Selasa, 29 Desember 2015

Perlu Keberanian dan Ketegasan

Yadi na pranayedraja dandam
dandayesva tandritah
cule matsyaniva paksyan
durbalan balavatarah.

(Manawa Dharmasastra VII, 20) 

Maksudnya: Bila penguasa tidak menghukum mereka yang patut dihukum, maka yang kuat akan melalap yang lemah, seperti ikan dalam tempayan. 


DALAM kehidupan umat Hindu di Bali, di samping ada adat-istiadat yang sangat mulia dan luhur ada juga tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu dan hukum negara yang berlaku. Misalnya, judi sabungan ayam dan mabuk-mabukan saat upacara keagamaan. Hal itu jelas sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu dan hukum negara yang berlaku. Adat-istiadat yang mulia dan luhur wajib kita pelihara serta ditumbuhkembangkan untuk memuliakan umat menuju kehidupan yang semakin sejahtera dan bahagia.

Tradisi yang sesat meskipun sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun, wajib kita hilangkan tahap demi tahap. Menghilangkan tradisi yang sesat itu memang tidak mudah. Membutuhkan sikap yang tegas dan berani, baik melalui langkah-langkah yang persuasif dan edukatif maupun kuratif. Dalam memberantas tradisi yang sesat itu wajib kita ancungkan jempol langkah pihak kepolisian. Judi tajen diberantas dengan sikap yang tegas dan berani.

Dari tahun 1964 penulis ikuti pemberantasan judi tajen yang dilakukan oleh polisi bersama dengan pihak-puhak terkait. Pada awalnya dengan bekerja sama dengan lembaga keagamaan Hindu, lembaga adat dan pemuka masyarakat Bali, diupayakan  membedakan antara tabuh rah dan judi tajen. Tabuh rah dibenarkan oleh tradisi keagamaan Hindu, sedangkan yang dilarang adalah judi tajen tersebut.

Pemberantasan tajen saat itu memang kurang berhasil, sering kandas di tengah jalan. Oleh karena tajen sangat jelas melanggar ajaran agama dan hukum, maka pemberantasannya terus dilakukan meskipun kelihatannya mengalami pasang surut.

Dalam era reformasi ini tajen dan judi yang lain memang semakin marak dan sangat meresahkan masyarakat. Bahkan, sangat merusak citra Bali yang sering disebut Pulau Dewata. Sikap tegas dan berani memang sudah semakin dibutuhkan untuk melakukan upaya penegakan hukum karena langkah preventif tidak cukup berhasil.

Memang menegakkan kebenaran dan hukum ternyata tidak cukup hanya dengan pendekatan persuasif dan edukatif. Membersihkan adat-istiadat dari benalu adat-istiadat yang sesat memang dibutuhkan ketetapan hati untuk bertindak tegas dan berani. Pada zaman penjajahan Belanda dahulu pernah juga terjadi adat yang sangat feodal, umat Hindu tidak mendapatkan kebebasan untuk menentukan pandita dalam menyelesaikan upacara keagamaannya. Tahun 1928, misalnya, Pan Siteb warga Pande dari sebuah desa di Mengwi melangsungkan upacara pengabenan dengan menggunakan Sri Mpu Pande dari Beng. Masyarakat mengugat warga Pande itu ke Raad Kerta Denpasar karena dianggap melanggar adat asisia-sisia karena menggunakan Sri Mpu dan amada-mada karena menggunakan bade tumpang pitu dan lembu cemeng. Raad Kerta menjatuhkan hukuman kepada Mpu Beng dan Pan Siteb dengan hukuman masing-masing setahun penjara melalui keputusan No. 116/Crimineel tertanggal 12 Oktober 1926. Sebulannya lagi ada warga Pande  mengadakan upacara pengabenan dengan menggunakan Sri Mpu Beng. Lagi-lagi hukuman itu mau dilaksanakan. Saat ini warga Pande mendapat pembelaan dari I Nengah Metra dengan naik banding ke Residen Bali dan Lombok di Singaraja. Warga Pande dimenangkan. Saat pengabenan dilaksanakan masyarakat menghalangi upacara pengabenan tersebut. Di jalan menuju ke kuburan dirintangi dengan kayu penghalang, pecahan botol, kaca, kayu canging, belatung berduri agar upacara pengabenan terhalang. Saat itu pemerintah bersikap tegas dan berani karena hal itu bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang tidak membeda-bedakan kedudukan pandita berdasarkan keturunannya. Pemerintah dengan aparatnya dengan kawalan polisi membersihkan jalan dari segala penghalang tersebut. Pengabenan warga Pande pun dapat berjalan lancar.

Pemerintah dalam menegakkan kebenaran apalagi dalam bentuk hukum positif wajiblah bersikap tegas dan berani. Janganlah aparat penegak hukum itu kalah dengan cara-cara suryak siu melalui penyalahgunaan kulkul bulus. Kalau sudah ada kepastian hukum pemerintah janganlah ragu-ragu menegakkan kebenaran hukum itu. Apalagi umat Hindu memiliki ajaran Mahabharata. Dalam ceritra Mahabharata, Pandawa memperoleh kemenangan meskipun hanya lima dan mengalahkan Korawa yang seratus. Meskipun Pandawa lima orang tetapi mereka benar, sedangkan Korawa yang seratus itu berada pada pihak yang salah dan jahat. 

* Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net