Kamis, 31 Desember 2015

Pura Agung Jagatnatha Denpasar, Tempat Pemujaan Tuhan sebagai Penguasa Jagat Raya

Salah satu pura kahyangan jagat yang berdiri di pusat Kota Denpasar adalah Pura Agung Jagatnatha, tempat pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Jagat Natha --Penguasa Jagat Raya. Kata natha dalam bahasa Sansekerta di samping berarti raja, juga pertolongan atau perlindungan. Bagaimana sejarah berdirinya pura ini? 

PURA Agung Jaganatha terletak di Jalan Mayor Wisnu Denpasar. Tepatnya berada di sebelah utara Museum Bali dan di sebelah timur Lapangan Umum Puputan Badung. Pura Agung Jagatnatha didirikan menghadap ke barat sebagaimana umumnya pura-pura di Bali. Mengingat letaknya yang amat strategis, umat dengan mudah menemukan lokasi pura tersebut. Dengan bangunan pelinggih Padmasana yang menjulang tinggi, umat dengan mudah mengenali kekhasannya.

Pemangku Pura Agung Jagatnatha Ida Bagus Mangku Widianegara asal Gria Panti Denpasar mengatakan piodalan di pura ini berlangsung setiap tahun sekali tepatnya pada Purnama Sasih Kelima. Tahun 2005 ini pujawali jatuh pada Rabu (16/11) lalu.  Upakara yang diaturkan dalam pujawali umumnya nyatur rebah dan di penataran Padmasana digelar caru rsi gana. Pelaksanaan pujawali dibiayai Pemerintah Kota Denpasar, sebagai pengempon pura. Sebelum Kota Denpasar, lanjut Ida Bagus Widianegara, pengempon pura ini dulunya Pemerintah Propinsi Bali.

Selain saat piodalan, umat pedek tanggil ke Pura Agung Jagatnatha setiap Purnama-Tilem. Umat juga melakukan persembahyangan saat hari-hari besar keagamaan seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi dan Siwaratri. Setiap Purnama-Tilem, persembahyangan di-puput Ida Pedanda Istri Manuaba Mas Sidanta dari Gria Panti. Sedangkan pada saat pujawali (nyejer selama tiga hari), di-puput oleh sejumlah sulinggih yang ada di Denpasar dan sekitarnya. 

Pelinggih 

Di pura ini terdapat sebuah pelinggih Padmasana yang menjulang tinggi -- tingginya mencapai sekitar 15 meter. Di puncak Padmasana terdapat gambar Acintya yang dulunya dilapisi emas. Namun, sayang emas itu sempat diambil oleh pencuri sekitar tahun 1981. Sekarang gambar Acintya itu hanya dilapisi prada. Pelinggih Padmasana itu berdiri di tengah-tengah, dikelilingi kolam. Kolam yang ditumbuhi pohon teratai itu dihuni ribuan ikan.

Di samping Padmasana, di pura itu terdapat dua pelinggih tajuk berdiri di kiri-kanan, depan Padmasana. Sementara pelinggih Ratu Niang berdiri di timur laut. Di situ juga ada pelinggih Dalem Karang dan pelinggih Ratu Made. Di dekat pelinggih Ratu Niang tumbuh pohon bodi. Seperti umumnya  Pura-pura yang lain, di situ juga terdapat bale kulkul, pamiyosan, bale paselang, bale gong, candi bentar, dan kori agung (pemedal agung). Di luar pura terdapat dua buah pelinggih Panglurah.

Pemangku pertama di pura ini bernama Ida Bagus Meregeg (Ida Pedanda Gede Sidanta Manuaba). Kemudian digantikan Ida Bagus Mangku Sena.  

Rektor Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Prof. Ida Bagus Gunada yang sempat menjadi Ketua Panitia Pelaksana Karya Ngenteg Linggih Pura Agung Jagatnatha tahun 1978 mengatakan, pura ini didirikan sebagai tempat umat di Kota Denpasar dan sekitarnya melakukan persembahyangan. Yang dipuja di pura ini adalah Tuhan -- Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Penguasa Jagat Raya. Selain sebagai tempat persembahyangan, pura ini kerap dipakai untuk melakukan kegiatan pendidikan bernuansa keagamaan oleh sejumlah yayasan Hindu. Setiap Purnama-Tilem, umat Hindu terutama generasi muda membanjiri pura ini guna melakukan persembahyangan. (lun)

Sejarah Berdirinya Pura Jagatnatha  

SEPERTI halnya Pura-pura yang lain, pendirian Pura Jagatnatha juga memiliki latar belakang sejarah. Pendirian pura ini merupakan realisasi keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dalam pasamuhan Parisada Dharma Hindu Bali, 20 November 1961 di Campuan Ubud, Gianyar.

Parisadha Dharma Hindu Bali sejak tahun 1968 secara resmi menjadi Parisada Hindu Dharma, yakni majelis tertinggi umat Hindu Indonesia yang pusatnya di Denpasar.

Salah satu dari keputusan tersebut antara lain membangun pusat kegiatan pendidikan keagamaan untuk membina dan mengembangkan kehidupan agama Hindu di Bali. Di samping itu, untuk membendung segala sesuatu yang merongrong sendi-sendi kehidupan keagamaan umat Hindu.

Maka Pura Jagatnatha pun didirikan di ibu kota Propinsi Bali. Pura ini diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat persembahyangan umum dan untuk mewujudkan rasa bakti umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi di Kota Denpasar dan sekitarnya.

Pembangunan pura ini tak terlepas dari prakarsa almarhum Kapten TNI I Gusti Ngurah Pindha, B.A. (Kodam XVI/Udayana) bersama-sama dengan Kepala Jawatan Rohani Hindu Daerah Militer (Kerohindam) XVI/Udayana Letnan TNI (Tituler) Ida Pedanda Gede Wayan Sidemen (alm) dan Letnan TNI I Wayan Merta Suteja -- yang sama-sama dari Kodam XVI/Udayana.

Pemrakarsa menyampaikan rencana pembangunan pura ini kepada  Panglima Daerah Militer (Pangdam) XVI/Udayana yang waktu itu dijabat Kolonel TNI Soepardi.

Pada 16 Januari 1963 dibentuk dan dilantik panitia pembangunan pura yang diketuai Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dibantu oleh beberapa orang ketua, sekretaris, bendahara serta dilengkapi dengan seksi-seksi.

Dalam rapat panitia tanggal 5 Februari 1963 yang juga dihadiri Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja disetujui dan diputuskan pura yang akan dibangun secara resmi itu bernama Pura Agung Jagatnatha.

Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 1965 panitia minta kesediaan Anak Agung Ketut Anggara dari Banjar Belong, Denpasar untuk membuatkan gambar bangunan dan sekaligus memimpin para undagi (ahli bangunan) untuk mengerjakan pembangunan pura tersebut.

Oleh karena terjadinya G-30-S/PKI, proses pengerjaan pembangunan pura tersebut sempat terhambat. Pada 28 Juli 1967 dasar bangunan Padmasana berupa Bedawang Nala dapat diselesaikan. Selanjutnya 15 Oktober 1967 pembangunan Padmasana sudah sampai pada bagian madya atau tengah.

Pada 13 Desember 1968 seluruh bangunan Padmasana sudah dapat diselesaikan. Pada 5 Februari 1968 pembangunan candi bentar sudah rampung dibuat. Pada tanggal 13 Mei 1968, tepatnya pada Purnama Jyestha, diadakan upacara pemelaspas alit untuk dapat dilangsungkan Piodalan Alit yang pertama kalinya.

Sampai Januari 1970 telah dapat diselesaikan pembangunan candi bentar dan seluruh tembok di sekeliling pura. Pada tanggal 21 Mei 1970 bertepatan dengan Purnama Jyestha diadakan juga Piodalan Alit yang kedua kalinya.

Selanjutnya dari tanggal 17 Agustus 1970 sampai November 1970 dapat diselesaikan antara lain kori agung dua (2) buah, bale pelik sari atau bale pengaruman dan sebuah bale kulkul.

 Biaya pembangunan pura ini seluruhnya berasal dari dana punia. Demikian juga tukang (undagi) bekerja berdasarkan sistem gotong royong. Mereka itu berasal dari Denpasar, Silakarang Gianyar dan sebagainya. Sedangkan tenaga kerjanya berasal dari banjar-banjar yang ada di Kota Denpasar. 

(lun/dari berbagai sumber)
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net