Sabtu, 02 Januari 2016

Sejarah Bali : Masa Bali Kuna

Penyelenggaraan hidup dalam masyarakat

1. Pemenuhan kebutuhan hidup Sebagai kelanjutan dari masyarakat zaman
prasejarah, masyarakat pada zaman Bali kuna juga hidup dari bercocok tanam
dan berburu. Penjelasan ini dapat kita peroleh dari sumber-sumber prasasti yang
antara lain menyebut mmal(kebon), sawah, parlak (sawah kering), kebwan atau kabon (kebun), huma/uma (sawah basah), kasuwakan (sistem persubakan).

Tanah persawahannya pun telah dirawat dan diolah dengan baik. Dalam prasasti
yang tersimpan di desa Tengkulak yang dikeluarkan oleh Raja Marakata misalnya
disebutkan sederetan istilah yang berhubungan dengan cara pengolahan atau
penanaman padi seperti : amabaki, amaluku, atanem, amantun, ahani, anutu.
Amabaki atau ambabaki berarti membuka sebidang tanah untuk tanah
persawahan, selanjutnya tanah persawahan itu dibajak (mluku) sehingga dapat
ditanami padi. Istilah yang dipergunakan untuk itu ialah atanem. Setelah padinya
tumbuh dengan baik, perlu dirawat antara lain dengan menyiangi (amantun)
sehingga padi itu tidak kebanyakan air dan dapat tumbuh dengan subur.
Selanjutnya dilakukan pemotongan padi dengan cara menuai (ahani) dan
menumbuk (anutu).

Jenis-jenis tanaman yang sudah dikenal pada masa lalu sumber-sumber prasasti
antara lain menyebutkan : padi, gaag, tirisan atau nyuh (kelapa), hano (enau),
kemiri, kapulaga, kasumbha, tals (keladi), pipakan (jahe), bawang merah, bawang
putih (kesuna), pucang (pinang), durryyan (durian), jerk (jeruk), hartak (kacang
hijau), camalagi (asam), kapas, kapir (kapok randu). Untuk menunjukkan
umbi-umbian dan buah-buahan yang bersifat umum (phala bungkah dan phala
gantung) dipergunakan istilah mulaphala (umbi-umbian) sarwa phala
(buah-buahan). Demikian pula beberapa jenis pepohonan karena menaungi
rumah, pondok (kebwan), harus ditebang demi kelestarian lingkungan. Jenis-jenis
pepohonan yang sering dianggap menganggu kelestarian lingkungan : pring,
hyamyah, buluh, ptung, waringin, bodhi, skar kuning, men atau mundeh.

Sebagai kelanjutan dari masyarakat zaman prasejarah, masyarakat pada masa
Bali kuna, rupa-rupanya masih tetap melakukan usaha perburuan. Jenis binatang
perburuan yang sering disebut-sebut ialah : culung atau celeng (babi hutan), ayam
alas (ayam hutan), besara (bekisar), daker, puruh (puyuh), pancayan, gajah, putir
(puteh), manuk (burung), kitiran (perkutut), wuru wuru (merpati) dan lain-lain.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan antara lain dalam rangka
memelihara kelestarian hutan dan memelihara cagar alam, pada masa dahulu ada
pejabat khusus yang tugasnya berhubungan dengan binatang perburuan, disebut
Nayakan Buru, Nayakan Manuk, Tuhanjawa. Pejabat yang disebut terakhir ini
mempunyai tugas khusus yaitu mengawasi binatang ternak bersayap.

2. Hubungan antar golongan Sebagai anggota kelompok dan anggota
masyarakat mereka mengadakan hubungan sesuai dengan fungsi dan
swadarmanya masing-masing. Kelompok pengrajin mengadakan hubungan
dengan alat-alat pengrajin, kelompok pertukangan akan mengadakan hubungan
dengan alat-alat pertukangan, kelompok petani hidup dengan alat-alat pertanian,
demikian seterusnya. Selain mengadakan hubungan dalam bentuk-bentuk usaha
swasta sebagai mahluk sosial mereka juga mengadakan hubungan dengan
sesamanya walaupun dalam arti yang sangat sederhana. Atau dengan perkataan lain, kita dapat mengatakan bahwa pada masa itu setidak-tidaknya terdapat
beberapa faktor yang mengakibatkan mereka berhubungan.

Pada masa pra Hindu, rupa-rupanya masyarakat hidup dalam suatu ikatan
kesatuan yang disebut wanua. Satu wanua dengan luas wilayah tertentu
merupakan satu kesatuan hukum di bawah pimpinan sanat, tuha-tuha, dan talaga.
Sanat artinya orang tuha sama seperti tuha-tuha dan talaga. Dalam beberapa
prasasti perunggu terdapat beberapa buah kata yang mengandung arti tuha
seperti : kiha, kumpi, sanat, tuha-tuha, talaga dan sebagainya. Didalam prasasti
Pura Kehen, terdapat kelompok Sarwwa Sanat di dalam prasasti Srokadan, saka
915 terdapat kelompok Sarwwa Talaga. Yang menarik perhatian didalam
kelompok ini selalu terdapat tiga jabatan fungsional yaitu : Dinganga, Nayakan
Makarun dan Manuratang Adna. Inilah pangkat-pangkat fungsional paling kuna
didalam sistem ketatanegaraan Bali kuna.

Berdasarkan pengamatan ada pendapat bahwa yang mengeluarkan prasasti itu
ialah suatu lembaga yang disebut lembaga Samohanda. Dapat diketahui bahwa
fungsi lembaga Samohada atau Potthagin itu ialah : 1. Membuat peraturan dan
memberi keputusan 2. Mengadakan hubungan keluar dan ke dalam. 3. Fungsi
spiritual dan material 4. Fungsi peradilan 5. Fungsi politional.

Dalam perkembangannya, timbul persaingan diantara wanua, yang diakibatkan
mungkin oleh karena kepentingan daerah perhutanan, pengairan, bangunan suci,
ataupun kepentingan-kepentingan lainnya yang melewati atau berada di daerah
wanua. Catatan tertulis tertua yang membahas Indonesia, berasal dari abad kedua
setelah masehi. Catatan itu terkandung didalam dua buku. Pertama ialah karya
seorang Yunani bernama Claudius Ptolemaeus yang tinggal di Alexandria Mesir.
Dalam bukunya yang berjudul geografi, ia menunjukkan bahwa orang-orang
Romawi dan Yunani pada masa itu biasa menjalankan hubungan dagang dengan
pelabuhan-pelabuhan di samudra India. Tetapi menurut catatan itu, perdagangan
tersebut hanya boleh dilakukan pada tempat-tempat tertentu saja, yang disebut
emperior (bandar) dan prosedur yang diikuti tidak didasarkan atas permintaan
penawaran tetapi atas dasar persetujuan politik antara orang-orang asing dan
pemimpin-pemimpin setempat.

Didalam buku geografi itu juga dijelaskan bahwa orang-orang Yunani sendiri tidak
langsung berlayar atau berkunjung ke Asia Tenggara tetapi hanya sampai di
pantai Koromandel (India Tenggara). Di wilayah ini dicatat beberapa nama-nama
tempat yang juga merupakan emperior : Kattigara, Tokala, Sabara, Chryse dan
lain-lain yang oleh beberapa orang sarjana dianggap terletak di sekitar selat
Malaka.

Perlu diketahui bahwa dalam sejarah Bali kuna, tidak semua raja memakai partikel
dewa. Sebelum pemerintahan Anak Wungsu belum dijumpai penyebutan bahwa raja adalah inkarnasi (penjelmaan) dari dewa di dalam prasasti. Rupa-rupanya
kebiasaan itu baru mulai muncul pada masa pemerintahan Anak Wungsu. Sistem
pemerintahan raja-raja Bali kuna bukan bersifat otoriter, sebagaimana sering
dibayangkan orang. Berdasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan,
pemerintahan theokrasi itu ditata berdasarkan sistem demokrasi paternalistis dan
bersifat sosial religious.

3.Pengaturan dalam masyarakat Dengan datangnya pengaruh India, hukum adat
tetap berlanjut sepanjang tidak bertentangan dengan kitab hukum Manusasana,
Manawa-sasana-dharma, Manawa Kamandaka, Raja Wacana, khususnya dengan
kitab Uttara-widdhi-balawan sebuah kitab sasana yang berasal dari India utara.
Yang telah ada sampai sekarang ialah kitab Manu Dharmasastra atau Manawa
Dharmasastra, sebuah compendium Hukum Hindu yang diterbitkan oleh Lembaga
Penterjemah Kitab Suci Weda. Pada masa ini kesenian dikenakan pajak, karena
pada waktu berlangsungnya pertunjukan mereka menerima upah. Dalam hal ini
perlu dicatat bahwa pada masa dahulu dikenal dua macam kesenian yaitu
kesenian untuk raja dan kesenian untuk rakyat. Perbedaan jenis kesenian ini juga
membawa akibat adanya perbedaan dalam pembayaran pajak.

B. Sistem Pemerintahan Dalam perkembangan sejarah selanjutnya maka untuk
menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi pada beberapa wanua mereka
mengangkat seorang penguasa tertinggi yang telah mampu menunjukkan
kekuasaan dan wewenangnya. Pengangkatan itu memerlukan suatu upacara
penobatan dan dilakukan oleh pemimpin agama. setelah menerima gelar
abhiseka, selanjutnya mereka itu memakai gelar ratu, sang ratu, raja, Maharaja,
Sri maharaja dan lain-lainnya.

1. Pertumbuhan dan perkembangan Apabila ditinjau dari cara pemerintahannya,
hubungan antara penguasa dengan rakyat nampaknya berlangsung secara tidak
resmi. Segala sesuatunya dijalankan atas dasar musyawarah mufakat
berdasarkan adat yang berlaku. Disamping itu mereka belum terbiasa dengan
pembagian kerja yang tegas karena itu sering seorang penguasa sekaligus
mempunyai beberapa kedudukan dan peranan, yang sama sekali sulit untuk
dipisah-pisahkan atau paling tidak, sulit untuk dibeda-bedakan.

Menurut Pitirim A. Sorokin sistem berlapis memang merupakan ciri yang tetap dan
umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Mengenai sistem pelapisan di
masyarakat itu, bukan hal yang baru. Bahkan pada zaman kuno dahulu, seorang
ahli filsafat Yunani yang kenamaan yaitu Aristoteles juga pernah mengatakan
bahwa di dalam tiap-tiap masyarakat atau negara terdapat tiga unsur, yaitu
mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat dan mereka berada
ditengah-tengahnya. Ucapan demikian itu setidaknya membuktikan bahwa di zaman dahulu itu dan juga pada zaman-zaman sebelumnya, orang telah mengakui
adanya pelapisan di masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat
dari bawah ke atas.

Berbicara mengenai sistem pemerintahan atau bagaimana pemerintahan di masa
Bali kuno, almarhum Dr. R. Goris pernah mengatakan bahwa dalam beberapa
bagian-bagian pemerintahan, umpamanya tata usaha, undang-undang kehakiman,
raja-raja disokong oleh suatu badan penasehat pusat. Badan penasehat itu boleh
dibandingkan dengan rad kerta yang pernah dikenal di Bali. Akan tetapi di zaman
kuno adalah hanya suatu badan penasehat pusat, yang haknya lebih besar dari
pada kekuasaan rad kerta yang sekarang. Badan penasehat pusat itu memakai
beberapa nama. Dalam prasasti yang kuno tersebut "Panglapuan, Samohanda,
Senapati di Panglapuan, Pasamaksa, Palapknan". Mulai dari tahun 1001 M (waktu
pemerintahan Udayana dan Gunapriya Dharmapatni) badan itu disebutkan
"Pakira-kiran i jro (makabaihan)". Badan itu beranggotakan : 1. Beberapa Senapati
2. Beberapa pendeta (pedanda) Siwa dan Buddha (mpungku). Sedangkan Badan
penasehat pusat terdiri dari : 1. Beberapa Senapati 2. Beberapa Samgat yang
kiranya juga disebut sebagai tanda rakyan; 3. Beberapa pemuka agama Siwa dan
Buddha.

Pemeriksaan terhadap prasasti-prasasti bertipe Yumu pakatahu seperti prasasti
Sukawana adalah prasasti Bebetin, prasasti Trunyan, prasasti Gobleg, prasasti
pura Kehen, memberikan petunjuk bahwa lembaga Potthagin itu mempunyai
fungsi : 1. Mengadakan hubungan dengan pihak luar dan dalam 2. Mempunyai
fungsi spiritual dan material 3. Membuat peraturan, memberikan keputusan 4.
Mempunyai fungsi peradilan 5. Mempunyai fungsi politional.

Fungsi lembaga Potthagin dan Somahanda seperti di atas kalau dibandingkan
dengan fungsi Shahbandar menurut hasil penelitian Purnadi Poerbatjaraka
nampaknya tidak jauh berbeda. Dikatakan demikian sebab Shahbandar
mempunyai fungsi : 1. Membentuk peraturan 2. Mempunyai kekuasaan mengadili
3. Mempunyai fungsi Administrasi 4. Mempunyai fungsi Politional.

2. Kepemimpinan Pengamatan atas sumber-sumber sejarah Indonesia Kuna
memberi petunjuk bahwa hampir sebagian besar raja-raja pada zaman Bali kuno
mengaku dirinya sebagai keturunan Wisnu. Misalnya raja Anak Wungsu mengaku
dirinya inkarnasi dewa hari (saksat mira harimurti). Hari sebenarnya adalah nama
lain dari dewa Wisnu. Walaupun demikian, ini tidak berarti bahwa pemujaan
kepada dewa-dewa Trimurti lainnya terutama Dewa Siwa, dilupakan pada masa
itu. Hal ini dapat diketahui karena hampir setiap prasasti yang dikeluarkan oleh
sang raja didalamnya terdapat ungkapan yang menyamakan atau mensejajarkan
kedudukan baginda dengan Dewa Harimurti, dimana Dewa Hari atau Wisnu pada
hakekatnya sama dengan Dharma.

