Jumat, 18 Desember 2015

Menguatkan Pikiran

Indriyanam prasanggena
Dosamrcchatyasamsayam
Samniyamya tu tanyeva
Tatah siddhim niyacchati. 

(Manawa Dharmasastra II.93) 

Maksudnya, oleh karena indra itu terikat pada benda-benda duniawi, manusia tanpa ragu-ragu lagi berbuat dosa. Tetapi bila ia mampu mengendalikannya secara terpadu, ia akan memperoleh keberhasilan dalam semua tujuannya yang benar. 


SANISCARA Kliwon Wuku Landep disebut Tumpek Landep. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan ''Tumpek Landep pinaka landepanning hidep.'' Artinya, Tumpek Landep sebagai media untuk mempertajam hidep (alam pikiran). Dengan demikian Tumpek Landep itu adalah rerahinan umat Hindu di Bali untuk mengingatkan umat agar meningkatkan daya nalar yang disebut dengan hidep. Kata ''landep'' dalam bahasa Jawa Kuno artinya tajam.

Jadi, Tumpek Landep itu mengingatkan manusia untuk mengasah pikirannya agar menjadi lebih tajam atau lebih cerdas menganalisis sesuatu dalam hidup ini. Kata ''hidep'' dalam bahasa Jawa Kuno artinya pikiran atau kesadaran. Jadi, Tumpek Landep itu sebagai momen untuk meningkatkan kesadaran alam pikiran umat manusia dalam mengemudikan jalannya hidunya. Seperti dinyatakan dalam kutipan Sloka Manawa Dharmasastra tersebut kalau indria dibiarkan terikat oleh benda-benda duniawi maka dosalah yang kita akan lakukan terus. Kalau ia mampu dikendalikan maka segala cita-cita yang mulia akan berhasil. Dalam Manawa Dharmasastra II Sloka 92 dinyatakan bahwa pikiran sebagai indria yang kesebelas atau rajanya indria.

Semua indria itu harus ditundukkan dengan kekuatan pikiran. Demikianlah ajaran sastra Weda tentang penguasaan indria. Dalam konteks ini indria itu bukan harus dikalahkan, tetapi justru dikendalikan bagaikan kuda yang kuat menarik kereta. Kalau kuda itu mampu kita kendalikan dengan baik maka tujuan pun akan cepat tercapai.

Mengapa umat Hindu di Bali pada hari Tumpek Landep mengupacarai berbagai peralatan hidup seperti keris, segala jenis pisau, kendaraan, alat-alat elektronik? Semua jenis benda-benda tersebut sebagai alat hidup bukan tujuan hidup. Dia hanyalah alat untuk dijadikan sarana dalam menapaki hidup. Agar jangan sarana itu justru mengikat manusia maka diingatkan dengan upacara Tumpek Landep. Dengan upacara tersebut diharapkan kesadaran pikiran kita ditingkatkan agar jangan sampai alat-alat yang berupa benda-benda duniawi sebagai sarana hidup itu menjadi tujuan utama kita. Pengadaan alat-alat hidup tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran pikiran. Jadinya bukan hanya keris saja yang diupacarai tetapi semua benda yang berfungsi sebagai sarana yang menunjang hidup.

Keris itu lambang ketajaman pikiran. Janganlah mengadakan sesuatu sarana hanya untuk pamer demi menonjolkan egoisme sebagai ciri indria yang bergejolak. Justru sarana yang kita adakan itu untuk memperkuat dan mempercepat terselenggaranya tujuan hidup mendapatkan dharma, artha, kama dan moksha. Atau mendapatkan kehidupan yang sejahtera lahir batin.

Dewasa ini banyak orang memiliki berbagai benda duniawi. Benda itu sesungguhnya sarana hidup, bukan untuk menajamkan tujuan hidup dalam mencapai catur purusa artha.

Jika pemilikan benda-benda duniawi itu hanya untuk mengangkat gengsi atau status sosial semata, itulah yang menimbulkan persaingan hidup dengan biaya tinggi. Persaingan hidup dengan biaya tinggi itu akan memunculkan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin tajam. Yang kaya akan semakin kaya. Sebaliknya yang miskin akan semakin miskin. Sebab, mereka yang sudah berkecukupan tidak akan pernah puas memiliki benda tersebut. Apalagi modenya terus diperbarui. Uang yang mereka miliki akan terus dianggarkan untuk mengejar benda-benda duniawi. Untuk berdana punia mereka akan merasa tidak mampu. Uangnya disiapkan untuk mengikuti mode. Tanpa itu mereka akan merasa ketinggalan zaman. Untuk mengikuti mode itu mereka tidak akan merasa terenyuh melihat sesamanya yang miskin, kekurangan makan, tidak mampu membayar obat, tidak mampu menyekolahkan anak, tidak mampu menyewa rumah dan sebagainya.

Oleh karena itu, banten pokok Tumpek Landep adalah sesayut pasupati. Kata ''pasu'' dalam bahasa Sansekerta artinya hewan. Sedangkan ''pati'' artinya menguasai atau raja. Sesayut artinya menuju yang semakin ''ayu'' atau perubahan dari yang kurang baik menuju yang lebih baik atau kerahayuan. Dengan demikian makna dari banten sesayut pasupati adalah untuk menguatkan kekuatan hidep kita agar mampu menguasai nafsu kebinatangan yang mungkin bisa bergejolak dalam diri. Pengadaan benda-benda sarana hidup itu jangan sampai digunakan berdasakan nafsu kebinatangan. Benda-benda itu akan berguna kalau diadakan berdasarkan hidep yang landep.

* I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net