Jumat, 01 Januari 2016

Sejarah Bali : Zaman Pra-Sejarah

Untuk memahami keunikan Bali memang tidak bisa dilepaskan dengan tapak-tapak sejarah perkembangan Bali dari masa ke masa. Sejarah Bali menjadi begitu unik dan khas karena didukung oleh sikap warganya yang memberikan perhatian khusus terhadap peninggalan leluhurnya. Kepercayaan terhadap leluhur menjadikan perhatian terhadap peninggalan sejarah begitu tinggi di Bali. Bahkan begitu banyak peninggalan sejarah itu diberlakukan sebagai benda keramat yang tidak boleh diperlakukan tidak semestinya. 

Dalam pengungkapan sejarah Bali, kami juga memaparkan kondisi Bali di zaman Pra Sejarah, kemudian berlanjut ke zaman Bali Mula, zaman Bali Aga, dan zaman Bali Modern. Dengan pemaparan ini tentu akan bisa dipahami kondisi Bali secara lebih utuh. Bahkan untuk lebih memahami sejarah Bali secara mitologi, kami juga mencoba memaparkan beberapa cerita rakyat yang memang ada kaitan dengan sejarah sebuah tempat atau
peristiwa yang pernah ada di Bali.

Masa Prasejarah

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali. Yang ditandai
oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun
pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat
kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa
itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam
kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga
sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa
Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali
semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh
seorang naturalis bernama G.E Rumphius, pada tahun 1705 yang dimuat dalam
bukunya "Amboinsche Reteitkamer". Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan
di Bali adalah W.O.J Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai
seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan
beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, desa Trunyan, Pura Bukit
Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun
1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa
Manuaba desa Tegallalang.

Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. Van Heekeren dengan hasil
tulisan yang berjudul "Sarcopagus on Bali" tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli
prasejarah putra Indonesia Drs. R.P Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan
secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi
pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan
nelayan dari zaman perundagian di Bali.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan
masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi
:
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3. Masa bercocok tanam
4. Masa perundagian
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang

dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur),
dan ditepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang
digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu
yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di
Bedahulu Gianyar.

Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya
tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat
ketempat lainnya. Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung
persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas
berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang
cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan
hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya
mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan
bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat
bertutur satu sama lainnya.

Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang
ditemukan didaerah Pacitan dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli
memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai
banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis
manusia. Phitekanthropus Erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga
alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithekanthropus atau
keturunannya.

Masa Berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut

Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh.
Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan
terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti
mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun
1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di Pegunungan gamping di
semenanjung Benoa. Didaerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah goa Karang
Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah
berlangsung disana.Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari
alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Diantara alat-alat
tulang terdapat beberapa lencipan "muduk" yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang
kedua ujungnya diruncingkan.

Alat-alat semacam ini ditemukan pula di goa-goa Sulawesi Selatan pada tingkat
perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali
ditemukan lukisan dinding-dinding goa , yang menggambarkan kehidupan sosial
ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa
atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa,
burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya.
Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih
kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga diantaranya adalah lukisan kadal
seperti yang terdapat di pulau seram dan Irian Jaya, mungkin mengandung arti
kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala
suku.

Masa bercocok tanam

Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan
dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada
masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan
masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa

penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan
makanan (Food Gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (Food
Producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya
yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu
persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern
dan teori Von Heine Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia,
yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman
neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang
penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama
terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui
jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita.
Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan
gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang
kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa
Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang
terkenal pada masa ini. Pada masa in ididuga telah tumbuh perdagangan dengan
jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat
berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa
Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai
bahasa Austronesia.

Masa Perundagian

Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok
serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari
berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting
diantaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Jawa Barat), Puger (Jawa Timur),
Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak
jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk
dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongolaid yang
kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat
penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam
masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan
dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan
mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak
atau yang keras.Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang
dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).
Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian diantaranya
terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan
lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di
Anyer Jawa Barat, Sabang (Sulawesi Selatan), Selayar, Roti dan Melolo (Sumba). Di
luar Indonesia tradisi ini berkembang di Philipina, Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan
bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak
dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk
yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah
berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di
desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang
memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4
meter. Temuan lainnya ialah di desa Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai
desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di
desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga
dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk
megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Diantaranya ada berbentuk
teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan
susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang
terdapat di desa Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah
sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini
dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai
keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi
kehidupan kepada masyarakat.

sumber : www.baliaga.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net