Jumat, 08 Januari 2016

Sejarah Bali : Kerajaan di Bali Menjelang Abad ke-19

Menjelang abad ke -19, Pulau Bali terdiri atas delapan kerajaan, yaitu :
Klungkung, Karangasem, Beliling (sekarang Buleleng), Bangli,
Gianyar, Badung, Mengwi dan Tabanan. Dahulu Jembrana juga
merupakan suatu kerajaan, tapi pada tahun 1808 Jembrana ditaklukkan
oleh raja Beliling.

Pada tahun 1818, bekas raja Jembrana berontak terhadap kekuasaan Buleleng, akan tetapi
pada tahun 1821 raja Buleleng berhasil menaklukkan Jembrana dan sejak saat itu
daerah ini termasuk lingkungan kekuasaan kerajaan Buleleng.

Tiap-tiap kerajaan dikuasai oleh seorang raja yang mempunyai kedudukan merdeka
dan bebas menjalankan wewenang pemerintahan sesuai dengan
peraturan-peraturan dan adat yang berlaku dalam kerajaan itu. Dari delapan raja
yang berkuasa di Bali pada permulaan abad ke -19, raja yang bertahta di Klungkung
mempunyai pengaruh dan kedudukan yang paling utama.

Raja Klungkung yang disebut Dewa Agung bergelar Susuhunan Bali dan Lombok
yang sebenarnya, mengingatkan bahwa Dewa agung itu adalah keturunan langsung
dari Raja Sri Kresna Kepakisan yang diangkat oleh Kerajaan Majapahit untuk
menguasai pulau Bali setelah pulau Bali ditaklukkan oleh Patih Gajah Mada pada
tahun 1343 dan sejak itu merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mula-mula
istana Raja Sri Kresna Kepakisan bertempat di desa Samprangan dekat kota
Gianyar, akan tetapi kemudian istana di pindahkan ke Gelgel di Klungkung dengan
nama Suwecapura.

Pada masa keruntuhan Kerajaan Majapahit, pulau Bali di bawah raja keturunan Sri
Kresna Kepakisan muncul sebagai negara yang merdeka. Salah seorang raja yang
terkenal, Dalem Waturenggong, memerintah Pulau Bali pada zaman keemasannya.
Wilayah kerajaan diperluas sampai ke Pasuruan dan Belambangan di Jawa serta
Lombok dan Sumbawa.

Akan tetapi pada tahun 1651 sewaktu berkuasanya Dalem Di Made, timbullah
pemberontakan I Gusti Agung Maruti di Gelgel yang mengakibatkan Dalem Di Made
melarikan diri ke Desa Guliang di wilayah Bangli. Di Guliang itu beliau kemudian
wafat. Salah seorang anak beliau pada tahun 1686 berhasil merebut kembali kota
Gelgel dan mengusir si pengkhianat, I Gusti Agung Maruti dari sana. Akan tetapi
dalam penumpasan pemberontakan I Gusti Agung Maruti kota Gelgel hancur dan
diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan ke kota Klungkung. Di Klungkung
dibangun istana baru yang di beri nama Samarapura.

Selama I Gusti Agung Maruti berkuasa di Gelgel raja-raja yang berkuasa di beberapa
kerajaan di Bali tidak mengakui kekuasaan si pengkhianat tersebut dan saat itulah
kerajaan-kerajaan di Bali mulai berdiri sendiri dan tidak lagi patuh terhadap
kekuasaan pusat di Gelgel.

Ketika Dewa Agung Jambe putra Dalem Di Made berhasil mengusir I Gusti Agung
Maruti dari Gelgel dan kekuasaan Dalem dipulihkan lagi dan istana dipindahkan ke
Klungkung, kerajaan-kerajaan di Bali tetap bertindak sendiri-sendiri, tanpa lagi
menghiraukan kekuasaan Dalem atau Dewa Agung di Klungkung.
Walaupun Dewa Agung masih memegang gelar Susuhunan Bali dan Lombok,
raja-raja di Bali dan Lombok merasa dirinya bebas dan merdeka menjalankan
pemerintahan sesuai dengan kehendak mereka sendiri tanpa menghiraukan perintah
atau kekuasaan Dewa Agung. Akan tetapi raja-raja di Bali yang berkuasa dalam
kerajaan-kerajaan mereka seperti Karangsem, Bangli, Gianyar, Buleleng, Badung,
Mengwi dan Tabanan tetap menghormati kedudukan Dewa Agung di Klungkung dan
menganggap beliau sebagai pimpinan spiritual yang mereka segani.

Akan tetapi dalam soal menjalankan pemerintahan dan wewenang dalam
kerajaannya, masing-masing raja tidak menganggap diri mereka terikat oleh
peraturan-peraturan atau petunjuk yang ditetapkan oleh Dewa Agung dan mereka
jalankan pemerintahan sesuai dengan peraturan-peraturan yang mereka buat sendiri
dan kebijaksanaan yang mereka pandang bermanfaat bagi kepentingan kerajaan
yang mereka kuasai.

Dengan demikian tidak terdapat satu kekuasaan sentral di Bali. Bahkan dengan
kedudukan raja-raja sebagai penguasa tunggal dan mutlak di kerajaannya
masing-masing, seringkali terjadi pertikaian antara mereka yang meletus menjadi
perang terbuka. Diatas telah di singgung terjadi antara kerajaan Jembrana dan
Buleleng, yang berakhir dengan musnahnya kerajaan Jembrana. disamping itu
kerajaan Karangasem berperang dengan kerajaan Buleleng. Kerajaan Tabanan
berperang dengan kerajaan Mengwi.

Dengan timbulnya pertikaian bersenjata antara beberapa kerajaan, tentunya rakyat
Bali menderita, oleh karena merekalah yang direkrut menjadi laskar kerajaan sebagai
kewajiban mereka mengabdi kepada rajanya. Dengan terjadinya peperangan yang
berlarut-larut itu rakyat yang juga petani terpaksa meninggalkan pekerjaannya
sehari-hari di sawah atau di ladang, yang menyebabkan sawah dan ladang tidak lagi
menghasilkan bahan makanan, sehingga menimbulkan kemelaratan.
Dalam masyarakat Bali pada awal abad ke -19 yang bentuk dan susunannya bersifat
feodal, dapatlah dimengerti bahwa raja memiliki kekuasaan mutlak yang tidak
terbatas. Raja adalah penguasa pemerintahan tertinggi yang juga bertindak sebagai
kepala agama dan hakim tertinggi.

Wilayah kerajaan di bagi-bagi atas kekuasaan administratif yang dikepalai oleh
seorang punggawa yang biasa di tunjuk diantara keluarga raja terdekat. Para
punggawa memiliki kekuasaan yang luas pula dan membawahi sejumlah penduduk
yang dapat dikerahkan oleh para punggawa itu untuk keperluan pribadinya, seperti
membangun tempat tinggalnya atau membantu bila diselenggarakan upacara adat.
Wilayah administratif yang dikuasai oleh punggawa di bagi lagi atas beberapa desa
yang diperintah oleh seorang pembekel. Desa di bagi lagi atas beberapa banjar di
bawah pimpinan seorang klian banjar, yang merupakan unit terkecil dalam susunan
administrasi pemerintahan di suatu kerajaan Bali.

Sikap yang diperlihatkan oleh rakyat Bali terhadap pimpinannya, terutama rajanya,
adalah suatu hal yang menakjubkan. Hormat dan patuh yang tidak terbatas terhadap
segala perintah, yang diberikan oleh raja kepadanya merupakan suatu ciri khas sikap
penduduk Bali pada masa itu.

Walaupun kedudukan raja dengan kekuasaannya yang tidak terbatas mengakibatkan
pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang, namun tidak dapat dihindarkan
bahwa rakyat Bali tetap menghormati rajanya, namun tidak dapat dihindarkan bahwa
rakyat Bali tetap menghormati rajanya, karena dianggap memiliki kekuasaan yang
dilimpahkan oleh Ilahi kepadanya.

Sekalipun raja-raja di Bali memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan nampaknya
dapat melakukan kekuasaan itu sewenang-wenang tanpa mendapat tantangan dari
rakyat, haruslah diakui bahwa raja-raja itu tidak kaya raya seperti para sultan di
Malaya atau para maharaja di India. Para raja di Bali cara hidupnya sangat
sederhana. Mereka memang menghuni istana-istana (puri) yang dikelilingi oleh
tembok tinggi dan tebal, akan tetapi bangunan-bangunan yang ada di dalam
lingkungan tembok itu tidak memamerkan suatu kemewahan yang luar biasa.
Sumber penghasilan para raja di Bali memang tidak memberi kemungkinan bagi
mereka untuk hidup mewah berlebihan. Penghasilan para raja terutama diperoleh
dari pajak hasil bumi yang disebut Suwinih, yang tidak besar jumlahnya, karena
jumlah pajak yang ditarik dari pemilik sawah bagi satu cutak sawah memang tidak
banyak. Penghasilan lain didapatkan dari upeti atau cukai dari barang-barang yang
diekspor dan diimpor yang hanya diperoleh raja yang mempunyai pelabuhan dalam
wilayahnya, seperti Kerajaan Badung, Karangasem dan Buleleng.(wan)


sumber : www.baliaga.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net