Sabtu, 19 Desember 2015

Menumpuk Rezeki tak Benar

Mogham annam vindate apracetah
Satyam bravimi vadha it sa tsaya.
Naryamanam pusyati no sakhyam
Kevalagho bhavati kevaladi. 

(Rgveda X.117.6).

Maksudnya: Hanya orang tolol yang mencari kekayaan dengan cara berdosa. Tuhan menyatakan kebenaran bahwa jenis kekayaan ini adalah sungguh-sungguh kematian untuk dia. Dia yang tidak menolong sesamanya, dia yang makan sendirian akan menderita sendirian juga. 


Munculnya berita sekelompok warga negara memiliki rekening dengan jumlah uang yang tidak wajar, sungguh mengejutkan.  Secara hukum mereka itu belum bisa dikatakan bersalah, karena masih dalam penyelidikan. Meski demikian, kita akhirnya mengetahui bahwa di lautan kemiskinan ada juga segelintir warga negara yang kaya raya. Mereka itu bagaikan kedip-kedip bintang yang menyilaukan di atas lautan kemiskinan. Sepertinya mereka tidak peduli terhadap masyarakat yang serba kekurangan bahkan ada yang sampai menderita busung lapar.

Mencari rezeki dalam sistem kebudayaan disebut mata pencaharian. Mencari rezeki sebagai suatu sistem kebudayaan seharusnya didasarkan pada kesadaran budi. Tidak berdasarkan hawa nafsu semata. Mencari rezeki hanya dimotivasi oleh dorongan hawa nafsu akan merusak sistem kebudayaan itu sendiri khususnya sistem mata pencaharian.

Tinggi rendahnya kebudayaan suatu bangsa sangat ditentukan oleh cara bangsa itu mengembangkan sistem mata pencaharian. Kalau bangsa membenarkan atau setidak-tidaknya membiarkan ada sistem yang tidak layak seperti itu, berarti sudah menganut sistem mata pencaharian yang berbudaya rendah. Kalau ada warga negara yang memiliki kekayaan yang tidak jelas sumbernya namun dibiarkan oleh warganya, itu artinya mentoleransi orang berbuat demikian. Hal itu sebagai salah satu pertanda bahwa budaya bangsa masih rendah. Tindakan korupsi tidak semata kesalahan dari para koruptor. Hal itu terjadi karena lingkungannya tetap menghormati mereka yang mendapatkan perolehan secara tidak wajar. Bahkan, banyak orang yang merasa berbuat wajar kalau ia memberikan uang pelicin pada pejabat untuk memperlancar sesuatu urusan. Mereka tetap dihormati meskipun mereka tampil mewah secara tidak wajar.

Masyarakat tahu penampilan mewah itu dari rezeki yang diperoleh secara tidak wajar, bahkan tidak sah. Tetapi mereka tidak akan merasa rikuh, karena tetap merasa dihormati. Jika lingkungan sosial tidak mentoleransi, perilaku korupsi akan bisa dikurangi.

Seharusnya orang merasa malu kalau menampilkan kehidupan dengan rezeki tidak wajar, terlebih hidup di Bali. Masyarakat di Pulau Dewata juga sebaiknya tidak memberikan kedudukan terhormat pada mereka yang hidup mewah dengan sumber rezeki tidak jelas. Saya sendiri pernah menyaksikan oknum pejabat yang sembahyang di suatu tempat pemujaan. Mereka membawa uang yang cukup banyak sebagai pelengkap pemujaannya. Para penyelenggara pemujaan memberikan pelayanan yang ekstra eksekutif pada oknum pejabat tersebut. Memang tidak etis menanyakan sumber uang yang dibawa oleh umat sebagai sarana pelengkap pemujaannya itu. Apalagi dalam kondisi sosial yang sangat tidak memiliki kewaspadaan pada perilaku orang memiliki kekayaan tidak tidak wajar itu. Tentunya kita juga tidak boleh menyamaratakan setiap orang yang rela menyumbangkan kekayaannya untuk kepentingan sosial dan keagamaan sebagai rezeki yang tidak wajar. Yang wajib kita lakukan adalah bersikap waspada. Karena kalau membangun sarana keagamaan dari uang yang tidak benar akan menimbulkan vibrasi buruk dalam lingkungan sarana keagamaan tersebut. Perbuatan itu setidak-tidaknya dapat digolongkan mentoleransi orang yang mendapatkan rezeki secara tidak wajar. 

* I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net