Jumat, 11 Maret 2016

Memajukan Kecerdasan Spiritual

MEMBANGUN transparansi birokrasi terutama yang berfungsi untuk melayani publik dibutuhkan adanya tiga kecerdasan bagi SDM yang mengelola birokrasi tersebut. Tiga kecerdasan itu adalah kecerdasan intelektual, spiritual dan kecerdasan emosional. Demikian dikemukakan oleh Dr Taufik.B., pakar ilmu manajemen dalam wawancara televisi siang hari pada sisi dialog 19 Desember 2002 yang lalu. 

Kurang transparannya pelayanan birokrasi dewasa ini karena tidak terpadunya tiga kecerdasan itu pada SDM yang memegang birokrasi publik itu. Banyak birokrat sudah tahu betul sesuatu itu harus dilakukan demi kebaikan bersama dalam pelayanan birokrasi pada publik. 

Namun sesuatu yang sepatutnya dilakukan itu ternyata tidak dilakukan oleh birokrat. Itu artinya birokrat tersebut sudah memiliki kecerdasan intelektual, tetapi tidak memiliki kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Suksesnya transparansi birokrasi publik yang semakin dituntut pada zaman reformasi ini sangat tergantung pada kemampuan SDM dalam memadukan tiga kecerdasan tersebut. Tiga kecerdasan itu sepatutnya dipadukan secara seimbang dalam mengelola suatu birokrasi untuk pelayanan publik. 

Dr. Taufik.B menyatakan bahwa sistem manajemen hanya memberikan kontribusi tiga puluh persen pada keberhasilan suatu birokrasi. Sebagian terbesar sangat tergantung pada SDM yang menggerakkan birokrasi tersebut. Mengapa terjadi banyak penyimpangan birokrasi dewasa ini bahkan pada era reformasi sekali pun, penyimpangan tersebut semakin terjadi. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kontribusi kecerdasan spiritual dan emosional pada SDM yang berada di birokrasi tersebut. Yang paling diprioritaskan dalam memilih SDM untuk mengelola birokrasi hanyalah kecerdasan intelektual. Meskipun secara akademis SDM tersebut sangat qualifide untuk memegang suatu birokrasi, kalau kecerdasan spiritual dan emosionalnya dilupakan maka SDM itu tidak akan berhasil memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Dr Taufik.B menyatakan kecerdasan spiritual tidak selalu terkait dengan tingginya aktifitas ritual agama yang dilakukan oleh birokrat tersebut. 

Kecerdasan spiritual dan emosional itu juga berbeda dengan religiusitas. Seseorang yang religius belum tentu mampu mengembangkan diri sebagai seorang birokrat yang baik. Seorang yang religius baru mampu menjadi orang baik untuk dirinya sendiri. Sedangkan kecerdasan spiritual akan memotivasi orang yang sudah mampu menjadikan religiusitas itu sebagai sumber penggerak untuk berbuat kearifan guna melakukan pelayanan secara aktif, benar dan berkualitas kepada publik. Kalau kecerdasan intelektual disertai dengan egoisme kekuasaan maka birokrasi itu tidak akan menimbulkan pelayanan publik yang berkualitas. Publik yang merasakan dirinya sudah mengeluarkan berbagai biaya seperti pajak dan pungutan-pungutan lainnya dalam rangka penyelenggaraan birokrasi akan menjadi tidak terlayani dengan baik. Hal ini dapat saja menimbulkan kekerasan struktural. Karena birokrat merasa dirinyalah yang berkuasa dan memiliki segala yang ada dalam birokrasi tersebut. 

Untuk membangun birokrat yang memiliki kecerdasan spiritual kalangan birokrat harus menjadikan pelayanan kepada publik sebagai wujud baktinya kepada Tuhan. Jangan karena merasa paling rajin melakukan pemujaan kepada Tuhan lantas merasa menjadi manusia yang paling bermoral dan menjauhi orang-orang yang mengkritiknya. Birokrat seperti itu terjebak pada keadaan mabuk rohani. Mereka itu akan merasa menjadi super karena merasa sudah paling dekat dengan Tuhan. Birokrat yang demikian itu akan sangat alergi dengan kritik dan perbedaan pendapat. 

Sikap super karena merasa paling dekat dengan Tuhan bukan tergolong kecerdasan spiritual dan emosional. Orang yang demikian itu menurut istilah orang tua-tua di Bali di masa lampau adalah orang yang tidak punya pengerasa. Orang yang memiliki kecerdasan emosional akan mudah merasakan penderitaan orang lain dan cepat tanggap pada aspirasi pihak lain. Akibat lemahnya kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional sementara birokrat kita maka sampai saat ini kita belum mampu menciptakan birokrasi pelayanan pada publik yang baik. Akibatnya timbullah di sana sini pembangkangan publik yang bersifat struktural. Artinya pembangkangan publik itu terjadi karena ulah dari struktural birokrasi yang rendah kualitas pelayanannya. Seperti tidak taat membayar pajak, bahkan ada yang memanipulasi pajak, tidak taat pada berbagai aturan birokrasi yang semestinya dilakukan untuk tertib pemerintahan. 

Hakikat orang Indonesia termasuk orang Bali tidak memiliki budaya membangkang. Karena itu para birokrat hendaknya menjadikan kegiatan beragama untuk membangun kecerdasan spiritual dan emosionalnya guna membangun birokrasi pelayanan publik yang berkualitas. Dengan demikian tidak akan banyak timbul stres sosial yang kini semakin meluas. 

  
sumber : www.balipost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net