Dharma menurut pengertiannya mempunyai makna yang sangat luas. Untuk
menyebut salah satu contoh, dharma merupakan landasan etis dan norma
kehidupan dalam agama Hindu. Dalam filsafat modern, dharma mengandung
pengertian yang dekat dengan humanisme. Menurut definisi Dr. R K Mukerjee,
dharma dan humanisme merupakan satu sistem yang integral tentang arti manusia
di dunia ini dalam rangka mewujudkan cita-citanya baik secara individu maupun
kologial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan dharma atau
kemanusiaan itu dimaksudkan ialah bagaimana manusia dapat untuk lebih
mendekatkan dirinya terhadap alam, baik yang mikro maupun alam makro.
Ajaran Panca Maha Butha menghendaki agar manusia secara sadar mau
berkorban yaitu memberikan sebagian haknya menurut kemampuan dan yang
sesuai menurut penerimaan. Kategori penerimaan inilah dalam ajaran itu yang
membedakan dalam lima macam yaitu : 1. Dewa yaitu para manifestasi mahluk
Tuhan 2. Resi yaitu orang-orang suci termasuk para pendeta sebagai pimpinan
agama 3. Pitara yaitu para leluhur termasuk roh mereka yang meninggal. 4. Athiti
yaitu mahluk sesama manusia 5. Bhuta yaitu semua mahluk Tuhan yang
tingkatnya lebih rendah dari manusia. Yang terpenting dalam hubungannya
dengan ajaran kemanusiaan di sini ialah pelaksanaan atithi yadnya yaitu
berkurban bagi sesama manusia, disamping berkurban kepada Tuhan dan alam
lingkungannya.

3. Pengaturan Bagaimana seorang pemimpin mengatur jalannya roda
pemerintahan, hal ini sekaligus akan mewarnai corak kepemimpinannya. Pada
masa pemerintahan raja-raja Bali kuna (abad 8-15) yang bersifat monarchi,
pemerintahan diatur menurut buku suci Weda Smrti. Bukti-bukti tentang ini,
berasal dari sumber-sumber prasasti yang ditulis pada batu (saila prasasti)
maupun perunggu (tambra prasasti). Pada masa pemerintahan Sri Maharaja Haji
Jayapangus dan juga dalam periode-periode selanjutnya, kitab hukum yang sering
disebut-sebut ialah kitab Manawasasanadharma, Manawakamandaka, Manawa
Kamandaka Sasanadharma.

4. Hubungan antar Bangsa Nekara Pejeng yang oleh masyarakat setempat sering
disebut 'bulan' Pejeng adalah sebuah nekara dari zaman perunggu.
Nekara-nekara semacam ini telah ditemukan dalam berbagai ragam pada
daerah-daerah yang luas sekali, dari Cina, Vietnam Utara (Dongson) sampai di
pulau-pulau dekat Irian Jaya. Sebaliknya benda-benda perunggu semacam itu
rupa-rupanya tidak pernah ditemukan di Philipina. Di Indonesia, benda-benda
perunggu pada zaman prasejarah, ditemukan di Sumatra, Jawa dan Nusa
Tenggara khususnya di Bali. Di daerah Nusa Tenggara Timur benda-benda nekara
itu ditemukan di Sangean (Sumbawa), Rote, Leti, Selayar, Kei, Alor, Timor dan
Sentasi di Irian Jaya (Koentjaraningrat, 1975 : 19).

Di kota-kota kuna, kota itu biasanya menjadi pusat kerajaan dan istana, pusat kompleks pemujaan atau pusat-pusat perdagangan yang terletak pada persilangan
lalu lintas perdagangan sungai, danau atau laut. Di kota semacam ini, kepandaian
membuat perunggu biasanya berdampingan dengan perkembangan peradaban
yang berdasarkan kepada masyarakat kota.

Dalam zaman sejarah, peninggalan-peninggalan arkeologis dalam bentuk seni
arca dan bangunan kuna di Bali, menunjukkan adanya hubungan dengan pihak
luar seperti India, Kamboja, Vietnam, Thailand dan lain-lain. Bahkan menurut
pendapat di kalangan para sarjana, seni arca dan seni bangunan kuna di Bali,
khususnya dalam periode Hindu Bali (abad 8-10) menunjukkan tanda-tanda
hubungan yang bersifat internasional. Artinya langgam seni arca pada masa itu
menunjukkan persamaannya dengan langgam seni arca yang berkembang di luar
seperti India dengan pusat sekolah seninya : Malanda, Sarnath, Pallawa dan
lain-lain.

Sumber : www.baliaga.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net