilai tersebut dalam kehidupan nyata atau sekala maka nilai-nilai yang masih bersifat niskala itu akan tidak dapat memperbaiki kehidupan manusia secara nyata dalam kehidupan ini.
Karena itu, secara sekala Manusa Yadnya itu harusnya diimplementasikan lebih nyata. Dalam kenyataannya sebagaimana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.89 sbb: Prajanam raksanam daanam. Artinya pada kenyataannya yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah rasa aman (raksanam) dan kesejahteraan (daanam).
Dua hal inilah yang harus lebih diimplementasikan untuk mewujudnyatakan nilai-nilai Manusa Yadnya yang dikandung dalam upacara Manusa Yadnya itu sendiri. Akan menjadi sesuatu yang nirguna (mubazir) kalau upacara Nelu Bulanin, Otonan, Metatah, Pawiwahan itu diselenggarakan besar-besaran dengan biaya mahal. Tetapi pendidikan kerohanian, keterampilan sampai keahliannya diabaikan. Di sekeliling kita masih banyak orangtua yang tidak mampu membiayai kesehatan, pendidikan, dan pengajaran anak-anaknya.
Banyak pengusaha kecil yang membutuhkan bantuan modal untuk menjalankan usaha kecilnya agar mereka bisa sekadar menjalankan hidupnya ini sebagai manusia yang wajar. Membantu masyarakat kecil dan lemah untuk membangun hidupnya agar mereka tidak takut menghadapi hidup ini dan juga dapat mengembangkan kesejahteraannya.
Artinya, tujuan yang paling esensial dari Manusa Yadnya adalah untuk ''memanusiakan manusia itu sendiri''. Kalau Manusa Yadnya itu melahirkan beban kemanusiaan dan alam maka Manusa Yadnya itu jelas salah penerapannya. Bukan kesalahan konsepnya sebagaimana tercantum dalam kitab suci atau kitab Sastranya.
* I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar