Minggu, 27 Desember 2015

Kembalikan ke ''Tatwa''

Evamacaratodrstva, dharmasya manuyo gatim.
Sarvasya tapaso mulam, acaram jagrhuh param.

(Manawa Dharmasastra I.11). 

Maksudnya: Pandangan yang dijadikan kebiasaan (dresta) seharusnya berdasarkan kebenaran suci (dharma). Dalam kebiasaan atau tradisi itu ditetapkan perbuatan baik sebagai sumber terbaik dari semua tapa. 


UMAT Hindu di Bali kira-kira dari awal abad XIX sampai menginjak awal abad XXI ini tidak pernah absen dari kasus adat. Kesalahan dalam penerapan ajaran Hindu, salah satu akar permasalahannya. Seperti kesalahan dalam menerapkan ajaran Catur Varna dan kesalahan dalam memahami kebenaran desa pakraman.

Kesaksian R. Friederich, umat Hindu asal Jerman yang pernah berkunjung ke Bali tahun 1846, memperkuat adanya kesalahan dalam menerapkan konsep Catur Varna. Dia menyaksikan adanya hukum labuh geni dan labuh batu di beberapa tempat di Bali.

Kalau ada wanita dari kasta yang dianggap lebih tinggi kawin dengan lelaki yang dianggap kastanya lebih rendah maka wanitanya dikenakan hukuman lebuh geni, sedangkan lelakinya dikenakan labuh batu. Labuh geni adalah hukuman dikenakan kepada seseorang dengan cara dibakar hidup-hidup sampai mati. Sebelum dibakar terlebih dahulu dibuat mabuk, agar saat dibakar tidak terlalu dirasakan. Sedangkan hukuman labuh batu adalah dengan cara ditenggelamkan ke tengah laut dengan diberi pemberat batu. Sebelum ditenggelamkan lelaki itu dibungkus duri blatung.

Ada juga kasus warga Pande kena hukuman karena ngaben menggunakan pandita dari warganya sendiri. Syukur hukuman yang dijatuhkan Raad Kerta itu dibatalkan oleh Residen Belanda Bali-Lombok.

Ada juga desa adat menghukum warganya yang dianggap bersalah dengan melarang mengubur mayat di kuburan setempat. Ada pula desa adat yang menghukum warganya yang bersalah dengan melarang bersembahyang di pura kahyangan tiga bersangkutan.

Sesungguhnya ada cara menghukum yang lebih mendidik warga yang bersalah agar mereka sadar akan kesalahannya. Bukan membuat warga yang dihukum menjadi dendam berkepanjangan. Kasus-kasus yang serupa terus berlangsung sampai dewasa ini di Bali. Hal ini seharusnya tidak kita biarkan terus berlanjut.

Kebenaran suci Veda yang disebut sathya memang harus dibiasakan sampai melembaga menjadi adat-istiadat dalam masyarakat. Tetapi tidaklah setiap adat yang ada berasal dari adat agama. Ada juga adat yang berasal dari kebiasaan umum yang kalau diteliti ada juga yang bertentangan dengan ajaran suci agama. Seperti mabuk dan berjudi sebagai kegiatan saat ada upacara yadnya. Ada tradisi menutup jalan secara berlebihan yang menyusahkan masyarakat.

Dalam Manawa Dharmasastra II.12 dan 18 ada istilah sadacara -- yang berasal dari kata ''sat'' atau ''satya'' dan ''acara''. Kata ''sat'' atau ''satya'' artinya kebenaran tertinggi dari Veda. Sedangkan kata ''acara'' artinya tradisi pengamalan ajaran Hindu.

Sarasamucaya 177 mengatakan, ''Acara ngaraning prawrti kawarah ring aji'' yang artinya acara adalah kebiasaan pengamalan ajaran kitab suci (Veda).

Dalam Sarasamuscaya 260 dinyatakan wujud swadyaya adalah ''vedaabhyasa''. Maksudnya adalah membiasakan mengamalkan ajaran suci Veda dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan dalam Sarasamuscaya 275 dinyatakan istilah mangabhyasa dharma sadhana yang artinya membiasakan untuk mengamalkan kebenaran Veda (dharma).

Hal tersebut sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia sekala dan niskala.

Menurut berbagai sumber susastra Hindu, kebenaran agama Hindu itulah yang harus ditradisikan. Proses pentradisian itu adalah perilaku manusia yang bersifat empiris untuk mengamalkan ajaran Hindu sabda Tuhan yang bersifat supra empiris. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia tentunya memiliki batas ruang dan waktu. Artinya setiap tradisi yang dibuat oleh manusia memiliki keterbatasan. Ada saatnya suatu tradisi sangat baik di suatu tempat atau dalam waktu tertentu. Selanjutnya pada tempat yang lain dan dalam waktu kemudian bisa tidak cocok lagi.

Untuk mencegah munculnya kasus adat yang berkepanjangan harus ada langkah yang berani untuk mengembalikan tradisi yang menyimpang pada tatwanya.

Kembalikan terlebih dahulu dresta kita pada pandangan yang benar dan jujur pada setiap tradisi atau adat yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang benar itulah yang kita terus tradisikan atau adatkan. Upaya untuk mentradisikan yang baik dan benar itulah sebagai pertapaan yang sangat mulia.

Untuk mencegah munculnya kasus adat tradisi itu harus dibersihkan dengan konsep utpati, sthiti dan pralina. Maksudnya ciptakan tradisi baru yang benar dan baik yang dibutuhkan oleh zaman. Pelihara tradisi yang masih baik benar dan cocok dengan zaman. Pralina tradisi yang sudah tidak sesuai dengan zaman dan sudah menyimpang dari dharma atau kebenaran Veda.

Dengan tiga langkah itu kita pelihara adat agar terus-menerus adat itu menjadi media pengamalan ajaran agama Hindu yang baik cocok dengan zaman dan tepat dengan tattwanya. 

* I Ketut Gobyah
www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net