Kamis, 10 Maret 2016

Mengembangkan Spiritualitas Perlawanan

ISTILAH perlawanan jangan serta merta dikonotasikan sebagai bentuk kekerasan fisik, kebrutalan atau kerusuhan yang emosional. Lebih-lebih perlawanan yang menyangkut spiritualitas atau sering juga disebut spirituality for combat. Spiritualitas perlawanan yang kurang aktif dalam diri seseorang akan dapat menyebabkan tunduknya seseorang pada kehendak hawa nafsunya. Setiap dorongan hawa nafsunya dituruti saja meskipun ada bisikan hati nurani menyatakan hal itu salah atau tidak pantas dilakukan. 

Spiritualitas perlawanan adalah menguatkan bisikan hati nurani itu untuk melawan dorongan hawa nafsu yang tidak berdasarkan Dharma. Karena lemahnya spiritualitas perlawanan dalam kehidupan beragama, banyak orang terpuruk menjadi koruptor, menyalah gunakan wewenang, berbuat tidak adil, menjadi pendendam, penindas sesama, tidak peduli dengan penderitaan orang lain, pilih kasih dan seterusnya. 

Esensi beragama adalah membangun kekuatan spiritualitas. Spiritualitas adalah kuatnya kesucian jiwa menguasai gejolak indria bagaikan kuatnya kusir kereta mengendalikan kuda dengan tali kekang yang kuat. Dengan kekuatan itu kuda dapat diarahkan menarik kereta ke tujuan yang sudah ditentukan oleh penumpang. 

Dalam Katha Upanishad sosok manusia diumpamakan bagaikan kereta. Keretanya bagaikan badan, kuda diumpamakan indria, tali kekang diumpamakan pikiran, kusir kereta bagaikan keadaran budhi dan Atman bagaikan penumpang yang akan dibawa oleh kereta ke arah tujuan yang sudah ditetapkan. 

Spiritualitas perlawanan adalah menguatkan tali kekang dengan kusir kereta untuk tidak mengikuti kehendak kuda. Sebaliknya kudalah yang harus mengikuti kehendak kusir kereta. Kalau kusir mengikuti kehendak kuda maka dapat dipastikan kereta tidak akan membawa penumpang ke tujuan yang dikehendaki. 

Hakikat beragama adalah untuk membangun diri agar memiliki kemampuan melakukan kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan mengembangkan persaudaraan sejati sesama ciptaan Tuhan. Karena itu spiritualitas perlawanan adalah spiritualitas yang dibangun lebih aktif untuk dengan penuh keyakinan berani melawan ketidakbenaran, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, pelanggaran HAM dan menyingkirkan anasir-anasir yang memicu permusuhan sesama manusia. 

Kalau spiritualitas perlawanan ini dapat dibangkitkan dalam diri maka berbagai perlawanan kepada perilaku Adharma tidak didasarkan pada kebencian, kemarahan, kebrutalan, balas dendam dan lain-lain. Perlawanan itu dilakukan dengan kesadaran spiritual untuk mengikuti norma-norma kerohanian sesuai dengan ajaran Agama yang dianut. 

Spiritualitas perlawanan diawali dari dalam diri sendiri dan dianggap berhasil apabila seseorang mampu dengan kesadaran spiritualnya meredam dirinya untuk tetap tenang dan tawakal menghadapi berbagai ketidakbenaran, seperti kesombongan, kesewenang-wenangan, penindasan dan lain-lain bentuk Adharma. Spiritualitas perlawanan dilakukan tidak berdasarkan gejolak emosi atau nafsu marah dan benci. Namun dilakukan dengan analisis yang mendalam dengan akal budhi yang sehat dan cerdas, tidak mudah putus asa dalam melakukan perlawanan, selalu melalui prosedur-prosedur etika sosial budaya, hukum dan adat istiadat yang berlaku. 

Dalam kehidupan dunia modern dewasa ini menurut pandangan agama Hindu, kekuatan Adharma memang sudah dinyatakan lebih besar dari kekuatan Dharma. Kalau menyuarakan kebenaran tidak begitu mendapatkan sambutan yang luas tidaklah perlu kita kecewa dan mudah putus asa. Dalam hal menghadapi kekecewaan itulah spiritualitas perlawanan harus difungsikan. Dengan spiritualitas perlawanan itulah kita bangun militansi diri untuk terus peduli dan berketetapan hati membangun perlawanan pada kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan bentuk-betuk Adharma lainnya dengan kekuatan spiritual. 

Seperti Dharmawangsa tidak mau melawan kebencian dengan kebencian, kesewenang wenangan dengan kesewenang-wenangan juga. Betapa pun dia dibuat terpuruk dan dihina ia tetap pada swadharmanya melawan ketidakbenaran dengan prosedur-prosedur yang benar serta tidak emosional. Perang pun dilakukan bukan karena kebencian atau pamrih untuk menang. Perang dilakukan karena seorang kesatria swadharmanya adalah menegakkan kebenaran dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. 

Para penggiat kebenaran sering tidak menggunakan kehidupan beragama untuk membangun spiritualitas perlawanan. Hal itulah yang menyebabkan banyak orang melakukan tindakan kasar, brutal dengan mengatas namakan agama. Permusuhan, bahkan perang dengan sesama penyembah Tuhan pun terus terjadi. Hal itu karena emosi agama lebih ditonjolkan dari pada akal budhi yang dilandasai spiritualitas. 

sumber : www.balipost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net