Sabtu, 15 Agustus 2015

Memaknai Nyepi, Umat tak hanya Berhenti pada Ritual

Umat Hindu, Rabu (2/4) mendatang kembali merayakan Nyepi. Hari raya yang jatuh tiap tahun itu mesti dipahami dari dua segi, sekala dan niskala. Pun, Nyepi tidak hanya dipahami sebatas ritual. Tetapi, di balik itu ada nilai-nilai etik yang mesti diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehari sebelum Nyepi, umat melaksanakan upacara Tawur. Bagaimana mestinya umat memaknai Tawur Kasanga dan Nyepi? 


===============================
Pengurus Parisada Bali hasil Lokasabha Besakih Drs. I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, Nyepi mesti dipahami dari dua segi -- sekala dan niskala. Secara sekala, umat mesti mampu mengaplikasikan nilai-nilai Nyepi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara secara niskala umat mampu memaknai nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai etika yang patut dipakai sebagai tuntunan dalam kehidupan saat ini maupun yang akan datang. 

Selama ini, kata Sudiana, secara sekala masih ada masyarakat yang belum mampu memahami nilai-nilai Nyepi. Mereka tidak mampu mengendalikan diri terhadap godaan-godaan atau perilaku yang menyerupai bhuta kala. ''Mereka justru bisa dikatakan sebagai bhuta kala secara nyata, karena tidak mampu mengendalikan diri sehingga berbuat merugikan orang lain dan merusak lingkungan,'' ujarnya. 

Dalam konteks mengajegkan Bali, kata dosen STAHN Denpasar ini, Tawur Kasanga jangan hanya dimaknai sebatas ritual. Tetapi mesti dimaknai lebih dalam, baik secara tatwa maupun etika. Jika tawur agung dikaitkan dengan konteks mengajegkan Bali, katanya, mesti ada sifat-sifat yang patut di-supat atau di-somia. Perilaku adharma perlu di-somia agar menjadi dharma. 

Hal-hal yang mencerminkan perilaku dharma adalah berbicara tidak menyakitkan orang lain, mampu mengendalikan kemarahan, menghapus rasa dendam. Menciptakan keharmonisan dalam diri sendiri dan dengan orang lain, serta lingkungan di sekitarnya. 

Untuk membuat Bali tetap ajeg, masyarakat hendaknya mampu menyomiakan diri agar tidak kemasukan sifat-sifat bhuta. Misalnya, berkata-kata kasar kepada orang lain, mencemari air dengan limbah sablon, dll. Demikian juga masyarakat ataupun pejabat bisa mengerem diri agar tidak cepat-cepat menjual palemahan Bali. Jika itu terjadi, tentu akan merusak tatanan hidup orang Bali yang terkenal dengan konsep Tri Hita Karana-nya. 

Hari raya keagamaan, apa pun namanya termasuk Nyepi, kata sosiolog agama Prof. Dr. IB Yudha Triguna, M.S., mesti dipahami sebagai media pendekatan diri kepada Tuhan dan melatih bakti dan disiplin diri. ''Perayaan keagamaan juga dimaknai sebagai peningkatan solidaritas antarsesama. Jadi, hari raya mesti dijadikan media komunikasi antarsesama,'' ujar IB Yudha Triguna yang Direktur Program Pascasarjana Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi. 

Di samping itu, perayaan keagamaan dapat menguatkan identitas kultural. Artinya, melalui perayaan Nyepi, dapat diketahui bahwa seseorang adalah Hindu. Memang, apabila dilihat dari segi sosiologis pemaknaan umat terhadap hari raya berbeda-beda. Ada yang memandang hari raya begitu-begitu saja. Artinya, kurang bermakna bagi dirinya. Ia baru ingat kepada Tuhan ketika sedang mengalami penderitaan secara lahir maupun batin. 

Demikian juga ada umat yang memaknai hari raya untuk menyembah Tuhan dengan harapan kedudukan, kepandaian dan materi. ''Tetapi, yang tepat adalah umat harus memuja Tuhan karena rasa keterpanggilan rasa bakti dan tulus ikhlas, sesuai dengan perintah-Nya,'' ujarnya. 

Dalam situasi seperti sekarang, kata Yudha Triguna, Nyepi mesti dimaknai tak sekadar melaksanakan catur brata penyepian. Tetapi, mesti dijawab sudahkah umat melaksanakan etik ke dalam kehidupan sehari-hari. Nyepi mesti diterjemahkan oleh lembaga yang berwibawa sebagai sebuah etik yang dijadikan pedoman oleh umat. 

Dalam merayakan Nyepi, umat mesti dapat mengosongkan pikiran, sebagai upaya untuk mulatsarira (introspeksi). Dalam keadaan yang demikian, umat mesti mampu memusatkan pikiran untuk memuliakan Tuhan. Nyepi tidak justru dijadikan ajang untuk membicarakan hal-hal di luar yang berbau ketuhanan. 

Ditegaskan, ritualisme Nyepi tetap relevan dijalankan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang. Cuma, mesti ada kesadaran umat di balik ritual tersebut. Misalnya, ritual Nyepi secara niskala mengandung makna somia. Secara sekala hal itu baru dapat terwujud ketika ada saling pengertian di antara sesama umat. 

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, bukan upacara yang menjadi fokus, akan tetapi perilaku umat manusia. Artinya, umat mampu menekan seminimal mungkin nafsu angkara murka, mampu menahan emosi dan sejenisnya. ''Tanpa itu ritualisme tidak akan bermakna bagi masyarakat. Somia yang transenden itu hendaknya mampu berimbas pada yang imanen. Jadi, ada keseimbangan,'' katanya. 

Ditegaskan, aktivitas beragama itu tetap penting, tetapi tidak berhenti hanya pada ritual. Dan, mesti dipahami konsep Hindu adalah keseimbangan secara sekala dan niskala. 

Hal yang sama dikatakan mantan pengurus Parisada Bali yang Bendesa Pakraman Denpasar Drs. Ketut Suda Sugira. Dalam situasi saat ini, melalui perayaan Nyepi umat Hindu diharapkan lebih mampu mengendalikan diri. Mampu ''menyepikan'' diri, menyepikan emosi maupun keinginan-keinginan (hawa nafsu). 

Dalam perayaan Nyepi, secara transenden umat merasa terpanggil tidak melakukan aktivitas atau bekerja (amati karya) saat hari raya itu. Demikian juga umat tidak menyalakan api atau lampu (amati gni), bepergian (amati lelungan) dan menikmati hiburan (amati lelanguan). Tetapi secara imanen, umat mesti menghayati dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Tidak menyalakan api juga mengandung pengertian tidak mengobarkan api nafsu. ''Pada saat Nyepi umat merasa terpanggil untuk melaksanakan brata panyepian untuk mewujudkan ketenangan sekala dan niskala,'' ujar Suda Sugira yang Ketua Forum Komunikasi Antar-Umat Beragama (FKAUB) Bali ini. (lun) 

  sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net