Jumat, 25 Desember 2015

Menyatukan Kekuatan Rohani

Tingkahing guminira, kamalan tan pegat desa ika
amanggih gring, sasab marana, muwang tan pegat
gring agung makadi kerubuhan ratu, pangrurah, muwang
ring desa ika, pada cendek yusa enggal pejah.
Yan mangkana bayuhin ikang gumi lamakane rahayu, nyan pemayuhnia wenang ngusaba desa

(Kutipan Lontar Widhisastra)

Maksudnya: Keadaan negara (gumi) yang tidak henti-hentinya kena marabahaya seperti kena wabah penyakit, sasab dan merana (wabah penyakit manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan) dan tidak putus-putusnya kena wabah besar seperti rusaknya pemerintahan dan para pemimpin di daerah tersebut. Umurnya pendek-pendek. Kalau demikian, perbaiki (bayuhin) negaramu agar selamat dengan mengadakan ngusaba desa.


KUTIPAN Lontar Widhisastra tersebut menyatakan petunjuk tentang tata cara mengatasi keadaan negara yang ditimpa malapetaka. Lontar Widhisastra tersebut menyatakan agar melakukan ngusaba desa kalau negara sedang dalam keadaan kacau-balau. Keadaan yang kacau-balau itu seperti rusaknya sendi-sendi kehidupan agraris. Rusaknya pertanian dan perternakan serta keadaan pemerintahan yang tidak mampu mengendalikan kehidupan yang aman dan sejahtera.

Melakukan ngusaba desa tidak serta merta berani melakukan upacara besar-besaran yang serba kolosal. Dalam lontar tersebut dinyatakan bayuhin ikang gumi. Kata bayuhin berasal dari kata bayu yang artinya tenaga dalam hal ini maksudnya kuatkanlah keadaan di bumi ini. Bagaimana menguatkan gumi dengan melakukan ngusaba desa.

Secara tradisional ngusaba desa selalu diterjemahkan dengan upacara yadnya semata. Ke depan, ngusaba desa hendaknya dilakukan dengan seimbang. Di samping tetap dilakukan dengan upacara yadnya, hendaknya aspek susila dan tattwanya jangan dilupakan. Upacaranya menurut petunjuk Lontar Widhisastra tersebut dapat dipilih yang kecil, menengah dan besar. Dalam keadaan krisis seperti ini sebaiknya upacaranya diambil yang kecil saja. Yang perlu ditekankan adalah aspek susila dan tatwa-nya.

Ngusaba desa berasal dari kata ngusaba dan desa. Ngusaba artinya berkumpul untuk tujuan yang benar dan suci. Sedangkan kata desa berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya petunjuk hidup berdasarkan kerohanian. Sementara upadesa artinya pendidikan kerohanian dan hitopadesa artinya petunjuk hidup untuk mendapatkan kebahagiaan rohani.

Kebenaran dan kesucian itu dijadikan dasar menegakkan kehidupan individual dan sosial dalam daerah masing-masing. Kehidupan individual dan sosial yang ditopang oleh kebenaran dan kesucian itulah yang akan mencegah atau mengurangi  gering, sasab dan merana serta mencegah rusaknya pemerintahan dan kepemimpinan.

Jadi, ngusaba desa itu pada hakikatnya mempertemukan berbagai potensi spiritual di daerah untuk membangun kehidupan individu dan sosial yang berkualitas untuk mencegah berbagai marabaya seperti rusaknya kehidupan individu dan sosial.

Terjadinya berbagai bencana berasal dari perilaku negatif manusia baik secara individu maupun sosial. Ngusaba desa hendaknya dijadikan suatu momentum mempertemukan nilai-nilai kehidupan agraris dan industri dengan landasan rohani yang mendalam. Jangan nilai agraris dan industri itu dibuat berdikotomi. Nilai kebersamaan dalam kehidupan agraris hendaknya diterjemahkan dalam kehidupan untuk saling tolong, saling memahami dan tenggang rasa dalam berbagai aspek kehidupan. Sedangkan nilai individual dalam kehidupan industri hendaknya diterjemahkan sebagai pengembangan SDM yang profesional. SDM yang profesional itu akan siap bersaing secara sehat dalam mengejar produktivitas yang semakin berkualitas.

Jadi, ngusaba desa itu jangan hanya diterjemahkan dalam pengertian untuk masyarakat yang murni agraris. Nilai-nilai yang dikandung dalam ngusaba desa itu adalah nilai yang universal. Artinya, dapat diterapkan juga dalam kehidupan modern. Karena ngusaba desa itu dalam wujud upacara selalu didahului dengan berkumpulnya pralingga Ida Batara di Pura Desa seperti melasti saat menyambut tawur kasanga. Ini melambangkan bahwa untuk merehabilitasi keadaan yang kena marabahaya itu kuatkanlah terlebih dahulu keyakinan kita pada kemahakuasaan Tuhan. Karena melasti itu dinyatakan dalam Lontar Aji Swamandala ngiring prawatek Dewata. Artinya, kesiapan secara mental dan fisik untuk patuh pada tuntunan Tuhan melalui Dewa-dewa manifestasi-Nya.

Sikap ngiring ini tidak saja dalam wujud ritual tetapi benar-benar dijalankan dengan mematuhi ajaran Weda dan sastranya. Karena kepatuhan dalam wujud ritual itu baru dalam tataran formal semata. Kalau dalam ngusaba desa berhasil kita menyatukan semangat rohani maka berbagai kemelut dalam kehidupan ini dapat diatasi secara bertahap. 

* Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net