Senin, 11 September 2017

Arti dan Fungsi Sarana Upacara

AUM Svasti Astu,

Semeton HDnet ,  saya coba posting judul diatas, bersumber dari buku seperti judulnya, yang disusun oleh team penyusun :

1. Prof. DR. Tjokorda Rai Sudharta, MA
2. Drs. IBP.Purwita
3. Drs. Tjokorda Raka Krisnu
4. Drs. I Gede Sura
5. Dra. Ni Made Sri Arwati
6. Drs. I Ketut Wiana.

I. Arti dan fungsi bunga.
Menurut lontar Yajna Prakerti : " sekare pinaka katulusan pikayunan suci ".
Bunga sebagai lambang ketulus ikhlasan pikiran yang suci.
Menurut Bhagavadgita Bab IX sloka 26 isinya :

Pattram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah.

Artinya :
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci AKU terima.

Dari bunga, daun, buah, dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti : canang, kewangian, bhasma dan bija.

1.CANANG.
Kata canang berasal dari bahasa Kawi/ Jawa kuno, yang awalnya berarti sirih, sebagai persembahan kepada tamu yang dihormati. Pada jaman dahulu, tradisi makan sirih adalah tradisi yang sangat dihormati.
Menurut kekawin Nitisastra disebutkan :
" masepi tikang waktra tan amucang wang ", artinya : sepi rasanya mulut itu tiada makan sirih ".
Barangkali sama dengan kita sekarang, jika belum baca e-mail HDnet, rasanya ada sesuatu yang kurang.

Unsur-unsur pokok dari canang adalah :
1.1 Porosan
Porosan terdiri dari pinang, sirih dan kapur.
Menurut lontar Yajna Prakerti bahwa : sirih, pinang dan kapur adalah lambang pemujaan kepada Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, sirih lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu dan kapur lambang pemujaan kepada Dewa Iswara/Ciwa.
Makna Porosan adalah untuk memohon tuntunan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti.

1.2 Plawa yaitu daun-daunan.
Menurut lontar tersebut diatas, plawa adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Jadi dalam memuja Sang Hyang Tri Murti, dengan usaha menumbuhkan pikiran yang suci dan hening.

1.3 Bunga lambang keihlasan.
Memuja Tuhan tidak boleh ragu-ragu, persembahkan yang paling kita sukai. Umumnya kita menyatakan sesuatu dengan bahasa bunga, maka suatu yang kita persembahkan, disertai dengan rasa tulus ihlas.

1.4 Jejahitan, reringgitan dan tetuesan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
Dalam menuju cita-cita hidup, apalagi dijaman KaliYuga ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan pikiran kita. Untuk tetap dapat menuju kebenaran dan kebaikan (dharma), ketetapan dan kelanggengan ini selayaknya dipertahankan. Godaan demi godaan akan silih berganti, datang menggoyahkan cita-cita suci, karena itu tetaplah maju menuju jalan suci yaitu jalan menuju kebenaran Tuhan. Karena itu pikiran yang langgeng amat dibutuhkan.

1.5 Urasari
Letak urasari dalam canang adalah diatas plawa, porosan, tebu kekiping, pisang dll. yang dihiasi dengan ceper. Diatas Urasari ini diisi bunga-bungaan.
Adapun bentu Urasari itu bila kita amati, berbentuk garis silang yang menyerupai tapak dara, yaitu bentuk sederhana dari hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi. Urasari yang tersusun dengan jejahitan, reringgitan dan tetuesan itu
akan kelihatan berbenturk lingkaran " Padma Astadala". Padma Astadala adalah lambang stana Hyang Widhi dengan 8 penjuru anginnya.

Dalam ajaran Hindu, alam semesta ini diciptakan melalui 3 proses yaitu
:
1.5.1 Sresti : proses penciptaan dari unsur purusa pradana terus sampai terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia.

1.5.2 Swastika : proses dimana alam mencapai puncak keseimbangannya yang bersifat dinamis. hal inilah yang dilambangkan dalam sampian Urasari. Dasar pokoknya berbentuk penyilang (tapak dara), dimana ujung-ujungnya menunjukkan arah "catur lokapala" disertai dengan hiasan yang melingkar menjadi Swastika, kemudian menjadi bentuk Padma Astadala, lambang perputaran alam yang seimbang, yang nerupakan sumber hidup menuju kebahagiaan. Jadi sampian Urasari adalah lambang permohonan kepada Tuhan YME, semoga alam lingkungan hidup kita selaras dan seimbang.

1.5.3 Pralaya :alam semesta ini lebur kembali pada asalnya yaitu Tuhan Pencipta. Sresti, Swastika dan Pralaya kata lain dari Utpeti, Stiti dan Pralina.

Kesimpulan dari arti CANANG, silahkan semeton yang menyimpulkannya, berdasarkan keterangan di atas.

Semeton HDnet, pada posting berikutnya saya akan salinkan tentang
Kewangian.


2. Kewangian.
Berasal dari bahasa jawa Kuno, disandikan menjadi kewangen, yang artinya keharuman.
Jadi kewangen berfungsi untuk mengharumkan nama Tuhan. Dalam lontar Sri Jaya Kesunu, disebutkan bahwa Kewangen sebagai lambang Ongkara.

Bahannya :
2.1 Daun pisang berbentuk kojong, berbentuk segi-3 lancip melambangkan: Ardhachandra.
2.2 Uang kepeng lambang : Windhu.
2.3 Sampean kewangen berbentuk cili dibuat dari janur, bunga dan plawa lambang: Nada.
2.4 Porosan silih asih, terdiri dari 2 potong daun sirih diisi kapur serta pinang, sedemikian rupa akan tampak satu lembar daun sirih bagian perutnya dan satu lagi bagian punggungnya.

Pada upacara persembahyangan, kewangen dipakai untuk memuja Hyang Widhi sebagai anugrah, dalam wujudnya Ardhanareswari (Purusa-Pradana).

Kewangen yang digunakan dalam Pitra Yajna :
a. Pada saat memandikan jenazah, kewangen diletakkan disetiap persendiannya, berjumlah 22 buah kewangen. Berfungsi sebagai Pengurip-urip.

b. Pada upacara Dewa Yajna, kewangen dipakai sebagai pelengkap banten pedagingan, berfungsi sebagai lambang Pancadatu (lambang unsur-unsur alam).

2.5.a Bunga sebagai lambang restu dari Hyang Widhi.
Dalam kekawin Ramayana, disebutkan jatuhnya Gandha Kusuma (bunga yang semerbak baunya) sebagai restu dari Hyang Widhi untuk melawan Rahwana.
- Anantara narendra putra ring rat hutama paweh Hyang Indra ri sira.
- Watek resi ring antariksa anumoda manghudanaken ta gandha kusuma.

Artinya : tak berapa lama raja putra, telah berada di kereta utama pemberian Hyang Indra.
Para dewa angkasa memberi restu dan menghujani dengan bunga wangi.

Begitu pula dalam kekawin Arjuna wiwaha, bunga disebut dengan istilah Puspa warsa, artinya hujan bunga sebagai lambang Dewa Siwa telah merestui tapanya.

dalam lontar Sumanasantaka, diceritakan bahwa bidadari Dewi Harini yang semula diutus oleh Bhatara Indra untuk menggoda tapanya Bhagawan Trenawindu, dewi Harini menjelma menjadi dewi Induwati, karena dikutuk oleh Bhagawan Trenawindu.
Ia kawin dengan Sang Aja dan memperoleh seorang putra yang diberi nama sang Dasaratha.
Setelah mencapai batas waktu kutukan yang mesti diterima oleh dewi Harini, maka ia harus kembali ke sorga. Ketika itu Bhagawan Narada menjatuhkan bunga kepada dewi Induwati. Karena dijatuhi bunga, dewi Induwati meninggal dan dewi harinipun kembali ke sorga.

2.5.b Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
Sang Hyang Atma yang menjadi sumber hidup/roh, dalam berbagai bentuk upacara agama, sering dilukiskan dengan bunga. Bila jenazah diusung ke kuburan, dalam perjalanan menuju kuburan/setra, biasanya ditaburkan bunga disetiap perempatan, pertigaan jalan atau dipintu masuk kuburan yang disebut : sekar ura. Sekar ura campuran dari bunga, uang kepeng dan beras kuning. Sekar ura diartikan sebagai lambang ungkapan untuk berpisah antara orang yang meninggal dengan orang yang masih hidup. Jadi sebagai ungkapan bahwa kita harus ihlas melepas roh orang yang meninggal menuju alam nirwana.

Dalam Bahasa Jawa Kuno, sekar ura disebut dengan kembang ura (umpamanya dalam kakawin Bharata Yudha).
- Sang sura mrihhayajna ring semara mahyuni hilang ang ikang parang mukha.
- Lila kembang ura sekar taji ni kesaning ari, pejahing ranang gana.

Artinya :
- Sang ksatria berhendak berbuat yajna dalam peperangan dengan memusnahkan semua musuh.
- Dengan senang menaburkan bunga, sekar taji yang ada di rambut musuh yang gugur di peperangan.

Dalam upacara nyekah atau maligia, suksma sarira dilambangkan dengan sekah=sekar,bunga. Dalam hal ini disebut dengan Puspa lingga (bagi roh yang sudah diligiakan, sebagai penuntun Atman yang baru akan bertemu kepada Paramatman).
Sekah juga disebut dengan Puspa sarira (melambangkan astral body).

Terlalu banyak reference (lontar) yang dipakai acuan untuk membahas makna dari bunga.



ARTI DAN FUNGSI : API, DHUPA dan DIPA.

Dalam persembahyangan, API diwujudkan dengan : dhupa, dan dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :
1. Sebagai pendeta pemimpin upacara.
2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja.
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat.
4. Sebagai saksi upacara.

Dalam Sarasamuscaya 50 Tryagni ini diperinci sebagai berikut :
a. Ahawanya artinya api tukang masak untuk memasak makanan.
b. Grhaspatya artinya api upacara pawiwahan, inilah api yang dipakai saksi pada waktu pawiwahan dilangsungkan.
c. Citagni artinya api untuk membakar jenazah.

Selanjut akan kami bahas fungsi api dalam hubungannya dengan upacara persembahyangan dan sebagai sarana upacara agama Hindu pada umumnya.
Api dalam istilah Hindu disebut dengan Apuy, Agni dan Wahni. Api sebagai sumber kehidupan :
1. Dewanya adalah Brahma,
2. Sifat api adalah menerangi,menyinari,
3. Dharmanya adalah membakar.

Matahari adalah sumber api alam yang terbesar, atau sumber dari segala sumber api.Dalam wewatekan, matahari bernilai 21 (jika diuraikan menjadi 2+1=3). Angka 3 dalam kehidupan agama Hindu adalah simbolis penyucian. Karena angka 3 adalah lambang Tri Bhuwana (Bhur, Bwah, Swah loka). Swah loka artinya alam suci, alam ke Tuhanan yang terlepas dari pengaruh buruk sifat-sifat duniawi.

Dalam hubungannya dengan Candra sangkala, kata api atau wahni dipergunakan dalam prasasti Blanjong (Bali). Dalam prasasti itu dengan memakai tulisan huruf Dewanagari dan bahasa Bali kuno, ada kalimat sebagai berikut :
" Khesara Wahni murti", menurut candra sangkala, pembacaannya dimulai dari belakang untuk menunjukkan tahun Sakanya, yaitu :
murti = sarira, bernilai 8
wahni = api, bernilai 3
khesara = bintang bernilai 9.
Jadi prasasti Blanjong itu pada tahun 839 Saka, atau 917 masehi.

1. API SEBAGAI PENDETA PEMIMPIN UPACARA.
Api sebagai lambang pendeta menuntun umat, dijelaskan dalam kitab Isa Upanisad mantra 18 sbb :
" Agne naya supatharaye asman.
Wiswani dena wayunani widwan
yuyudhy asmay juhuranam
enobhuyistham te nama uktim widhena ".

Artinya :
O, Tuhan kuat laksana api, mahakuasa tuntunlah kami semua, segala yang hidup ke jalan yang baik, segala tingkah laku menuju kepadaMu yang bijaksana, jauhkan dari jalan yang tercela yang jatuh dari padaMu, baik penghormatan maupun kata-kata yang hamba lakukan.

Agne-naya berati api penuntun atau api pemimpin.
Dalam Isa Upanisad mantra 16 dijelaskan suatu do'a agar Tuhan yang Transendental (berada diluar ciptaanNya), untuk turun menjadi Tuhan yang Immanent (berada dalam ciptaanNya), bagaikan matahari.

Mantra 16 itu sebagai berikut :
Pusana ekarse yama surya,
Prajapatya wyuha rasmin,
Samuha tejah, yette pasyami,
ya' sawasau purusam sa'ha masmi.
Artinya :
Yama penguasa atas alam semesta tujuan dari pengikutMu.
O, Maha Pelindung (Pursana), Engkau adalah tujuan yang dituju sebagai surya, Engkau Pencipta mahluk hidup (Prajapati), lenyapkanlah sinarMu yang transenden, agar hamba dapat melihat wujudMu yang Mahasuci, Engkau adalah Purusa, sebagai Matahari,ada sebagai hamba.

Dalam Rg Weda mandala I, ada disebutkan Agni sebagai Purohita atau Pendeta sbb :
AUM Agni mite purohitam yajnasya dewa mrt wijam hotaram ratna dhatanam.
Artinya :
Kami puji Agni pendeta utama, dewa penyelenggara yajna, pemuja murah hati.

Dalam lontar EKA PRATAMA, kita menjumpai keterangan tentang 3 pendeta sebagai pemimpin upacara yang disebut sang Katrini. Keterangan lontar Eka Pratama sbb:

.....muang putraning Sang Brahmanahaji, maka katrini, Sang Shiwa, Sang Boda, Sang Bujangga, sami pada tinuduh dening sang Brahmanahaji. Sang Bujangga tinuduh amrtista, ikang rat muang sarwa tumuwuh, sang Brahmana tinuduh dening Sang Brahmanahaji amrtista akasa, muang watek dewata, kahyangan, makadi ratu, pada kasikepin denira sang
Brahmanahaji, maka tigang diri samian angabekin sikep. Sang Shiwa asikep Geni Anglayang, satata kramanira asuci ahening, wenang angentas watek dewata muang akasa..... Sang Boda asikep Gnisinarasara, angentas watek pitra....... sang bujangga asikep Gnisara angentas sarwa letuh ikang bhuwana, karang tenget, setra wates, sawah, manak buncing, wenang sang Bujangga amresihin.........

Artinya :
..... dan putranya Sang Brahmanahaji sebanyak tiga, Sang Shiwa, Sang Buddha dan Sang Bujangga. Semuanya mendapat tugas dari Sang Brahmanahaji. Sang Bujangga ditugaskan menyucikan masyarakat dan semua tumbuh-tumbuhan. Sang Brahmanahaji menyucikan angkasa, semua dewata, kahyangan, para raja. Semua disenjatai oleh beliau sang Brahmanahaji, ketiga-tiganya semua membawa senjata. Sang Shiwa senjatanya Gni Anglayang, selalu tugasnya menyucikan diri, boleh ngentas dewata dan akasa..... Sang Buddha bersenjatakan Gni Sinarasara, angentas semua pitra,....sang Bujangga bersenjatakan Gnisara, ngentas semua kotoran dunia, karang tenget, kuburan tenget, batas kuburan, sawah dan anak buncing (kembar laki-perempuan) berhak Bujangga menyucikannya.

Dalam lontar Eka Pratama, tiga Pendeta ini disebut Tri Bhuwana Katon. Dalam lontar Usana Bali, 3 pendeta itu disebut dengan Tri Bhuwana Katon tan katon. Cuma senjata magis dari Sang Buddha disebutkan " muah Sang Budha kasungan sikep, Shora Shinora. Sedangkan dalam lontar Eka Pratama disebut : Geni Sinarasara. Memperhatikan ke-3 pendeta itu yang bersenjatakan magis Geni, berarti bahwa tepatlah Api sebagai kekuatan sinar suci Tuhan untuk memimpin Upacara.

Demikian pula Pinandita dalam memimpin upacara, meskipun terbatas menggunakan juga Api, dalam bentuk pasepan, dimana diatas pasepan dibakar daharan/daran/lalap asep yang terdiri dari : menyan, majegau dan cendana.
Menyan sarana lambang untuk memuja Dewa Shiwa,
Majegau sarana lambang untuk memuja Dewa Sadha Shiwa,
Cendana sarana lambang untuk memuja Dewa Parama Shiwa.

Lewat api dan asap dari pasepan itu upacara dipimpin oleh Pinandita/Pemangku.

Demikianlah api dalam bentuk Dhupa, Dipa dan Padupaan (pasepan), lambang Pendeta/Pinandita memimpin upacara.


2. Api sebagai perantara Pemuja dan yang dipuja.

Memuja Tuhan dan segala manifestasinya bagi orang yang telah tinggi tingkatan Wijnana dan janananya yang telah dapat menghidupkan api yang ada dalam dirinya dapat melalui yoga (hubungan spiritual), tidak perlu menggunakan sarana dalam memuja Tuhan. Sarana tersebut telah ditentukan selain dalam Bhagavadgita Bab IX soka 26, juga menurut Manawa Dharmasastra Bab I sloka 23 sbb :

Agni wayu rawibhyastu trayam Brahma sanatanam.
Dudoha yajsiddyartha
Mrgyajuh samalaksanam.

Artinya :
Sesungguhnya ia ciptakan ajaran ketiga Weda yang abadi (troya Brahma),
dari Api (Agni), Angin (wayu) dan Matahari (rawi) untuk dijadikan dasar pelaksanaan Yajna.

Sedangkan dalam Bab IV sloka 10 juga menjelaskan bagi mereka yang hidupnya dari beras dan gandum (petani), harus selalu melakukan Agni Hotra, yaitu melakukan sesajen sebagai sarana pemujaan kepada Api, pagi dan sore hari dan juga pada hari purnama dan tilem, juga pada waktu daksinayana dan utarayana. Makna yang terkandung dalam sloka ini adalah karena petani hidupnya amat tergantung pada musim. Karena itu lewat Agni Hotra inilah sebagai perantara, umat memohon kepada Tuhan agar musim-musim itu tetap teratur sehingga para petani dapat mengatur kegiatan pertaniannya.

Memperhatikan penjelasan Manawa Dharmasastra Bab I, sloka 23 itu, salah satu sarana untuk beryajna adalah API (Agni).

Dalam Nitisastra Bab VII sloka 1, umat Hindu pun dianjurkan untuk tidur dengan posisi kepala menghadap Matahari (sumber api), yang ada di Timur, guna mendapatkan kemakmuran dan umur panjang. Dalam Bhagavadgita Bab IV sloka 24 dan 25 dijelaskan api sebagai sarana upacara untuk menghubungkan pemuja dan Tuhan.

Dalam kidung wargasari, yang biasa dipersembahkan dalam upacara yajna, oleh umat Hindu untuk menghubungkan diri dengan dewa-dewa manifestasi Tuhan.
- Asep menyan majegau, cendana nuhur dewane, mangda Ida gelis turun, mijil saking luhuring langit, sampun medabdaban sami, maring giri meru reko, ancangan sadulur sami pada ngiring.

Artinya :
Asep dari pembakaran menyan, majegau dan cendana memohon kepada Dewatasupaya beliau cepat turun dari langit, karena semua sudah dipersiapkan di gunung semeru umat semua mengiringi.


3. Api sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir rokh jahat.
Untuk memuja Tuhan, disamping diperlukan kebersihan secara lahir, juga dibutuhkan
kebersihan bhatin. Dalam pelaksanaan sembahyang, tindakan pertama yang wajib dilakukan adalah mengambil dhupa yang sudah menyala, dipegang setinggi hulu hati, disertai ucapan astra mantra : Om Am dhupa Dipastra ya namah swaha.
Artinya : Oh Hyang Widhi dengan sinar sucimu, sucikan diri hamba.

Demikian pula kembang yang kita pergunakan sebelumnya juga diasapi dengan asap dhupa, agar kotoran yang masih melekat dalam bunga dibasmi oleh apinya dhupa.

Dalam Bhagavadgita Bab IV, sloka 26 dan 27 menjelaskan tentang bagaimana Api Jiwatma dibangkitkan dengan yoga untuk memadamkan api indria, guna menyucikan Jiwatma dari pengaruh buruk nafsu duniawi.

Arti dari sloka 26 sebagai berikut :

Ada yajna dengan pengendalian pada api, pendengaran dan panca indria lainnya,
yang lain mempersembahkan korbannya dengan suara, objek panca indria dan yang
lainnya api nafsu keinginan.

Arti dari sloka 27 sebagai berikut :
Ada yajna dengan mengorbankan semua kerja panca indria dan kekuatan,
sakti yoganya kepada api, disiplin dirinya yang dinyalakan oleh ilmu pengetahuan tentang kerjanya panca indria.

Bila dirangkum dari ke-2 sloka diatas, dapat disimpulkan bahwa API negatif (nafsu yang
bergejolak dari panca indria) dapat dipadamkan oleh API positif ( api Jiwatma dengan disiplin Yoga dan ilmu pengetahuan).

Dalam fungsinya sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat, api di-
wujudkan dalam beberapa upacara agama dengan berbagai bentuk. Misalnya api
dalam bentuk : api takep. Api takep dibuat dari 2 buah sabut kelapa yang dibuat bertumpuk
menyilang dan didalamnya diisi api. Api takep ini adalah lambang swastika (keseimbangan), sedangkan api didalamnya melambangkan kekuatan jiwatman, yang dapat menumbuhkan ketahanan diri dalam menghadapi godaan-godaan seperti sifat-sifat negatif.

Dalam lontar Sundarigama, dijelaskan tentang upacara Ngerupuk, yaitu upacara mengelilingi rumah dengan obor dari daun kelapa kering yang disebut
prakpak, sehari sebelum hari Nyepi, pada sore hari. Keterangan lontar Sundarigama itu
sebagai berikut :
" Telasing acaru tumuli ngerupuk ya tika ngemantukakena sarwa bhuta kala kabeh,
mwang umundurakena sasab marana, sarana obor-obor dening gni saperakpak,
semburni masuwi, mantra sarwa tutulak panyengker agung, iderin umah ika dening
geni ika ".

Artinya :
" Setelah selesai melakukan caru, lalu melaksanakan ngerupuk yaitu mengembalikan semua bhuta kala dan menghalau penyebab penyakit, caranya : obor-obor
dengan api daun kelapa kering. Semburkan mesui, dimantrai dengan mantra penolak batas
terbesar, mengelilingi rumah dengan api tersebut ".

Dalam lontar Shiwa Purana Tattwa upacara sawa wedana sampai upacara atma wedana
dibagi menjadi 5, yaitu : ngaben, nyekah, memukur, maligia dan ngeluwer, menggunakan sarana api. Menurut Renward Branstetter akhli Etimologi dalam bukunya berjudul : " Akar kata dari kata Dalam Bahasa Indonesia ", yang diterjemahkan oleh Sjaukat Djajadiningrat, diterbitkan oleh PT.Pustaka Rakyat, tahun 1957 di Jakarta. Menyebutkan kata ngaben adalah kata dari bahasa Bali yang berasal dari " API " mendapat awalan sengau NG dan akhiran EN, sehingga menjadi " NGAPIEN " yang kemudian disandikan menjadi NGAPEN.
Konsonan P menjadi B menurut hukum perubahan bunyi : p, b, w. Berdasarkan itulah
kata NGAPEN menjadi NGABEN, yang artinya memuja Api, yang dalam hal ini sebagai lambang Hyang Brahma.

Tujuan utama orang ngaben adalah, mengantarkan Atma menuju Paramatma, dengan terlebih dahulu memutuskan hubungan dengan Stula sarira (dimana stula sarira yaitu yaitu unsur Panca Mahabhuta kembali kepada unsur Panca Tan Matra).


4. Api Sebagai saksi Upacara dalam Kehidupan.
Bagi yang bersembahyang, dhupa berfungsi sebagai saksi persembahyangan. Api dhupa lambang api saksi, asapnya lambang gerakan rohani menuju ke angkasa. Angkasa lambang stana Hyang Widhi. Asap adalah suatu zat yang istimewa, mula-mula asap itu berwujud, lama-lama luluh dan akhirnya amor bersatu dengan udara. Sifat asap itu bisa
dipakai contoh, bagaimana Jiwatman pribadi kita dapat menunggal dengan Paramatman. Jiwatma sang Penyembah bersatu dengan Hyang Disembah. Inilah hakekat dari muspa.

Saksi kehidupan didunia ini juga disaksikan oleh api besar yaitu Rawi / Sawitr / Matahari.
Didalam lontar Siwagama diceritakan bahwa di sorga ada rapat para Dewa. Rapat dipimpin oleh Dewa Shiwa, dalam rapat itu juga ikut hadir Dewa Surya yang berpenampilan amat simpatik. Penampilan Dewa Surya yang demikian itu, menarik perhatian Dewa Shiwa, yang akhirnya Dewa Shiwa menganugrahkan tugas kepada Dewa Surya untuk mewakili dirinya di dunia, sebagai saksi kehidupan di dunia.

Disamping itu juga Dewa Surya dibolehkan memakai nama Dewa Shiwa didepan nama
Dewa Surya. Semenjak itu Dewa Surya memakai nama Shiwa Raditya (AUM hrang hring sah Parama Shiwa Raditya ya namah swaha).

Oleh karena Dewa Surya diberi tugas sebagai saksi kehidupan di dunia mewakili Dewa Shiwa, maka sejak itu Dewa Shiwa diangkat sebagai gurunya. Sejak itu Dewa Shiwa bergelar Bhatara Guru. Mitologi Siwagama itu adalah melukiskan bahwa Matahari itu adalah
brahmanda (ciptaan Tuhan) untuk menjadi saksi kehidupan manusia di dunia. Konsep inilah yang menjadikan dasar setiap pelaksanaan Panca Yajna selalu membuat Sanggar Surya yang juga disebut Sanggar Pesaksi, diletakkan disudut Timur Laut (kaja kangin). Fungsi sanggar Surya adalah sebagai lambang stana Dewa Shiwa Raditya yang berfungsi sebagai saksi dalam upacara. Selain bernama sanggar Surya juga dikenal dengan nama Sanggar Tawang, dimana dalam bahasa Kawi, tawang berarti angkasa atau langit.

Demikian pula dalam lontar Swamandala dituliskan sebagai berikut :
Nihan Sang Hyang Aji Swamandala ngaran, endi Sang Hyang Swamandala, Ida Paduka Surya Chandra, Ida meraga Paramartha, Ida uriping jagat kabeh, meraga
tattwa sarining tattwa, Ida meraga Agni, Ida meraga Bayu, Sabda, Idep. Ida meraga Shiwa, SadhaShiwa dan ParamaShiwa. Ida meraga sarining Wedamantra, Ida meraga Yogasamadhi, Ida meraga Pati-uriping jagat, Ida ngamijilang Dewata kabeh, Ida nugraha ala-ayuning jagat, Ida angawe amertha, Ida ngamijilang wisia, Ida meraga Drawa Resi, Ida meraga olah sada kirana, mwah Bhatara Nisangkara, Ida ngamijilang wewarah kabeh, ingaran warah ring raga, raga ngaran sarira, Ida meraga saluwiring nugraha ring Sang Pandya luwih.

Artinya :
Inilah ilmu tentang penguasaan alam semesta nama. Yang dikatakan sebagai penerangan
seluruh alam adalah beliau Paduka Bhatara Surya Chancra, beliau sebagai hakekat yang
tertinggi, kebenaran yang tertinggi, beliau jiwa dari alam seluruhnya, merupakan filsafatnya
dari filsafat, beliau jiga sebagai api, bagaikan angin, suara dan pikiran, beliau adalah Shiwa,
Shadashiwa dan Paramashiwa. Beliau adalah isi kekosongan, beliau adalah suci bersih atau suci murni, beliau kena pengaruh oleh kemahakuasaanNya. Beliau juga merupakan
sari dari Wedamantra, meraga sarining yoga samadhi, beliau adalah sumber mati dan hidupnya jagat, beliau sumbernya Dewa, beliau sebagai pemberi baik dan buruknya alam, beliau sebagai sumbernya kehidupan, beliau mengeluarkan amerta dan racun. Beliau merupakan guru utama yang menitahkan yang mengatur seratus dewa-dewa, begitu juga bhatara Nisangkara, beliau mengeluarkan semua ajaran, bernama ajaran untuk diri raga
bernama badan. Beliau pulalah yang memberikan segala macam penugrahan terhadap para pendeta utama.

Team penyusun :
1. Prof.Dr.Tjokorda Rai Sudharta, MA
2. Drs. IBP Purwita.
3. Drs. Tjokorda Raka Krisnu.
4. Drs. I Ketut Sura
5. Dra. Ni Made Sri Arwati
6. Drs. I Ketut Wiana.
Tgl. 4 April 1991

Disalin oleh : IB.Singarsa.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net