Jumat, 26 Juni 2015

Buku : Konsep Sraddha



IDR 50400.00

SIZEPRICE (IDR)
14,5 x 20,5 cm50400.00
Quantity 
PRODUCT DETAILS
Penulis : KL Seshagiri Rao
tebal : 256 hal
Deskripsi :
K.L. Seshagiri Rao sendiri adalah seorang tokoh yang sangat tersohor. Sebelumnya, ia mengepalai Departemen Guru Gobind Singh, Study Agama di Universitas Punjabi, Patiala, dimana beliau Profesor Universitas untuk studi perbandingan agama.
Disamping itu beliau juga mengajar di Universitas California, Santa Barbara. Sebagai penuntun semangat Yayasan perdamaian Gandhi di New Delhi, ia telah menjadi sosok yang amat sangat akrab di beberapa benua pada pertemuan internasional berkaitan dengan masalah-masalah keadilan dan perdamaian dunia. Dr. Rao telah menyunting sebuah seri yang terdiri atas empat jilid mengenai tradisi-tradisi agama di dunia, diterbitkan oleh Universitas Punjab, dan juga penulis dari buku Mahatma Gandhi and CF Andrews : A Study in Hindu-Chistian Dialogue, sekarang telah dipublikasikan dalam berbagai bahasa ; kontribusinya sendiri terhadap dialog tersebut, di antara lusinan artikel, termasuk yang terkesan yaitu “Suatu Pandangan Hindu Mengenai Yesus Kristus”, dalam Harvard Divinity Bulletin dan beliau telah menjadi editor pertama dari Journal of Religious Studies (India). Beliau sekarang adalah profesor studi agama di Universitas Virginia.
Dalam esai yang sangat berguna dan penting ini, Rao mengkaji arti penting sraddha, yang menggambarkan suatu perpaduan dari keinginan dan kepercayaan dalam beberapa kesusasteraan Hindu klasik-seperti kitab-kitab Brahmana, Upanisad dan Bhagavadgita.
Dengan berakar pada Rgveda, sraddha “menempati bagian sentral dalam setiap tahapan, aliran dan sekte pemikiran keagamaan India” namun, sebagaimana komentar yang dilontarkannya, sayang sekali “tidak mendapat perhatian yang sepantasnya dari para cendekiawan”. Karyanya merupakan usaha pertama yang berkelanjutan untuk menyelidiki makna teologis kata dalam konteks perubahan sejarah sebelumnya.
Dalam Satapatka Brahmana, sraddha menjelaskan tentang keinginan manusia akan surga, tentang hasratnya akan sebuah bentuk kehidupan yang terbebas dari peristiwa-peristiwa yang mengoyak dunia seperti kita ketahui saat ini. Berbagai ritual pengorbanan memberi akses menuju alam para dewa ; akan tetapi, keyakinan manusia tidak dibangun dalam kesucian itu sendiri yang setingkat dengan yang dimiliki para pendeta yang melaksanakan kegiatan seremonial yang sangat diperlukan.
Dalam contoh khasus yang penting mengenai kesusasteraan Veda ini, sulit untuk membedakan antara yang bersifat religius dan magis – sebagaimana yang dinyatakan terkandung dalam mantra. Sraddha tidak pernah melampaui ambiguitas moral tertentu yaitu kebingungan yang kerap terjadi atas kebaikan karena pelaksanaan upacara ritual.
Di pihak lain, dalam kosmologi Upanisad Veda sejak awal telah digantikan dengan ontologi monistik, pengorbanan dengan kontemplasi, pendeta dengan guru dan pencarian akan surga dengan kehausan akan ilmu pengetahuan.
Sraddha menjadi terkait dengan pengetahuan mengenai Brahman-Atman, bersatunya kehidupan dan ia menjadi disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai karman, samsara dan moksa. Sekarang “makna-makna tersebut dimasukkan kedalam ritual pengorbanan yang tidak pernah dikehendaki oleh doktrin pengorbanan (sakerdotalisme) Brahmana; dan dengan demikian ritualisme dilampaui …… pengorbanan akhirnya dipahami sebagai pengorbanan diri dan pelaksanaan pengorbanan mengambil bentuk meditasi pada Brahmana.”
Kathopanisad adalah sebuah titik peralihan yang penting dalam perkembangan tradisi Upanishad, karena ia mengandung benih-benih krusialitas dan kemurahan Tuhan sebagai personal dan menghubungkan sraddha dengan cinta kasih, kepercayaan dan pengabdian. Karena itu, peralihan yang mencolok terjadi dalam evolusi konsep itu.
Dalam beberapa Upanishad berikutnya, sesungguhnya sraddha telah menjadi sebuah makna yang amat sintetis; memiliki orientasi ritualistik dan magis dari kitab-kitab Brahmana yang ditempatkan lebih rendah namun tidak dihilangkan, sementara tradisi monisme and monotheistik Upanishad sebelumnya yang berawal dengan Kathopanisad juga diperkokoh. Kendati demikian, sebuah motif baru sangat jelas, yaitu tapabrata dan pertapaan yang muncul sekarang sebagai intisari dari sraddha.
Tidak pernah hadir tanpa sikap penolakannya. Akhirnya, kemudian, tanpa dipengaruhi oleh pengakuan Krishna yang dengan senang hati memandang semua bentuk pemujaan adalah bersifat tulus, Bhagavadgita mampu memberikan suatu protes klimatik atas nama cinta kasih terhadap semua pendapat berkaitan dengan ritual, demikian juga terhadap kehidupan betapa dan pengunduran diri dari kehidupan duniawi atas nama kewajiban sosial.
‘Cara Pengabdiannya’ didominasi sifat monoteistik dan selalu menekankan kemuliaan, keyakinan, dan hati yang didominasi oleh cinta kasih, memberi nasehat semacam ‘keduniawian alam setelah kematian’ sangat berbeda dari keduniawian kesusasteraan Veda yang kurang dialektis dan keduniawian alam setelah kematian berdasarkan kitab-kitab Upanishad awal.
Mengingat perpaduan dari kontinuitas dan diskontinuitas yang ia lihat, Profesor Rao bertanya apakah ada sebuah konsep Hindu tentang sraddha dan mampu memberikan sebuah jawaban formal. Dengan kata lain, konsep itu selalu menggambarkan hasrat hati, kepercayaan akan suatu kekuatan untuk mewujudkan cita-cita itu dan komitmen pada sastra tertentu sebagai penyingkapan jalan petirtayatra yang tepat.
Namun bila sraddha tetap secara formal, tidak pernah tanpa tritunggal hasrat, kepercayaan dan komitmen, isi sebenarnya sangat beragam sepanjang sejarag, kadang-kadang menceritakan tentang ambisi manusia untuk bersatu dengan para dewa di surga, kadang juga hasratnya untuk mewujudkan penyatuan diri dengan kehidupan dalam Brahman-Atman, kadang pengabdiannya ditunjukkan kepada satu Tuhan dari semua ciptaan yang suci dan transenden.
Juga tidak bisa dikatakan bahwa ini hanya tingkat kronologis dari perkembangan Hinduisme, seolah-olah masing-masing digantikan oleh berikutnya, karena warisan mereka semuanya memperkaya dan mempersulit penggunaan kontemporer dari kata tersebut. Sebagai konsep teologis, Sraddha berarti pilihan oleh seseorang individu tentang sebuah tujuan transenden dan tentang cara untuk mencapainya, dan ada banyak dari pilihan-pilihan ini yang berbagi hak yang sama untuk disebut Hindu.
Dengan demikian ini menunjukkan bukan suatu kepercayaan melainkan apa yang terdapat di balik setiap kepercayaan itu: ia tidak mendefinisikan sebuah ‘agama’ namun menceritakan tentang apa yang mungkin lebih penting, jalan-jalan berbeda yang orang-orang dapat ikuti di dalam sebuah tradisi dan tetap menjadi homines religiosi.
Sraddha memiliki unsur-unsur kemauan, emosional dan intelektual, konotasi personal dan impersonal, pengertian tapabrata dan kesungguhan, aspek-aspek ritual dan mistik. Meskipun godaan untuk menyamakannya dengan apa yang Kristen gambarkan sebagi ‘keyakinan’, terjemahan tersebut mengaburkan makna dan mengurangi kebijaksaan tradisi yang beragam dan masih asli, yang melebihi tradisi lain di dunia ini, sehingga pantas menyadang label “katolik”.
Buku yang berjudul Konsep Sraddha ini berbicara mengenai apa yang sudah menjadi keinginan banyak orang di dalam kajian oleh orang-orang Hindu tentang tradisi mereka. Buku ini memperlihatkan dengan gamblang keberagaman itu serta kebersatuan praktek Hindu, kesejarahannya berserta ‘keabadiannya’, pencariannya tentang universalitas tanpa kehilangan kekonkretannya, usahanya untuk mempertahankan kontinuitas tanpa kehilangan persesuaian.
Bagi mereka yang berada dalam tradisi-tradisi lain, esai ini dapat memberikan bantuan berharga melalui pengakuan atas keberagaman jalan yang tersedia bagi kita semua, dengan pembukaan jalan itu kita sekarang memulai, tetapi konsisten pada jalan tersebut namun memberi isyarat dari luarnya, kembali kepadanya namun tidak tanpa memberi penjelasan yang berlebihan.
Dalam pengertia ini, Konsep Sraddha dapat memungkinkan umat Kristen untuk memahami sendiri lebih baik daripada yang mereka bisa pahami sebelumnya-lebih sensitif terhadap kekayaan keyakinan historis-demikian juga dapat memahami secara lebih akurat tradisi lain yang agung, dan dalam kebiasaan unik yang tak dapat disederhanakan, menunjuk pada realitas akhir yang mempertahankan dan menilai setiap manusia.
Sejumlah buku saat ini memberikan begitu banyak sumbangan pemikiran terhadap perkembangan dialog umum antara Timur dan Barat, karena Profesor Rao menawarkan sebuah obat penawar yang manjur melawan generalisasi yang gemuk atau penyederhanaan-penyederhanaan yang ramping-dan tidak bersedia memungkinkan munculnya wacana teologis dari kajian tekstual, sama-sama tidak bersedia bagi yang belakangan untuk menjadi suatu spekulasi arkeologis yang tidak menyumbangkan apa-apa terhadap kajian wacana kontemporer.
*[Harga belum termasuk ongkos kirim. Ongkos kirim minimal dihitung berdasarkan berat barang 1 kg, kami sarankan Anda memesan beberapa barang untuk menekan ongkos kirim]
sumber : http://www.iloveblue.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net