Rabu, 06 Januari 2016

Sejarah Bali : Keadaan Pemerintahan Zaman Dahulu

Dalam beberapa bagian pemerintahan seperti tata usaha, undang-undang kehakiman
raja disokong oleh badan penasehat pusat. Akan tetapi di jaman kuno, hanya suatu
badan penasehat pusat yang haknya lebih besar dari pada kekuasaan rad kerta yang
sekarang. Badan penasehat pusat itu memakai beberapa nama.

Mulai dari 1001 TM (waktu kerajaan Udayana dan Gunapriya Dharmapatni) badan itu
disebutkan "Pakira-kiran i jero (makabaihan)". Badan itu beranggotakan beberapa
senopati dan beberapa pendeta (pedanda) Ciwa dan Buddha. Senopati itu sejajar
dengan punggawa-punggawa pada masa kerajaan Gelgel atau Klungkung. Didaerah
sendiri beliau berkuasa juga tentang kehakiman atas rakyatnya. Beliau memiliki
penglapuan sendiri-sendiri.

Golongan senopati ini sebagai berikut : Wrsabha (Wrsanten), Pangcakala, Waranasi,
Tira, Danda (waci), Wwit, Byut, Balabaksa, Dalem Bunut (Balembunut), Dinganga,
Kuturan, Maniringin, Pinatih, Sarbwa dan Tunggalan.

Golongan arya-arya di bawah Gelgel adalah : Kanuruhan, Wangbang, Pinatih,
Kenceng, Belog, Pangalasan, Dalancang, Kuta, Waringin, Manguri dan Gajah Para.
Kalau dibandingkan golongan senopati dengan golongan arya itu, tidak ada
seorangpun yang cocok namanya. Kecuali senapati Pinatih dan Arya Wangbang
Penatih. Hanya seorang senapati sajalah yang diketahui purinya yaitu Senapati
Kuturan yang purinya dekat Padangbai.

Nama-nama gria pendeta (pedanda) Ciwa (Kacaiwan) tersebut seperti : Air Garuda,
Air Gajah, Antakunjarapada, atau Ratnakunjarapada, Binor, Bharma hahar. Hari
Tanten, Kanyabhawana, Kusumadanta, Lokecwara, Swarya Mandala, Udayayalaya
dll.

Nama-nama gria pendeta Buddha (Kasogatan) tersebut adalah Bajracikhara, badaha,
wihara bahung, Buruan, Caggini, Dharmarya, Kucala, Kuti hanar, Lwa Gajah,
Nalanda, Waranasi dll.

Wihara Bahung terletak di desa Kutri, Canggini terletak di desa Sakah (Gianyar).
Tentang Nalanda, yaitu juga nama suatu sekolah tinggi agama Budha di daerah
Benggala (Hindustan). Di sekolah agama itu banyak orang Tionghoa yang memeluk
agama Budha dan masuk untuk mempelajari agama tersebut, seperti Yi Tsing
(kira-kira671-681 TM) dan Hiuan Tsang (kira-kira 630-650 TM).

Desa, Dharma dan Wihara

Maksud dari prasasti itu pada umumnya adalah pemutusan tentang perkara yang
bermacam-macam, seperti : 1. Perkara antara dua buah desa tentang batas-batas
nya seperti hak tanah, pengairan, tentang sawah dll. 2. Perkara antara dua buah
desa, desa yang satu ingin terlepas dari pemerintahan dan desa yang lain menjadi
desa yang berdiri sendiri ("carinten, kawakan"). 3. Perkara antara sebuah desa
dengan pegawai raja yang memungut pajak terlalu keras atau melebihi dari yang
ditetapkan. 4. Tentang Raja yang membebaskan suatu "dharma" atau "Wihara" dari
pada pajak biasa. tetapi "dharma" "Wihara" itu harus memelihara sebuah candi atau
sebuah pura yang istimewa.

