Niyatam kuru karma tvam
karma jyaayo hy akarmanah.
sarirayatra' pi ca te.
na prasidhyed akarmanah.
(Bhagawad Gita.III.8).
Maksudnya:
Lakukanlah pekerjaan yang telah ditentukan bagimu, sebab lebih baik bekerja daripada tidak berbuat. Bahkan untuk memelihara dirimu tidak mungkin jika tidak bekerja.
MENURUT Markandya Purana, dunia ini bukan ''bhoga bhumi'' tetapi ''karma bhumi''. Maksudnya bumi ini bukan tempat mengumbar kenikmatan nafsu (bhoga) tetapi bumi ini tempat untuk berbuat kebaikan. Demikian juga Swami Satya Narayana menyatakan hidup ini adalah ''Purusha Dharma Laksana'', artinya hidup ini untuk berbuat melakukan Dharma.
Dalam Manawa Dharmasastra III.72 dinyatakan bahwa mereka yang dalam hidupnya tidak melakukan yadnya atau berbuat baik ia sesungguhnya mayat yang bernapas. Sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Bhagawad Gita di atas bahwa Tuhan mengajarkan manusia agar bekerja sesuai dengan Swadharmanya masing-masing.
Swadharma itu ditentukan oleh Guna dan Karma. Guna itu adalah bakat pembawaan lahir. Sedangkan karma atau pekerjaan itu idealnya sesuai dengan bakat yang dimiliki. Orang akan merasakan bahwa kerja itu membahagiakan apabila dapat bekerja sesuai dengan bakatnya. Bertemunya Guna dan Karma inilah yang disebut ''varna'' dalam Bhagawad Gita IV.13. Umat manusia sesungguhnya dibagi menjadi empat profesi.
Ada yang berbakat di bidang kerohanian, pendidikan dan pengobatan digolongkan Varna Brahmana. Ada yang berbakat di bidang kepemimpinan digolongkan Varna Ksatria. Ada yang berbakat di bidang ekonomi digolongkan Vaisya. Tetapi ada juga yang tidak bisa menentukan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Mereka inilah yang disebut Sudra yang hanya memiliki kemampuan tenaga fisik saja. Mereka ini agar jangan menjadi beban masyarakat menurut Dr. Prasad Upadyaya harus diberikan pekerjaan oleh tiga golongan sebelumnya. Oleh karena Brahmana, Ksatria dan Vaisya dalam mensukseskan Swadharmanya membutuhkan bantuan tenaga fisik juga. Apalagi untuk mempertahankan hidupnya Sudra itu harus diberikan pekerjaan.
Dalam hal untuk memelihara sarira badan pembungkus Atman ini orang harus rela bekerja apa saja yang penting tidak bertentangan dengan Dharma. Dalam hal ini terutama yang menyangkut kasus di Bali pradigama masyarakat Bali perlu dibenahi motif orang bekerja di Bali masih banyak bukan pada kerja tetapi pada gengsi. Hidup mengejar status sosial daripada mencari maknanya suatu pekerjaan bagi kehidupan ini.
Membangun masyarakat sejahtera menurut Nitisastra dan juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.43 ada empat yaitu Anviksaki, Atmavidya, Vaartta, dan Danda Niiti. Anviksaki artinya ada sasaran atau tujuan yang jelas dari suatu pembangunan kesejahteraan. Misalnya Bali prioritasnya pada pertanian, pariwisata dan industri kerajinan. Prioritas ini sudah sangat tepat sesuai dengan keberadaan alam dan masyarakat Bali.
Atmavidya artinya mendorong spiritualitas dengan kesucian Atman membangun motif kerja yang kuat. Vaartta artinya menciptakan lapangan mata pencaharian untuk semua golongan profesi. Danda Niiti artinya tersedianya berbagai norma atau perangkat hukum dan sistem manajemen yang baik. Dalam kasus Bali sesungguhnya sudah cukup banyak tercipta lapangan kerja baik di sektor formal maupun informal.
Mengapa di Bali ada 12 persen pengangguran terbuka dan 39 persen lebih pengangguran terselubung. Hal ini tentunya sangat kompleks penyebabnya. Tetapi, salah satu darinya adalah karena motif kerja masyarakat Bali yang lebih mencari gengsi sosial daripada makna kerja. Lebih mengutamakan prestise daripada prestasi. Di Bali sudah sangat transparan semakin meluasnya lahan tidur di mana-mana.
Mengapa masih banyak masyarakat malu menanam pisang, ketela, sayur-sayuran. Demikian juga bunga-bungaan yang setiap hari dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Demikian juga pada tahun enam puluhan banyak orang Bali asli yang tidak merasa jatuh gengsinya kalau jualan bubur kacang ijo, tahu gunting, bubur cendol, es lilin keliling ke mana-mana. Ada juga gadis keliling jualan minyak kelentik dari rumah ke rumah.
Mungkinkah karena salahnya orangtua yang bertani selalu menasihati anaknya dengan bahasa Bali sbb: ''melahang cening masekolah buin pidan apang eda cening dadi petani cara bapa kene''. Demikian juga dalam pandangan orang Bali sering ada istilah wong tani kelen yang diidentikkan dengan orang yang kelas bawah. Seperti miskin, tidak berpendidikan dan tidak bermartabat. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian kita bersama.
Marilah bangkitkan bahwa bekerja di sektor informal sejajar dengan sektor lainnya. Marilah kita ubah motif kerja SDM Bali ''kerja bukan untuk gengsi-gengsian, kerja untuk memberikan makna pada hidup dan kehidupan ini''. Bekerja sebagai apa pun asalkan ia dapat menguatkan hidup untuk mewujudkan cinta kita pada tanah kelahiran (Desa Abimana), cinta pada kebenaran (Dharma Abimana) dan bakti pada Tuhan (Deva Abimana).
Tiga hal itu diwujudkan dengan Asih, Punia dan Bhakti. Asih artinya memelihara lingkungan alam dengan kasih, maka lingkungan yang kita kasihi itu akan memberikan kita sumber penghidupan. Punia artinya wujudkan kerja dengan mengabdi pada sesama. Dari saling mengabdi dengan sesama itulah kita akan saling memberikan sumber penghidupan. Bakti pada Tuhan. Dari berbakti kepada Tuhan, kita akan mendapatkan kekuatan spiritual untuk menguatkan diri kita dalam melakukan kerja demi ajegnya Bali.
* I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar