Minggu, 03 Januari 2016

Sejarah Bali : Bali Pertengahan

Masa Samprangan.

Ekspedisi Gajah Mada Ke Bali

Setelah pemerintahan raja Sri Mahaguru tahun 1324-1328 M. Maka pemerintahan
dipegang oleh Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang disebut dalam
prasasti Patapan Langgahan tahun1337 M. Selain itu ada pula sebuah patung yang
disimpan di Pura Tegeh Koripan termasuk Desa Kintamani. Pada bagian belakang
patung itu ada tulisan yang sangat rusak keadaannya.

Baginda mengangkat seorang mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki
Pasunggrigis, yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja
Astasura bersemayam. Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa alias Kebo
Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh. Para menterinya di sebutkan Krian
Girikmana tinggal di Desa Loring Giri (Buleleng), Krian Ambiak tinggal di desa
Jimbaran, Krian Tunjung Tutur tinggal di desa Tenganan. Sedangkan Krian Buahan
tinggal di desa Batur, Krian Tunjung Biru di desa Tianyar, Krian Kopang tinggal di
desa Seraya dan Walungsari tinggal di desa Taro.

Sebelum Gajah Mada melakukan penyerangan ke Bali maka terlebih dahulu ia
berminat menyingkirkan Kebo Iwa sebagai orang yang kuat dan sakti di Bali. Jalan
yang ditempuh dengan tipu muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi
mengutus Gajah Mada ke Bali dengan membawa surat yang isinya seakan-akan raja
putri menginginkan persahabatan dengan raja Bedahulu.

Amangkubhumi Pasanggrigis menggantikan Kebo Iwa mengorganisir pasukannya
menentang Majapahit. Ketika diadakan rapat di Bedahulu membicarakan berita
kematian Kebo Iwa seluruh hadirin sepakat mempertahankan Bali dan tidak mau
tunduk kepada Majapahit. Setelah itu Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu
yang diperlukan untuk menyerang Bali. Terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada
tahun 1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata
pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima Arya
Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara
Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan.

Pengangkatan Dinasti Sri Kresna Kepakisan

Setelah jatuhnya kerajaan Bedahulu tahun 1334 maka terjadilah kekosongan
pimpinan di daerah Bali dan sering terjadi perselisihan antara orang-orang Bali-Aga
dengan pasukan Majapahit yang ditugaskan menjaga keamanan di Bali.
Satu-satunya orang yang masih disegani pada waktu itu adalah Patih Ulung tetapi
tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengatasi situasi yang tidak tentram di
Bali.

Terdorong oleh keinginan luhur untuk menjaga keutuhan Bali maka Patih Ulung
bersama dua orang keluarganya Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan
memberanikan diri menghadap ke Majapahit yang bertujuan mohon supaya diadakan
wakil raja di Bali yang mampu meredkan ketegangan di Bali.

Untuk lebih jelasnya asal-usul dari Sri Kresna Kepakisan maka di sini akan dijelaskan
silsilahnya sebagai berikut: diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu:
Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua
orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha
serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan
dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah
berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan
Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu
Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra. Akhirnya Mpu Panawasikan
berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang
yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan
diangkat menjadi raja di Bali.

Sri Kresna Kepakisan Diangkat menjadi raja di Bali pada tahun Caka 1274 (=yogan muni rwan ring bhuwana) atau tahun 1352 Masehi.
Namanya sering pula disebut: Dalem Wawu Rawuh. Dalem Tegal Besung. Pusat
Kerajaan terpilih Desa Samprangan. Karena ketika ekspedisi Gajah Mada desa
Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta
mengatur strategi untuk menyerang Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan
bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.

Menurut sumber tradisional di Bali diceritakan Airlangga seorang putra Bali keturunan
Warmadewa yang diangkat menjadi menantu oleh Raja Dharmawangsa di kerajaan
Daha di Jawa Timur. Airlangga mempunyai tiga orang putra yaitu seorang putri dan
dua orang laki-laki, masing-masing bernama Sri Jayabaya dan Sri Jayasabha.
Sedangkan Sri Jayasabha menurunkan Siarya Kadiri dan Sri Arya Kadiri berputra
Sirarya Kapakisan yang menyertai kepergian Dalem ke Bali.

Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan
pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur,
Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung,
Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas,
Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa
pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan
ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali.

Dalem Agra Samprangan

Sesuai dengan adat istiadat yang berlaku maka setelah Dalem Ktut Kresna
Kepakisan wafat, maka beliau digantikan oleh putranya yang sulung yaitu: Dalem
Agra Samprangan. Namun Baginda tidak sukses dalam mengendalikan roda
pemerintahan karana wataknya yang lamban dan gemar bersolek sehingga diberikan
julukan Dalem Ile. Akhirnya baginda kurang berwibawa di mata masyarakat.
Pada masa pemerintahan Dalem Agra Samprangan, para Arya pejabat-pejabat
mentri terdahulu kebanyakan telah lanjut usia, sehingga untuk menjabat kedudukan
sebagai mentri digantikan oleh para putra Arya itu masing-masing.

Para mentri semakin cemas akan kehancuran yang mengancam keutuhan kerajaan
Bali karena gejala perpecahan semakin menonjol,. Akhirnya Kyai Klapodnyana (Kyai
Kubaon Tubuh) bendesa Gelgel putra pertama Arya Kutawaringin, dengan tegas
mengambil keputusan untuk mencari I Dewa Ketut Ngulesir, hendak dinobatkan
menjadi raja, dengan penuh tanggung jawab dan segala resiko yang ditimbulkan.
Sebab I Dewa Tegal Besung masih kanak-kanak, belum pantas dinobatkan sebagai
kepala pemerintahan.

Setelah mengadakan musyawarah para Arya dan berikrar yang tempatnya di pura
Dalem Tugu (Gelgel) dan setelah mencapai kata sepakat, rombongan yang dipimpin
sendiri oleh Kyai Klapodnyana berangkat mencari I Dewa Ktut Ngulesir. Kemudian
rombongan tiba di desa Pandak (Tabanan), di mana I Dewa Ketut Ngulesir didapati
sedang berada di tempat judian. Tanpa ragu-ragu dengan sangat sopan dan hormat,
serta dilandasi dengan ketulusan hati yang mendalam, memohon perkenan I Dewa
Ketut Ngulesir untuk kembali ke Istana menduduki singgasana kerajaan, supaya
kerajaan Bali terhindar dari malapetaka kehancuran, sebab tidak ada pilihan lain lagi.
Dalem Agra Samprangan setelah menerima hal itu, tidak menghiraukan
kedudukannya I Dewa Ktut Ngulesir di Gelgel, demikian pula sebaliknya Dalem Ktut
tidak durhaka atas kekuasaan Dalem Samprangan. Jadi seolah-olah dua kerajaan
kembar yang saling menghormati, sampai saat wafatnya Dalem Agra Samprangan,
yang berarti berakhirnya kerajaan Samprangan dan menjadi besarnya kerajaan
Gelgel.


Aspek Sosial Budaya

a. Struktur Pemerintahan

Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya
dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai
awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit
termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang
menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal
ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali
Kuno.

b. Sistem Kepemimpinan

Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik
tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan
pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat
raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum
menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja
dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja.
Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama
disebut dengan nama Pahem Narendra.

Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas
menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma
Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring
Kasogatan untuk urusan agama Budha.

c. Kehidupan beragama

Mengenai kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu
banyak diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu
kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai
akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut
masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam
upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting.
Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong
lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama
Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha.

Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep
ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi:
Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke
dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga,
yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana
Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi
beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni
Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.

d. Bidang Kesenian dan Kesusastraan

Kehidupan seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan
perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat
Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada
jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan. Demikian pula tontonan wayang
telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parbwayang. Seni tabuh telah pula
dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang
kendang, peniup seruling dan lain- lainnya.

Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab
kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga
mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab
kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan
Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.


Masa Gelgel

1. Munculnya kerajaan Gelgel

Gelgel adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten daerah tingkat II
Klungkung. Dari Desa Samprangan, jaraknya tidak begitu jauh, hanya 17 km menuju
jurusan Timur. Letaknya tidak begitu jauh dari pantai Selatan Bali dan di sebelah
Timur mengalir Kali Unda yang airnya bersumber dari lereng Gunung Agung yaitu
mata air yang bernama Telaga Waja.

Ada tiga hal yang dapat diamati pada proses perpindahan dari ibu kota dari
Samprangan ke Sweca pura (Gelgel). Pertama, proses perpindahan tersebut berjalan
secara lancar dan Agra Samprangan menerima kenyataan bahwa ia tidak mendapat
dukungan lagi dari pembesar kerajaan. Kedua, perpindahan pusat pemerintahan ini
lebih banyak dipertimbangkan atas dasar kebijaksanaan dalam bidang politik. Ketiga,
ada kemungkinan juga dipertimbangkan latar belakang komunikasi dan transportasi.

2. Pemerintahan Raja-Raja Gelgel

a. Dalem Ktut Ngulesir
Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih
kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati
selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas
sangat tampan ibarat Sanghyang Semara, serta memerintah dengan
bijaksana dan selalu berpegang pada Asta Brata.

Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi
penghargaan kepada orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan
menghukum mereka yang berbuat salah. Baginda menganugrahkan
suatu predikat tanda penghargaan wangsa "Sanghyang" dengan sebutan
"Sang" kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka bermukim
dahulu.

Pada masa pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan
upacara Cradha dan rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir
beserta semua raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan tata
kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta
masyarakat yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya
Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).

b. Dalem Batur Enggong

Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar
Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang
stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para
mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.
Dalem dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam
bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman
keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa
pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai
suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan
berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti
Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil,
bijaksana.

c. Dalem Bekung

Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang
berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun,
yang selanjutnya di sebut Dalem Bekung. Karena umurnya belum
dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih
Agung. Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I
Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan, I Dewa Anggungan dan I Dewa Bangli.
Kelima orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu
Dalem Waturenggong.

d. Dalem Sagening

Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M.
Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan,
dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani,
berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel
pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra
pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan
kedudukan Demung.

Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah
tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :

1. I Dewa Anom Pemahyun,
ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada
tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan
batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan
batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.

2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis)
beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori
dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa
beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.

3. Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di
tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh
keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang
kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.

e. Dalem Anom Pemahyun

Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom
Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom
Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan
pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian
para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.

f. Dalem Dimade

Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I
Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar
Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam
mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai
Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita
tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung.
Sebagai demung di angkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung
adalah Kryan Bebelod.

g. Kryan Agung Maruti

Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal
kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade
meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang
oleh Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi
merupakan kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali
mengalami perpecahan di antara para pemimpin, kemudian mucul
kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, sehingga daerah kekuasaan
Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan Gelgel yang
dahulu.

3. Aspek Sosial Budaya

a. Struktur Pemerintahan

Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan
yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau
tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya
diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau
dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat
diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem
pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di
dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja
dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah
keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan
Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang
pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.

b. Sistem Kepemimpinan

Golongan ksatria memegang pimpinan di dalam pemerintahan. Hak
golongan ksatria ini untuk memegang pemerintahan dianggap sebagai
karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan keterangan golongan
ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka hanya memerintah,
mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang jabatan di
bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan kerajaan
Bali kuna. Secara turun temurun mereka memakai gelar "I Gusti" atau
"Arya" seperti Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung Widia,
I Gusti Agung Kaler Pranawa dan lain-lain.

Untuk mengatur dan mengendalikan segala kelakuan dan kehidupan
masyarakat di perlukan adanya hukum. dalam masyarakat Majapahit
berlaku hukum tertulis dalam sebuah buku yang bernama Manawa
Dharma Sastra sedangkan di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang
Agama.

c. Kehidupan Beragama

Pengaruh agama Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali sangat besar.
Hampir semua aspek kehidupannya di pancari oleh ajaran-ajaran agama
Hindu sehingga kehidupan masyarakatnya dapat dikatakan bersifat
keagamaan atau sosial religious.

Kepercayaan agama Hindu yang terpenting adalah kepercayaan yang
disebut Sradha (lima keyakinan pokok) yang mencakup : 1. Percaya akan
adanya satu Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa,
dalam bentuk konsep Tri Murti. Tri Murti mempunyai tiga wujud atau
manifestasi ialah : Brahma yang menciptakan, Wisnu memelihara dan
Siwa mempralina. 2. Percaya terhadap konsep atman (roh abadi). 3.
Percaya terhadap punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa). 4. Percaya
terhadap hukum karmaphala (adanya buah dari setiap perbuatan). 5.
Percaya akan adanya moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran
kembali).

Pengaruh kepercayaan dalam masyarakat juga amat besar. Salah satu
wujud dari pengaruh ini tampak dalam konsepsi dan aktifitas upacara
yang muncul dalam frekwensi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat
Bali, baik upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun
oleh komunitas. Keseluruhan jenis upacara di Bali digongkan ke dalam
lima macam yang disebut Panca yadnya, yaitu : 1. Dewa Yadnya,
merupakan upacara-upacara pada putra maupun Pura Keluarga, yang
ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi Hyang Widhi. 2. Rsi
Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan orang-orang suci yang
berjasa dalam pembinaan agama Hindu. 3. Pitra Yadnya, merupakan
upacara yang di tujukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara
kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur. 4. Bhuta Yadnya,
meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar
manusia yang dapat mengganggu. 5. Manusa Yadnya, meliputi upacara
daur hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa.

d. Bidang Pendidikan, Kesenian, Kesusastraan.

Pendidikan ketika ini mempunyai corak yang sesuai dengan masyarakat
tradisional. Pendidikan dilakukan oleh golongan elite atau inisiatif pribadi.
Pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah pendidikan keagamaan
dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kerajaan. Orang-orang
yang memberikan pendidikan terdiri dari orang-orang Brahmana.

Orang-orang yang memberikan pelajaran disebut Sang Guru. Orang yang
belajar di sebut "sisya". Dalam proses belajar di sebut "aguru" sedangkan
proses memberikan pelajaran di sebut "asisia". Sebagai seorang sisya
harus mentaati peraturan-peraturan yang ketat.

Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit (1523 M) banyak warganya
mengungsi ke Bali dengan memindahkan segala yang dapat di bawa,
termasuk seni dan budaya dengan seni tarinya. Kemudian seni tari ini
berkembang dengan suburnya terutama zaman keemasan pemerintahan
Dalem Batur Enggong (1460-1550). Hal in disebabkan raja menaruh
perhatian besar dan memberikan pengayoman terhadap perkembangan
kesenian khususnya seni tari di samping pemerintahan yang aman dan
tentram.

Dalam masa Pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali, naskah-naskah
lontar banyak di bawa dari Jawa ke Bali. Kalau kiranya yang demikian
tidak terjadi, maka tidak akan banyak lagi yang tinggal dari kesusastraan
Jawa Kuna. Kebanyakan naskah lama kedapatan di Bali karena di Jawa
naskah Kuna kurang mendapat perhatian lagi karena masuknya Islam.
Setelah Dalem Batur Enggong wafat digantikan oleh Dalem Sagening dari
tahun 1380-1665 M. Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di
mana tahun 1582 mengarang : 1. Amurwatembang, 2. Rangga Wuni, 3.
Amerthamasa, 4. Gigateken, 5. Patal, 6. Sahawaji, 7. Rarengtaman, 8.
Rarakedura, 9. Kebo Dungkul, 10. Tepas dan 11. Kakansen. Sedangkan
Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri
mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali
Sanghara.

Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :
Pura Purancak di Jembrana, Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh
Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan disana di simpan
potongan rambut Dang Hyang Dwijendra, Pura Pakendungandi desa
Braban Tabanan, disini di simpan keris beliau. Pura Sakti Mundeh dekat
desa Kaba-kaba Tabanan. Pura Petitenget di pantai laut dekat desa
Kerobokan (Badung) disini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) dan
Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di
tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang
widhi.


Masa Klungkung

1. Munculnya Kerajaan Klungkung

Dalam pendirian kerajaan Klungkung, maka desa Sidemen yang terletak di sebelah
timur kali Unda mempunyai peranan yang penting, karena di desa ini dilakukan
perundingan dan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh pejuang yang hendak
mengembalikan kekuasaan dinasti Kepakisan pada kedudukan yang sebenarnya.
Penyerangan terhadap Gelgel dilakukan dari tiga jurusan yaitu dari arah selatan kota
Gelgel oleh angkatan bersenjata Badung di bawah pimpinan panglima perang I Gusti
Nyoman Pemedilan atau terkenal dengan nama Kyai Jambe Pule. Dari jurusan barat
laut Gelgel dengan markas di desa Penasan Haji pasukan Buleleng dengan pimpinan
Ki Tamblang, dan dari arah utara di perkuat oleh pasukan Taman Bali. Sedangkan
pasukan Singarsa Sidemen yang berjumlah sangat besar menyerang dari arah timur
laut bermarkas di desa Sumpulan (Sampalan sekarang) di bawah pimpinan Dewa
Agung Jambe dan I Gusti Ngurah Sidemen, sedangkan Dewa Agung Jambe
bermarkas di desa Dawan dengan di kawal oleh laskar yang sangat kuat di bawah
pimpinan Kyai Paketan.

Keadaan kota Gelgel porak poranda dan semua bagian kota telah diduduki oleh
musuh, maka Kryan Agung Maruti meninggalkan kota Gelgel, menuju arah ke barat
ialah ke desa Jimbaran. Kemudian Dewa Agung Jambe memerintahkan Kyai Lurah
Tubuh untuk mengejar dengan pasukan untuk mengawasi Kryan Agung Maruti.
Setelah jatuhnya kekuasaan Kryan Agung Maruti, pada tahun 1704 M, maka mulailah
lembaran baru kerajaan Klungkung.

Atas nasehat dan prakarsa Gusti Ngurah Sidemen keraton di pindahkan ke desa
Klungkung. Nama keraton raja yang baru ini disebut Smarapura, dan dibuat
mengikuti pola keraton Majapahit. Diperkirakan ada beberapa sebab mengapa terjadi
perpindahan keraton, yaitu : 1. Keraton Gelgel mengalami kerusakan fisik baik karena
peristiwa pemberontakan tahun 1651, maupun karena perang yang mengakhiri
kekuasaan Gusti Agung Maruti. 2. Keraton Gelgel sudah dianggap tidak mempunyai
karisma lagi sebagai puast pemerintahan karena telah terjadi tiga kali pemberontakan
besar.

Alasan-alasan mengapa Klungkung dipilih sebagai pusat pemerintahan yang baru,
juga sulit di temui dalam sumber-sumber. Ada beberapa hal yang adapat di amati
dalam terpilihnya Klungkung sebagai ibukota kerajaan yaitu : 1. Desa Klungkung
secara geografis lebih tinggi dari Gelgel, dianggap lebih aman dari bahaya luapan
banjir dan lahar yang mengalir dari sungai Unda. 2. Jarak dengan bandar Jumpai dan
Klotok tidak begitu jauh.

2. Pemerintahan Raja -raja Klungkung.

Dewa Agung Jambe dinobatkan sebagai raja Klungkung yang pertama dengan gelar
Dewa Agung Putra. Pada penobatan ini gelar Dalem diganti dengan Dewa Agung.
Gelar ini dipakai oleh raja-raja Klungkung selanjutnya sampai pada masa Zelfbestuur
ciptaan Belanda. Sebagai pusat peradaban Bali, Klungkung masih tetap berperan.
Walaupun raja-raja Klungkung diakui sebagai susuhunan, namun pengakuan
tersebut terbatas pada hal-hal yang non politik dan ketatanegaraan, pengakuan ini
terutama pada hal-hal religius.

Deretan nama raja-raja yang memerintah pada masa periode berdirinya kerajaan
Klungkung adalah sebagai berikut :
1. Dewa Agung Jambe, raja Klungkung I
2. Dewa Agung Made, raja Klungkung II
3. Dewa Agung Di Madya, raja Klungkung III
4. Dewa Agung Sakti, raja Klungkung IV
5. Dewa Agung Putra Susamba, raja Klungkung V
6. Dewa Agung Putra Balemas, raja Klungkung VI
7. Dewa Agung Istri Kanya, raja Klungkung VII
8. Dewa Agung Ketut Agung, raja Klungkung VIII
9. Dewa Agung Jambe, raja Klungkung X
10. Dewa Agung Gde (Batara Dalem), raja Klungkung IX.


3. Sosial Budaya

a. Struktur Pemerintahan

Jatuhnya keraton Gelgel ketangan Gusti Agung Maruti sangat
mempengaruhi wilayah ketatanegaraan dan struktur kekuasaan pulau
Bali. Para punggawa sebagai kepala tidak mengakui penguasaan Gelgel.
Mereka kembali ke daerah masing-masing dan menyatakan diri merdeka
baik dalam maupun keluar. Bentuk pemerintahannya adalah kerajaan
yang diperintah oleh seorang raja sebagai penguasa tungal dan yang
dapat berlaku turun temurun (monarkhi absolut), Raja di dampingi oleh
dewan penasehat yang terdiri atas : bhagawanta (pendeta kerajaan) Siwa
Buddha, para walaka (calon pendeta) yang dianggap bijaksana dan
berwibawa, para bahudanda (pembesar kerajaan yang pada umumnya
diambil dari keluarga istana). Para bhagawanta memakai titel Ida
Pedanda sedangkan para walaka menggunakan nama sebutan Ida
Wayan, Ida Made, Ida Ketut. Para bahudanda memakai titelAnak Agung.
Di bawah raja terdapat mancanagara yang secara langsung mengemudikan pemerintahan sehari-hari, yang dipegang oleh keluarga
raja Klungkung secara turun temurun. Manca negara tersebut terdapat di
Klungkung, Gelgel, Samba, Akah, Satria dan Banjarangkan.

b. Sistem Pemerintahan

Didalam melaksanakan pemerintahan di seluruh wilayah kerajaan, raja
dibantu oleh pejabat pemerintah yang secara hirarkis menduduki fungsi
tertentu dalam birokrasi kerajaan. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
adalah raja. Untuk melaksanakan pemerintahan raja mengangkat
pegawai yang bertugas membantu raja baik yang pusat maupun di
daerah. Dengan demikian sistem birokrasi yang berbentuk vertical dimana
perintah-perintah raja dijalankan langsung melalui jenjang-jenjang pejabat
yang ada.

c. Kehidupan Beragama

Kehidupan beragama ketika ini berjalan dengan baik karena raja
memberikan pengayoman sepenuhnya terhadap kehidupan beragama.
Raja pada masa ini mempunyai tugas mengatur jalannya pemerintahan di
samping tugas keagamaan. Dalam melaksanakan tugas-tugas
keagamaan raja dibantu oleh bhagawanta (pendeta kerajaan).
Untuk tempat pemujaan kerajaan atau pura kerajaan Klungkung
dibuatkan Pura Penataran Agung dan ketika di Gelgel Pura kerajaannya
adalah Pura Dasar. Sedangkan sebagai tempat pemujaan jagat Bali
(daerah Bali) masih tetap di Pura Besakih. Pada setiap desa adat di Bali
lazimnya terdapat geriya tempat tinggal Pedanda (pendeta), yang
mempunyai tugas membimbing umat dalam masalah keagamaan dan
melaksanakan upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh
masyarakat. Hubungan antara seseorang anggota masyarakat dengan
pendetanya disebutkan hubungan antara Sesia atau peranakan dengan
Ciwa atau nabe. Hubungan sesia dengan Siwa demikian eratnya
sehingga seorang sesia tidak mau mencari Siwa yang lain karena
hubungan ini sudah berjalan secara historis dari semenjak leluhurnya,
sehingga menimbulkan pengelompokan masyarakat Bali berdasarkan
Siwa.

d. Bidang Pendidikan, Kesusastraan.

Perkembangan pendidikan pada zaman kerajaan Klungkung tidak begitu
banyak berbeda dengan masa kerajaan Gelgel. Pendidikan belum di
koordinir secara formal tetapi masih merupakan inisiatif perseorangan.
Pendidikan secara tradisional artinya seorang anak mendapat pendidikan
dengan mendatangkan seorang guru yang dianggap cukup
pengetahuannya atau mungkin pula si anak itu dititipkan pada seorang
guru. Pendidikan lebih ditekankan pada masalah-masalah keagamaan
seperti tatva, etika, kesusastraan dan lain-lain. Hubungan antara murid
(sisya) dengan guru pengajian berjalan dengan aturan-aturan yang
tertentu yang disebutkan dalam lontar putrasesana. Seorang sisya harus
mengikuti pelajaran-pelajaran dengan disiplin dan sopan santun. Apabila
seorang murid melanggar ketentuan-ketentuan dalam berguru ini disebut
alpaka guru.

Tetapi pada zaman Klungkung muncul karangan berbentuk kidung dan
sekar mecapat, biasa disebut gaguritan, paparikan dan gagendingan,
yang memakai bahasa Bali umum (alus singgih), alus madia. Sedangkan
kidung biasa memakai bahasa kawi Tengahan bercampur bahasa Bali
kepara. Hasil karangan ketika ini disesuaikan dengan kekhasan alam Bali
misalnya : gaguritan Jayaprana, Basur, Bungkling, Sewagati dan lain-lain.
Jumlah gaguritan yang tercatat ± 180 macam, diantaranya ada juga
apus-apusan (gubahan) dari kekawin Mahabharata dan lain-lain.

sumber : www.baliaga.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net