Sabtu, 05 Maret 2016

Mendidik dan Melatih Hawa Nafsu

KEJAHATAN, kebrutalan, perilaku kasar, penipuan, perampokan aset publik dengan segala cara dan semua jenis perilaku sesungguhnya berasal dari gejolak hawa nafsu yang tidak terdidik dan terlatih. Bahkan sebaliknya, hawa nafsu itu justru mendapatkan peluang yang semakin banyak untuk dimanjakan. Ia tidak terdidik dan terlatih untuk patuh pada arahan pikiran dan kesadaran budhi. Struktur diri yang idial adalah besarnya kadar spiritual (spiritual question) menguatkan kecerdasan intelektual (intelectual question) untuk mengendalikan kader emosi (emosion question). Kondisi diri yang demikian itulah akan dapat menjadi media merealisasikan kesucian Atman dalam perilaku sehari-hari. Sayang di zaman Kali ini sangat sulit membangun diri seperti itu. Mengapa demikian, karena kondisi di luar diri manusia sudah demikian marak tersedianya berbagai fasilitas untuk mengumbar hawa nafsu. 

Adanya tempat-tempat hiburan yang kebablasan dilengkapi dengan fasilitas pengumbaran nafsu, demikian juga banak yang terselubung dalam berbagai bentuk kegiatan yang tampak luarnya sangat terhormat seperti kegiatan bisnis barang maupun jasa. Usaha itu sepertinya berkedok untuk memberikan pelayanan prima bagi kepuasan konsumen. Namun apa yang disebut puas itu memang tidak mudah membatasinya. Etika moralpun diabaikan. 

Dalam kitab Katha Upanisad nafsu itu diibaratkan kuda. Kuda yang bertenaga kuat namun tidak terdidik dan terlatih dengan baik tentunya dapat melarikan kereta dengan semena-mena. Hal itu dapat memporak porandakan kereta itu sendiri sehingga tidak dapat mencapai tujuan semestinya. Kalau kuda yang kuat itu patuh pada kendali kusirnya tentunya sangat baik. Pada zaman industri dewasa ini banyak sekali hasil rekayasa Iptek yang menghasilkan benda-benda yang justru mengobarkan hawa nafsu. Padahal tujuan iptek adalah memberi kemudahan hidup secara wajar kepada umat manusia. Tentunya akan sangat sulit membendung cepatnya pengembangan rekayasa iptek tersebut pada zaman industri ini. 

Perubahan dalam sistem teknologi ini demikian cepat. Sistem budaya yang disebut sistem tehnologi yang cepat demikian itu sedikitnya akan dapat dibendung akibat negatifnya dengan cara mempercepat gerak sistem religi untuk memperkuat moral dan mental masyarakat. 

Sayangnya pada kenyataannya sistem budaya yang disebut sistem religi ini adalah sistem budaya yang paling lamban perubahannya. Sedangkan sistem teknologi adalah sistem budaya yang paling cepat berubah. Demikian menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya ''Kebudayaan Mentaliteit dan Pembangunan''. Untuk memacu gerak yang lebih cepat dari sistem religi ini semestinya berbagai kelompok umat dalam berbagai bentuk mentradisikan berbagai sistem guna mendidik dan melatih hawa nafsu. 

Dalam Sastra Hindu banyak sekali kita jumpai konsep dasar bagaimana caranya mendidik dan melatih hawa nafsu melalui sistem-sistem pengendalian Dasa Indria. Sayangnya kegiatan yang bertemakan keagamaan saja sangat sedikit menyertakankan program kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk pengendalian indria. Demikian juga secara individu sepertinya sangat sedikit orang terpanggil untuk mendidik dan melatih pengekangan indrianya. Justru kegiatan keagamaan lebih banyak menonjolkan pesta-pesta yang justru lebih mengutamakan pemenuhan indria untuk pengumbaran hawa nafsu. 

Sesungguhnya dalam ajaran Hindu seperti upacara Panca Yadnya dan juga berbagai hari raya Hindu menurut landasan tattwa dan susilanya adalah media untuk mendidik dan melatih indria agar dapat dikendalikan oleh kekuatan pikiran dan kesadaran budhi. Dengan demikian berbagai perilaku umat dalam menyelenggarakan kehidupannya sehari-hari, tidak menjadikan gejolak hawa nafsu itu sebagai dasar menggerakan indria. Substansi mendidik dan melatih hawa nafsu itu sepertinya masih sangat sedikit mendapatkan porsi dalam kegiatan beragama dalam upacara yadnya maupun dalam kegiatan lainnya. Sehingga, bukan SDM yang semakin bermoral dan bermental dengan daya tahan baja yang didapatkan. Justru lebih banyak kebanggaan kosong mereka dapatkan. 

Ingin mendapatkan jabatan, kekayaan dengan segala cara, gelar keilmuwan yang tinggi dan lainnya itu tentunya sangat sah dan wajar dalam hidup ini. Kalau hal itu dicari dengan dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali oleh kadar spiritual atau kesadaran budhi yang tinggi maka semua itu akan dicari dengan cara-cara yang emosional semata. Apabila dengan kegiatan beragama seperti hari raya Nyepi saja mungkin lebih banyak umat yang tidak melakukan pendidikan dan latihan pengekangan hawa nafsu dengan berpuasa. Padahal substansi hari raya Nyepi sudah sangat jelas, untuk mengekang hawa nafsu, mengendalikan indria. 

Hari raya keagamaan yang lainnya pun, seperti Galungan dan Kuningan makin tidak dijadikan media pendidikan dan latihan mengendalikan hawa nafsu. Padahal, kalau kita dalami substansi Galungan dan Kuningan dalam Lontar Sundarigama juga tidak jauh berbeda dengan Nyepi, yaitu memenangkan diri (Dharma) dari penjajahan hawa nafsu. Hidup enak itu baik tetapi hidup seenaknya itu yang tidak baik. Mengendalikan nafsu itu memang mengakibatkan kesenangan hidup ini terkekang. Tetapi akibatnya akan menguatkan hidup selanjutnya. Hidup yang kuat itulah hidup enak yang sesungguhnya. 

  
sumber : www.balipost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net