Sebagai contoh dalam prasasti yang terkuno (882 TM) raja bhiksu supaya
membangunkan sebuah pertapaan di Cintamani (sekarang Kintamani). Pertapaan itu
juga dipakai sebagai satra. Satra itu boleh dibandingkan dengan pesanggrahan yang
sekarang. Disanalah biksu-biksu yang mempunyai pertapaan itu harus menerima
orang yang kemalaman di Gunung, dan diberikan makanan sekedarnya, begitupun
tikar untuk tidur. Oleh karena kewajibannya itu maka biksu-biksu itu dibebaskan dari
pajak biasa. Di Prasasti tersebut juga ditentukan tentang pembagian warisan orang
yang telah meninggal yang tidak mempunyai anak.

Dalam prasasti dari 896 TM yaitu tentang Kota di Banua Bharu, tersebut apa yang
harus dilakukan oleh orang Kuta itu jika ada seorang saudagar yang masuk
kedesanya, begitu juga kalau ada salah satu perahu yang mendarat mengalami
kerusakan. Yang diputuskan dalam prasasti itu ialah diantara yang lain-lain dua
perkara yang boleh dipandang penting. Yang pertama yaitu orang desa turunan yang
telah pindah ke "banau" Air Hawang" yang waktu itu belum jadi desa berdiri sendiri,
harus turut tetap dibawah pemerintah desa itu. Lagi pula pada bulan Bhadrawada
(kedua) mereka harus menghormati Bhatara Da Tonta yang menjadi Bhatara
istimewa desa turunan. Mereka harus "menguningkan"dan memandikan arca Bhatara
tersebut dan arca itu harus diberi cincin bermata dan giwang yang bermata juga.
Sebuah prasasti dari desa Buwahan (994 TM) berisi putusan raja tentang suatu
perkara antara desa Kedisan dengan desa Buwahan. Desa Buwahan mohon agar
dipisahkan dari desa Kedisan agar menjadi "Swa tantra i Kawakanya", yakni
Merdeka!!!

Pada 1011 TM desa Air Rawang yang pada 914 TM masih dibawah perintah desa
turunan telah menjadi desa yang berdiri sendiri. Dari desa bila sebuah prasasti (1023
TM) yang menyebutkan orang desa mohon kepada raja supaya dibebaskan dari
bermacam-macam pajak, dari kaum keluarganya yang dulu berada 50 perindukan
("kuren" sekarang hanya 10 perindukan). Permohonan itu dikabulkan oleh raja. Maka
desa Buwahan bertambah besar, sehingga orang-orang desa kekurangan tanah,
padang untuk ternaknya dan lagi kekurangan hutan untuk mendapat kayu. Sebab itu
orang desa membeli hutan dan tanah dari raja.

Setelah diperiksa pembelian itu, dapat diterangkan bahwa jaman Bali kuno rajalah
yang berhak atas tanah, ladang dan hutan. Didalam kerajaan Anak Wungcu banyak
prasasti atas nama raja-raja yang lebih kuno diperbaharui dan ditetapkan lagi.
Sebuah prasasti itu orang-orang "dharma" di desa Parcanigayan mohon pada raja
agar mereka tidak dipaksa untuk menghormati dan menyungsung bhatari mandul.
Bhatari mandul itu adalah istri Anak Wungcu yang sudah mangkat dan juga tidak
mempunyai keturunan. Penduduk desa Sukawana wajib menghormatinya, mereka
memelihara pura di gunung Panulisan, yang hingga kini dinamai Pura Tegeh Koripan.
Tetapi desa Parcanigayan telah menjadi desa yang berdiri sendiri yang tidak perlu
turut menghormatinya. Permohonan desa itu dikabulkan oleh raja.

Di prasasti tentang desa Campaga (1324 TM) orang desa minta supaya dibebaskan
dari beberapa macam pajak, lantaran desa itu telah dirampas oleh desa Hyang
Tumpu. Banyak penduduk yang ditawan dan yang lain telah lari kedesa lain.
Rumahnya banyak yang habis dirampas dan dibakar.

Di desa dalam kota Gianyar sekarang dari desa Tampaksiring (di utara) sampai ditepi
laut (di selatan) diantara sungai Pakerisan dan Patanu, terdapat ratusan arca.
Arca-arca itu sering kali berupa sebagai : Bhatara Guru, Bhatara Brahma, Bhatara
Gana (Ganeca), Bhatari Durga, Bhatari Parwati dll. Tetapi tentang kebanyakan
arca-arca itu, orang ahli tidak ada yang tahu siapakah raja atau permaisuri yang
"dewata" dalam arca-arca itu. Di prasasti itu disebutkan Bhatara Bhatari lumah
disuatu tempat.

Meskipun disebutkan nama tempatnya, tetapi sampai saat ini orang tidak tahu di
mana letaknya. Raja Ugrasena lumah (837-864) lumah di Air Madatu, Raja Puteri
Gunapriya Dharmapatni (989-1001 TM) lumah di Buruan, Raja Dharmawangsa
Wardhana (944-949) lumah di Camara, Raja Anak Wungcu (971-999) lumah di Jalu,
dan istrinya (Bhatari Mandul) lumah diatas Gunung Panulisan. Sri Maharaja Jaya
Pangus lumah di Dharma Hanar.

Diantara tempat-tempat itu yang sudah diketahui letaknya yaitu : Buruan terletak di
dekat desa Kutri, dan Jalu itu adalah suatu candi yang terletak dekat "Swihara
Gunung Kawi"(Tampak Siring) dan Dharma Hanar terletak di desa Sawah Gunung
(Gianyar). Selain itu orang ahli riwayat dan barang-barang kuno, yang memeriksa
pulau Bali, tidak banyak menemui candi seperti di Pulau Jawa.

Barang kali candi-candi itu rusak pada jaman yang telah lampau. Yang sampai saat
ini diketahui adalah Candi Gunung Kawi, Candi dasa di daerah Karangasem dan lagi
sebuah "prasada" di desa Kapal. Diantara wihara-wihara (tempat bertapa) yang telah
dapat diperiksa oleh Dr. Stutterheim dan ahli-ahli lainnya disebutkan : 1. ditepi sungai
Pakrisan : Gunung Kawi, Krobokan, Goa Garbha. 2. ditepi sungai Patanu : Goa
Gajah dan Jeh Pulu (dekat Bedulu). 3. ditepi sungai Uwos : a. Goa Raksasa (dekat
Campuan Ubud), b. Jukut Paku (dekat desa Nagari dan desa Singakerta, Gianyar). 4.
ditepi sungai Kungkang : Telaga waja (dekat desa Sapat, Gianyar). 5. di
tempat-tempat lainnya : Gunung Kawi (II) dekat Babitra, Goa Patinggi dekat desa
Riang Gede (Tabanan).

Dalam prasasti disebut juga beberapa "wihara" dan palapan (partapaan) yang
sekarang telah rusak seperti: wihara Bahung (dilereng Gunung Agung), "wihara
Bukhul" partapaan di Bukit patung (letaknya belum diketahui), "dithanin Burda"
(daerah Kintamani), di Tamblingan, di Kintamani, di Songan, (daerah danau Batur), di
Dharmakuta dekat Julah, dekat desa Batuan (Gianyar), di Hyang Karimama dekat
desa Bangli dll.

Tentang pura-pura yang terkuno adalah : Pura Jeh Gangga (Perean, Tabanan), Pura
Maospahit (Denpasar), Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan
di Pejeng, Pura Samuan tiga di Bedulu, Pura Tegeh Koripan dan di gunung Panulisan
(Sukawana), Pura Sakah atau Canggini (Gianyar), Pura Ulu Watu (Tafelhook) districk
Kuta, Pura Kehen di Bangli, Pura Leluhur di lereng gunung Watu Kau, Pura dasar di
Gelgel, ketiganya itu tentu asli sekali akan tetapi sering diperbaiki, sehingga pada
saat ini tak ada lagi bangunan kuno.



sumber : www.baliaga.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net