Rabu, 09 Maret 2016

Kegiatan Agama untuk Menyatukan Umat

TUJUAN terpenting dari kegiatan upacara yadnya dalam agama Hindu adalah mendekatkan umat dengan alam lingkungannya, dengan sesama umat dan yang tertinggi adalah kepada Tuhan. Karena itulah ia disebut ''upacara yadnya''. Kata upacara dalam bahasa Sansekerta, artinya mendekat. Sedangkan kata ''yadnya'' artinya keikhlasan berkorban untuk suatu tujuan yang mulia dan suci. Jadinya pendekatan diri itu dilakukan dengan keikhlasan berkorban demi tujuan yang mulia dan suci itu. Upacara yadnya menggunakan sarana banten yang disebut upacara. Kata upakara dalam bahasa Sansekerta artinya melayani dengan ramah tamah. 

Dari segi etimologi atau asal-usul kata saja sudah dapat menggambarkan bahwa setiap upacara yadnya semestinya diupayakan untuk mewujudkan arti kata upacara dan upakara yadnya tersebut. Artinya melakukan pendekatan dengan sesama untuk memelihara alam lingkungan dan berbakti kepada Tuhan. Pada kenyataannya masih banyak kegiatan upacara yadnya Hindu justru mengabaikan nilai-nilai suci tersebut. Banyak upacara yadnya yang tingkatannya boleh dikatakan sangat kolosal. Bahkan, banyak pejabat penting yang punya akses dalam kegiatan beragama tersebut. 

Sesungguhnya kegiatan beragama itu dapat dijadikan media untuk lebih mendekatkan persatuan dan kesatuan umat. Seperti upacara pujawali di suatu Pura Kahyangan Jagat semestinya pandita yang berasal dari berbagai warga diajak muput memimpin upacara tersebut. Lebih-lebih sudah ada Bhisama PHDI Pusat tentang Sadaka yang tidak membeda-bedakan pandita dari asal-usul keturunannya. Sampai saat ini berbagai kegiatan upacara yadnya yang tingkatannya cukup besar dan di pura yang tergolong Kahyangan Jagat justru masih sering tidak menggunakan pandita dari berbagai unsur. Sering kita saksikan upacara yadnya dilangsungkan dengan cara yang sangat aneh tidak sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan baik oleh Sastra Drsta maupun Loka Drsta. 

Sepanjang berbagai kesempatan emas itu tidak dijadikan momentum menyatukan umat dalam artian yang sebenarnya, peluang munculnya konflik akan terus terbuka. Karena cara-cara beragama seperti itu sudah terlalu lama dipersoalkan oleh sebagian terbesar umat Hindu terutama di Bali. Kegiatan upacara tersebut sudah tidak memiliki argumentasi dengan dasar Sastra suci agama yang kuat. Beragama yang tidak menjadikannya sebagai peluang untuk menguatkan persatuan dan kesatuan umat. 

Tidak dilakukan analisis apakah upakara itu sesuai dengan visi suci ajaran agama atau tidak. Hal itu tidak menjadi penting baginya. Keadaan yang demikian itu menyebabkan dari kalangan mayoritas silent group atau kelompok yang tidak banyak bicara, terus merasa kecewa atas berbagai kegiatan beragama yang tidak dijadikan momen untuk menguatkan persatuan dan kesatuan umat. Kelompok yang ''non vokalis'' ini perasaannya terus tertekan dan mengendap di bawah sadar jiwanya. Kondisi masyarakat yang ''non vokalis'' inilah yang sesungguhnya dapat menimbulkan kekerasan kalau mereka tidak kuat menahan tekanan batin. Meskipun demikian sebaiknya ketidakadil dan ketidakbenaran itu kita jadikan momentum untuk meningkatkan militansi diri untuk tetap memegang teguh Dharma. Cepat atau lambat ketidakbenaran dan ketidakadilan itu pasti berlalu (Satyam eva jayate). Cepat dan lambatnya perubahan itu sangat tergantung dari perjuangan membangun militansi diri serta mengaktualisasikannya ke dalam langkah perjuangan yang lebih nyata. 

Menyaksikan perilaku beragama seperti itu kita tidak perlu ikut terpancing. Tingkatkan ketetapan hati kita untuk terus menerus berani memperjuangkan yang benar dan suci itu melalui jalur-jalur yang direstui oleh Tuhan. Sesuatu yang baik dan benar memang tidak mudah mewujudkannya apalagi pada zaman Kali dewasa ini. Marilah berikan contoh yang baik dan benar meskipun di kalangan yang berskala kecil, bahwa beragama itu adalah media untuk menyatukan umat yang berbeda-beda secara setara dan adil. 

Beragama yang lebih menonjolkan nuansa spiritual dan keakraban sosial akan sulit dijumpai kalau nilai-nilai suci agama belum dijadikan ''panglima'' dalam kehidupan beragama. Kapan supremasi nilai-nilai suci agama yang mendominasi kehidupan beragama, saat itu barulah nuansa spiritual dan keakraban sosial yang setara dan adil kita jumpai. Saat ini spiritualitas, kesetaraan, keadilan, demokrasi masih sebatas wacana. 

  
sumber : www.balipost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net