Senin, 04 Januari 2016

Sejarah Bali : Masa Bali Baru ( 1846 - Pelita IV)

Perlawanan Rakyat Bali Menentang Penjajahan Belanda

1. Intervensi Belanda terhadap

Pemerintahan Raja-raja Bali Akibat semakin intensifnya hubungan antara pemerintah Kolonial Belanda dengan raja-raja di Bali dalam abad XIX dan XX, hal ini mempunyai pengaruh yang cukup luas dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Proses hubungan itu menunjukkan suatu gejala yang bertentangan. Disatu pihak penguasa tradisional yaitu raja yang ingin mempertahankan nilai-nilai adatnya seperti hak tawan karang, sedang di pihak lain yaitu Belanda ingin menghapuskan hukum hak tawan karang itu dengan mengadakan perjanjian-perjanjia, karena hak tawan karang itu dianggap merugikan pihak Belanda.

Di Bali dikenal dua istilah mengenai terdamparnya sebuah kapal atau perahu di pantai yaitu
tawan karang dan melayar kampih. Tawan karang dalam pengertian ini dimaksudkan bahwa jika ada kapal atau perahu terdampar pada wilayah yang ada di muka pantai, ini berarti bahwa karang-karang ini termasuk daerah perairan kerajaan, oleh karena itu penumpang dan muatannya hanya bisa di tolong oleh rakyat pantai dari wilayah yang bersangkutan, sedangkan melayar kampih dimaksudkan apabila kapal atau perahu itu sudah terdampar pada  pasir pantai dimana penumpangnya dapat menolong dirinya tanpa bantuan dari rakyat pantai.

Peraturan lalu lintas laut yang pernah dikenakan pada salah satu utusan pemerintah Belanda yaitu komisaris tinggi Belanda Van den Broek dalam keterangannya tertanggal 16 Februari 1818, menjelaskan bahwa perahu yang dikirim dengan membawa muatan batas ke Buleleng terdampar di perairan Badung merampas seluruh isi muatan perahu tersebut.

2. Perlawanan rakyat Bali menentang Belanda

Akibat meluasnya politik intervensi kolonial Belanda pada sekitar pertengahan abad XIX dan XX sebagai realisasi dari intensifikasi politik mereka terhadap kerajaan-kerajaan di Bali,
dengan cara membuat suatu perjanjian pada tahun 1841, menyatakan agar semua kerajaan di Bali mau mengakui kedaulatan pemerintahannya dan mau bekerjasama dengan pemerintahan belanda. Pernyataan semacam ini telah menimbulkan sutau kegelisahan antara raja-raja di Bali, karena hak dan kekuasaannya yang mereka terima secara turun temurun mulai digoyahkan dan dipersempit.

Perlawanan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Bali dalam usaha untuk melawan
pemerintahan Belanda, telah terjadi secara beruntun yang diawali oleh perlawanan kerajaan
Buleleng di Bali utara pada tahun 1846, 1848 dan 1849. Pada tahun 1849 dalam bulan yang
berdekatan telah terjadi perlawanan di dua tempat, yaitu Jagaraga (wilayah kerajan Buleleng) pada bulan April 1849, dan di desa Kusamba (wilayah kerajaan Klungkung) pada bulan Mei 1849. Perlawanan berikutnya meletus di desa Banjar yang merupakan wilayah kerajaan Buleleng pada tahun 1868. Pada awal abad XX terjadi perlawanan-perlawanan oleh kerajaan di Bali selatan seperti kerajaan Badung pada bulan September 1906, dan terakhir adalah perlawanan yang dilakukan oleh kerajaan Klungkung dalam bulan April 1908 yang terkenal dengan sebutan Puputan Klungkung.


Perang Buleleng

Raja Buleleng dan Karangsem nampaknya telah sepakat secara bersama-sama untuk
menghadapi Belanda yang setiap saat telah berusaha untuk merongrong dan mengurangi
kekuasaan raja-raja Bali dengan mengikatnya melalui perjanjian-perjanjian. Atas persetujuan dan perintah Gubernur Generaal Rachusen, maka disiapkanlah sebuah ekspedisi penyerangan terhadap kerajaan Buleleng. Sebagai realisasinya, maka pada tahun 1846 sebuah ekspedisi bertolak dari Besuki menuju buleleng di bawah pimpinan Schout E.B van den Bosch yang didampingi oleh seorang pelaut J. Entlie, A. J de Sintvan den Broeek, serta pimpinan angkatan darat di bawah Letnan Kolonel J . Bakker
Jalannya Perlawanan Pada tanggal 23 Mei 1846, kapal "Bromo" telah mendarat di pelabuhan Buleleng. Salah seorang dari kapal itu mengutus seorang Cina yang pada waktu itu ia menjabat sebagai Syahbandar untuk menghadap raja Buleleng, dengan tugas menyampaikan perintah agar mau menerima perintah Belanda. Raja Buleleng beserta patihnya menolak, dan menyatakan tetap pada prinsipnya yang semula. Patih Gusti Ketut Jelantik mulai mempersiapkan laskarnya untuk setiap saat menghadapi serangan dari ekspedisi Belanda.

Pada tanggal 26 Mei 1846, raja Buleleng mengutus subandar Buleleng untuk menghadap
kepada pemerintah Belanda yang berada di kapal "Bromo", dengan membawa surat raja
Buleleng yang isinya meminta penangguhan waktu sepuluh hari karena raja Buleleng akan
mengadakan perundingan dengan raja Klungkung, saudaranya dari kerajaan Karangasem.
Dalam upaya untuk memperoleh waktu yang cukup banyak untuk menyusun kekuatan
kembali, maka raja Buleleng bersedia menandatangani perjanjian yang disodorkan oleh
pemerintah Belanda sebagai tanda kekalahan di pihak Buleleng. Perjanjian itu ditandatangani pada tangal 9 Juli 1846, baik oleh pihak raja Buleleng maupun dari pihak pemerintah Belanda sendiri.


Perang Jagaraga

Jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 28 Juni 1846, belumlah
berarti semangat dan jiwa kepahlawanan raja dan rakyat Buleleng telah memudar. Bersamaan dengan jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda, hal ini telah menyebabkan laskar Buleleng terdesak, dan atas desakan Patih Jelantik raja Buleleng telah mengambil keputusan untuk mengundurkan pasukannya ke Buleleng Timur memasuki desa Jagaraga serta menetapkan untuk menggunakan Jagaraga sebagai benteng konsolidasi kekuatan dan sebagai ibukota kerajaan yang baru.

Ada beberapa alternatif yang telah mendesak Patih Jelantik untuk mengambil keputusan.
Alternatif itu antara lain : Jelantik menyadari bahwa, konsolidasi persenjataan pasukannya
tidak seimbang dengan kekuatan persenjataan Belanda, sehingga akan sia-sia melanjutkan
pertempurannya. Untuk menghindari hal inilah akhirnya Patih Jelantik memerintahkan kepada sisa-sisa laskar dan rakyat yang masih setia terhadapnya untuk mengundurkan diri ke desa Jagaraga.

Sebab pokok yang menjadi dasar persengketaan Buleleng dengan Belanda adalah : karena
raja Buleleng tidak pernah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Rakyat Buleleng dengan terang-terangan telah menggagalkan pembangunan benteng di
Pabean.

Jalannya Perlawanan Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda mulai mengadakan serangan
terhadap daerah Jagaraga dengan menghujankan tembakan-tembakan meriam dari pantai
Sangsit. Bagi Belanda pantai Sangsit harus di kuasai dan dipertahankan sebab Sangsit
merupakan salah satu pantai yang masih bisa digunakan sebagai penghubung antara Bali
dengan Batavia. Di smaping itu penduduk Sangsit dengan mudah dapat dibina agar
membantu pemerintah Belanda. Dalam ekspedisi Belanda yang kedua ini, Belanda telah
mempersiapkan pasukannya secara matang. Dalam ekspedisi ini, pasukan militer Belanda
diangkut oleh kapal-kapal perang sebanyak 22 buah seperti : kapal perang Merapi, Agro,
Etna, Hekla, Anna, A.R. Falck, Ambonia dan Galen dan sebagainya. Masing-masing kapal
perang itu dilengkapi dengan persenjataan yang berupa meriam dan persenjataan lainnya.
Kekalahan Belanda dalam ekspedisinya yang pertama ke Bali benar-benar di luar dugaan
Belanda menjadi marah dengan diundurkannya serangan balasan pada tahun 1848. 

Seorang perwira Belanda bernama Rochussen menulis kepada Jenderal Van der Wijck, bahwa jika ia diharuskan menjabat terus pangkatnya yang sekarang, ia tidak mau beristirahat sebelum dapat memusnahkan Jagaraga.

Dengan gugurnya Patih Jelantik maka berhenti pulalah perlawanan Jagaraga terhadap
pasukan Belanda. Dalam serangan ini, dengan mengadakan pertempuran selama sehari,
Belanda telah berhasil memukul hancur pusat pertahanan dari laskar Jagaraga, sehingga
secara politis benteng Jagaraga secara keseluruhan telah jatuh ketangan pemerintah Kolonial Belanda pada tangal 19 April 1849, dengan jumlah korban di pihak Jagaraga kurang lebih ekitar 2200 orang, termasuk 38 orang pedanda dan pemangku, lebih 80 orang Gusti, serta 83 pemekel, sedang dipihak Belanda menderita korban sebanyak kurang lebih 264 orang serdadu bawahan maupun tingkat yang lebih tinggi.


Perang Kusamba

Setelah tentara Belanda berhasil menguasai Buleleng, serangan ditujukan terhadap
kerajaan-kerajaan yang ada di Bali selatan. Mayor Jendral Michiels setelah mendapat
persetujuan dari Batavia, memutuskan untuk melanjutkan agresinya ke kerajaan Klungkung
sebagai hukuman atas penyelewengan-penyelewengan terhadap apa yang telah dimuat
dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan pemerintah Belanda.

Pada tangal 24 Mei 1849 jam 5.30 pagi, Pasukan Belanda mulai bergerak menyerang
Kusamba melewati punggung bukit perbatasan kerajaan Klungkung dengan kerajaan
Karangasem. Pasukan Belanda didukung oleh lebih kuranng 790 serdadu darat dan laut,
ditambah lagi dengan pasukan pembantu dari Madura, kuli-kuli pengangkut, sehingga seluruh pasukan hampir berjumlah 1200 personil.

Jatuhnya Kusamba ketangan Belanda merupakan pukulan hebat bagi kerajaan Klungkung. Di tinjau dari sudut ekonomi jatuhnya Kusamba telah mengurangi pemasukan kas kerajaan.
Kerajaan Klungkung tidak dapat lagi bertindak bebas mengelola bandar Kusamba, seperti
waktu sebelumnya. Pemasukan bea cukai lewat bandar Kusamba, tidak sepenuhnya menjadi milik kerajaan karean Belanda sudah mulai ikut campur tangan dalam pengelolaannya.

Perang Kusamba telah mengakibatkan kemelaratan dan telah menanamkan dendam didalam hati rakyat dan raja Klungkung, sehingga menimbulkan semangat yang besar yang tercetus dalam perang Puputan Klungkung pada tahun 1908.


Perlawanan Banjar

Dengan jatuhnya benteng Jagaraga, maka secara politis kerajaan Buleleng telah berada di
tangan kekuasaan Belanda. Oleh karena itu administrasi dan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda cukup banyak mempengaruhi corak maupun sistem pemerintahan tradisionil yang telah ada, yang berarti pula bahwa proses birokrasi ala barat mulai di terapkan di Buleleng dengan menempatkan raja di bawah kekuasaannya. Dengan melaksanakan sistem pemerintahan secara tidak langsung (indirect rule), penguasa kolonial Belanda telah menempatkan diri di atas struktur pemerintah pribumi. Meskipun kerajaan Buleleng telah ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintah Belanda, tidaklah berarti bahwa rakyat Bali utara dan para pemimpinnya yang telah terkenal dengan namanya dalam perlawanan heroikterhadap agresi militer Belanda yang pertama, kedua dan ketiga dengan begitu saja memberhentikan perlawanannya terhadap Belanda. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada tahun 1858 I Nyoman Gempol seorang perbekel Banjar Jawa Buleleng mengumpulkan rakyat untuk melawan para pejabat kolonial Belanda.

Pada tanggal 15 September 1868, Belanda telah mendaratkan pasukannya di pantai
Temukus. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan raja Buleleng yang sepakat untuk
menghancurkan Banjar. Hal ini telah membuat hati rakyat menjadi semakin panas dan mulai mempersiapkan laskar-laskar untuk menghadapi setiap penyerbuan Belanda. Akan tetapi pemimpin-pemimpin desa Banjar seperti Ida Made Rai berusaha mengatasi situasi itu, karena sadar bahwa persiapan mereka belum matang.

Untuk memperlemah semangat rakyat Banjar, Belanda selalu mengadakan siasat bumi
hangus yaitu dengan membakar kampung-kampung yang dapat diduduki, sehingga rakyat
banyak menderita kerugian. Pertempuran paling dahsyat terjadi di desa Banjar.

Akhirnya Ida Made Rai ditangkap di daerah Den Kayu. Ida Made Rai, Ida Made Tamu dan Ida Made Sapan diasingkan ke Parihayangan di daerah Bandung. Pengasingan atas diri Ida Made Rai, dan para pengikutnya yang masih setia, berarti berakhir pula perlawanan heroik rakyat Banjar di Bali Utara dan sekaligus berarti berakhirnya perang Banjar dan seluruh kerajaan Buleleng sudah berada di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda.


Puputan Badung

Latar belakang meletusnnya perlawanan : Masalah "Tawan Karang" yang selalu menjadi
pangkal terjadinya perselisihan antara raja-raja di Bali dengan pihak Belanda masih sering
terjadi di perairan pulau Bali sampai permulaan abad ke-20. Peristiwa meletusnya perlawanan rakyat Badung menentang kolonial Belanda berawal dari terdamparnya sebuah perahu Tionghoa dari Banjarmasin di pantai Sanur pada bulan Mei 1904. Semua isi perahu itu dirampas oleh penduduk pantai Sanur. Kejadian ini menimbulkan kemarahan pihak
pemerintah Belanda serta menuntut kerugian kepada raja Badung yang menolak dengan
keras permintaan kerugian itu, sehingga pemerintah Belanda yang diserahkan kepada residen Bali dan Lombok F. A Liefrinck pada tahun 1905.

Jalannya Pertempuran Padatanggal 15 September 1906 pagi hari pihak Belanda telah
mendaratkan laskarnya di pantai Sanur. Pendaratan ini berjumlah 92 orang opsir dan 2311
orang tentara bawahan, di samping beberapa orang "paksaan" di bawah mayor M.B Rost van Tonningen yang dipimpin oleh anggota Dewan Hindia Belanda F.A Liefrinck. Pada hari yang pertama ini yang sebenarnya sudah dipersiapkan pada tanggal 12 september 1906, pihak Belanda lengkap membawa peralatan perang seperti kuda, bahan makanan bahkan lengkap dengan para dokter. Di pihak Badung, raja Badung juga telah mempersiapkan laskarnya yang sudah siap menghadapi serangan Belanda, beberapa pasukan sudah dipersiapkan di desa Intaran dekat Sanur.

Raja Pemecutan merupakan raja yang ke II di kerajaan Badung juga bertekad keras
melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Keluarga raja, tidak terkecuali baik wanita maupun pria sudah siap menghadapi Belanda dengan berpakaian serba putih yang menandakan bahwa mereka sudah siap mati di medan peperangan (puputan). Pertempuran berlangsung lebih dahsyat dibandingkan pertempuran di Taensiat, baik tentara Belanda maupun laskar Badung masing-masing banyak yang meninggal dalam pertempuran itu. Dalam pertempuran selama lima hari itu, dipihak Badung seluruhnya tercatat 3.600 orang yang meninggal termasuk para wanita. Dengan berakhirnya perang yang terjadi di Pemecutan, berarti kerajaan Badung telah jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 20 September 1906.


Puputan Klungkung

Berakhirnya puputan Badung pada tahun 1906 yang berarti pula kerajaan Badung dapat
ditaklukkan oleh Belanda, bukan berarti bahwa stasiun di Bali sudah tenang. Perjanjian
dengan raja-raja di seluruh Bali masih terus dilakukan oleh pihak Belanda yang bertujuan
untuk hak-hak raja sebagai penguasa tunggal di daerah kerajaan pada saat itu yang belum di kuasai oleh Belanda.

Perselisihan antara pihak Klungkung dengan pihak Belanda bermuka disebabkan karena
perselisihan masalah perdagangan candu. Pihak pemerintah Belanda menghendaki monopoli terhadap perdagangan candu di kerajaan Klungkung, namun pihak keluarga istana dalam hal ini Cokorde Gelgel tetap melakukan perdagangan gelap. Hal ini menyebabkan pihak Belanda melakukan patroli secara keras terhadap perdagangan candu di seluruh daerah di wilayah kerajaan Klungkung. Pada saat itu terjadi insiden (bentrokan senjata) dimana patroli Belanda di serbu dari berbagai jurusan oleh rakyat Klungkung sementara Cokorde Raka salah seorang pemimpinnya berusaha menghentikan serbuan rakyat yang meluap itu tetapi tidak berhasil bahkan ia sendiri kena tembak. Dalam keadaan yang sangat kalut itu salah seorang dari patroli Belanda itu yaitu Letnan Haremarker kena tembakan meriam dan mengalami luka berat dan sampai di Gianyar ia meninggal dunia.

Sejak jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda pemerintahan di Klungkung di pegang oleh seorang kontroleur yaitu Haan dari tahun 1908 sampai tahun 1910.


sumber : www.baliaga.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net