Lwirning mandadi maadaning jana suruupa dhana kula-kulina yowana
Laawan tang sura len kasuuran agawe i manah ikaang saraat kabeh
Yan wwanten sira sang dhaneswara suruupa guna dhana kulina yowana
Yan tan maada maharddhikeka pengarania sira putusi sang pinandita.
(Kekawin Nitisastra IV, 19)
Maksudnya:
Yang membikin orang mabuk surupa, kekayaan, kebangsawanan, dan kemudaan. Juga kesaktian, kepandaian dan minuman beralkohol. Kalau ada orang yang tidak mabuk karena kekayaan, kepandaian, kebangsawanan, kemudaan, kesaktian, surupa dan alkohol, maka ialah yang dapat disebut sang Maharddhika ialah yang patut ditetapkan sebagai pinandita.
PELAYAN umat yang membantu umat Hindu memuja Hyang Widhi dan Dewa Pitara terutama dalam bentuk ritual disebut pemangku. Umumnya pelayan umat yang disebut pemangku ini ada di tiap tempat pemujaan untuk membantu umat Hindu pada umumnya dalam melakukan ritual pemujaan.
Di India pun pelayan umat seperti itu selalu ada di tiap pura atau tempat pemujaan. Di India pemangku pura seperti itu disebut pujari. Meskipun pemangku itu bukan seorang dwijati, namun ia juga harus dipilih dari kalangan umat yang memang memiliki keluhuran moral dan mental yang tinggi. Menetapkan seseorang untuk menjadi pemangku tidaklah boleh sembarangan.
Seperti dinyatakan dalam kutipan Kekawin Nitisastra di atas. Orang boleh ditetapkan sebagai pinandita itu adalah orang yang tidak mabuk oleh tujuh hal. Tujuh hal yang menyebabkan orang mabuk itu adalah sbb: kekayaan (Dhana), kepandaian (Guna), keindahan rupa (surupa), kebangsawanan (kula-kulina) kemudaan (yowana), kesaktian (kasuuran) dan minuman tuwak (sura).
Kalau tujuh hal itu mampu dicapai oleh seseorang dan orang itu tidak mabuk karenanya, maka orang itu disebut seorang yang telah mencapai keadaan Maharddhika. Orang yang telah mencapai keadaan rohani yang disebut maharddhika itulah yang patut ditetapkan sebagai seorang pemangku atau pinandita. Sebutan pemangku seperti yang dinyatakan itu ada bermacam-macam.
Ada yang menyebutnya jan banggul Ida Batara, ada juga yang menyebut Jero Gede. Bahkan ada juga membedakan antara Jero Gede dengan pemangku. Ada yang menyebutkan Jero Tapakan. Di luar Bali pemangku demikian itu ada yang menyebutnya wasi. Ada disebut dukun dan banyak lagi istilah-istilah lainnya sesuai dengan sistem bahasa yang digunakan oleh umat Hindu di tempat tersebut.
Rohaniwan yang telah dwijati juga ada banyak sebutan. Ada yang disebut Mpu, Dang Hyang, Ida Resi, Diksita, Ida Pedanda, Ida Peranda, Ida Sulinggih. Di India juga ada yang disebut Swamiji, Pandit, Pandita, Acarya, Stotria, dll. Kalau kita bedakan rohaniwan Hindu tersebut ada dua yaitu yang masih statusnya Eka Jati dan yang sudah Dwijati.
Dalam Maha Sabha II PHDI 1968 rohaniwan yang digolongkan pemangku ini disebut pinandita. Sedangkan rohaniwan yang tergolong dwijati disebut pandita. Hal ini ditetapkan untuk menyamakan persepsi umat Hindu di seluruh Indonesia mengenai keberadaan rohaniwan Hindu.
Ketetapan Maha Sabha tersebut bukanlah untuk memaksakan istilah pinandita dan pandita itu digunakan secara seragam dan serentak di seluruh Indonesia. Ketetapan itu semata-mata untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Karena istilah pandita dan pinandita umumnya sudah memiliki konsepsi yang jelas dan sangat konseptual dalam Sastra suci Hindu.
Kehidupan beragama itu menyangkut aspek yang sangat esensial, personal dan sangat spiritualitas sifatnya. Karena menyangkut dimensi yang sangat luas dan dalam, maka penyeragaman istilah harus dilakukan sangat berhati-hati. Meskipun hal itu memiliki acuan yang kuat dan jelas pada kitab suci. Yang sangat penting dilakukan ke depan adalah menyiapkan calon-calon pinandita dan pandita yang memiliki persyaratan yang makin mendekati ketentuan Sastra suci Hindu.
Persoalan kehidupan beragama ke depan akan makin kompleks. Umat tidak semata-mata saat sembahyang dan melakukan upacara yadnya membutuhkan tuntunan pemangku dan pandita. Umat akan membutuhkan tuntunan kerohanian dari para pemangku dan pandita dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupannya.
Calon pemangku atau pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk menghapalkan Puja Stawa untuk mengantarkan umat sembahyang atau melakukan upacara yadnya. Calon pemangku hendaknya menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang menyangkut persoalan hidup dan kehidupan umat manusia sebagaimana diajarkan dalam ajaran agama Hindu dalam kitab sucinya.
Yang lebih penting lagi di samping ilmu pengetahuan adalah menyiapkan moral dan mental yang luhur dan tangguh untuk menegakkan swadharma seorang pemangku dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. * I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar