Sabtu, 11 April 2015

Spiritualitas Beragama


"Yat sanoh sanum aruhad
bhury aspasta kartvam
tad indro artham cetati
yuthena vrsnir ejati."
(Rigveda I.10.2).

Artinya, Tuhan menjaga para penyembah (bhakta) yang mendaki dari satu puncak ke puncak yang lainnya dan menyelesaikan kegiatan-kegiatan hidup yang bermacam-macam. Sang Hyang Indra datang dengan seluruh kekuatan-Nya pada saat yang tepat. 
Pada hakikatnya kegiatan beragama itu pemujaan terhadap Tuhan. Hakikat pemujaan yakni membangunkan kekuatan spiritual. Kekuatan suci spiritual adalah sumber energi untuk menggerakkan hidup. Hidup seyogianya bergerak menuju puncak-puncak kesuksesan mewujudkan tujuan hidup secara bertahap. Tujuan hidup adalah mencapai dharma, artha, dan kama. Ketiga hal tersebut sebagai landasan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi yakni moksha. Mewujudkan tujuan hidup tersebut manusia memiliki modal berupa jasmani dan rohani.

Dalam rohani terdapat karma wasana sebagai pembawaan lahir. Karma wasana itu mengandung dua muatan yaitu guna dan swabhawa. Guna adalah bibit-bibit minat dan bakat. Swabhawa adalah bibit-bibit sifat dan tabiat. Swami Chinamayananda dalam bukunya The Art of Living menyatakan mutu dan pola berpikir manusia sangat tergantung pada unsur-unsur karma wasana yang dibawa sejak lahir. Ilmu dan agama sebagai arsitektur untuk mengubah dan membentuk kembali unsur-unsur karma wasana itu. Dengan demikian, kepribadian manusia dapat disesuaikan dan direhabilitasi untuk mencapai tujuan hidup.

Ilmu dan agama seharusnya mampu didayagunakan untuk mengembangkan bibit-bibit bakat dan minat (guna). Pengembangan bibit bakat dan minat itu untuk mendapatkan keterampilan atau keahlian untuk mengisi hidup ini dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Demikian juga ilmu dan agama harus mampu mengembangkan bibit-bibit sifat (swabhawa) yang baik dan meredam bibit-bibit sifat yang tidak baik. Pengembangan guna dan swabhawa ini membutuhkan daya fisik dan daya spiritual yang tangguh. Kehidupan beragama tanpa mendatangkan daya hidup jasmani dan rohani yang makin tangguh, akan menjadi beban yang memberatkan hidup. Beragama seperti itu akan sia-sia adanya.

Beragama harus dapat membawa perbaikan kualitas individu, kualitas hubungan sosial dan kualitas sumber daya alam. Landasannya, kebenaran (satyam), kesucian (siwam) dan keharmonisan (sundharam). Kalau beragama hanya menonjolkan indentitas simbol-simbol tanpa dimaknai dalam perilaku, akan menimbulkan berbagai persoalan yang akan membebani hidup. Daya spiritual yang dihasilkan dari kegiatan beragama harus mampu menjadi kekuatan mendaki puncak-puncak kehidupan menuju peningkatan kualitas hidup. Di Bali nilai-nilai suci ajaran agama Hindu itu telah divisualisasikan ke dalam berbagai simbol sakral dan profan. Simbol sakral untuk didayagunakan membangunkan kekuatan spiritual umat.

Sedangkan simbol profan untuk membangun keindahan dalam kehidupan. Pada dasarnya, keindahan itu untuk membangun kehalusan jiwa mencegah kekerasan dan kebrutalan. Sayang masih banyak simbol sakral agama Hindu itu tidak didayagunakan menguatkan spiritualitas hidup. Beragama hanya berhenti pada prosesi ritual informal dengan simbol tanpa dimaknai dalam perilaku sehari-hari. Bahkan, banyak simbol sakral agama Hindu yang digunakan terbalik. Pura sebagai tempat pemujaan lambang Padma Bhuwana malahan dijadikan berbuat kotor. Seperti dijadikan ajang berjudi dan penyiksaan hewan dalam bentuk sabungan ayam. Berjudi, menyiksa hewan untuk kesenangan indriawi dan mabuk-mabukan sudah sangat jelas dilarang oleh ajaran agama Hindu.

Ajaran Catur Varna menurut kitab suci Veda sebagai ciptaan Tuhan berdasarkan guna dan karma. Tetapi, kenyataannya diplesetkan berdasarkan wangsa. Hal ini menyebabkan terganggunya kebersamaan sosial umat Hindu secara berkepanjangan di Bali.

Upacara yadnya merupakan media untuk mewujudkan ketulusikhlasan berkorban membangun hubungan harmonis kepada Tuhan dan sesama. Namun, dewasa ini banyak upacara yadnya yang dihadirkan dengan egoisme yang tinggi. Padahal, kitab suci mengajarkan upacara yadnya yang baik harusnya naasmita. Artinya, upacara yadnya itu tanpa pamer egoisme dan arogansi. Penggunaan sarana atau simbol sakral yang menyimpang seperti itu sudah mentradisi. Akhirnya, tradisi itu dianggap benar. Apalagi, dalam kehidupan beragama Hindu di Bali. Supremasi tradisi masih lebih kuat daripada supremasi nilai-nilai suci agama Hindu.

Dalam rangka ajeg Bali, simbol sakral mesti didudukkan sebagai pembangun daya spiritualitas umat Hindu.

* I Ketut Gobyah
Source :   Balipost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net