Jumat, 04 Maret 2016

Renungan Galungan

Sebagaimana diketahui, dalam tradisi kita Galungan dan Kuningan tak sekedar disebut hari suci, namun sering disebut sebagai hari raya yang dikaitkan dengan pemaknaan hari kemenangan dharma melawan adharma. Berlembar-lembar halaman tradisi yang pernah kita buka, yang kita baca bahkan yang kita alami bersama, kita maklumi Galungan dan Kuningan mempertemukan kita tiap 210 hari sekali, Buda Kliwon Dunggulan mempertemukan kita dalam ritual yang nyaris sama namun berbeda dalam tiap suasana. Pemikiran menyambut galungan, peristiwa persiapan dalam rentetan Galungan Kuningan, dapat kita catat sebagai sebuah runititas enam bulanan. Tengoklah semisal pembuatan penjor, penampahan, alat dan bahan bebanten, persembahyangan bersama dan simakrama umanis galungan.
Namun kalau kita teliti lebih dalam belakangan ini, kita perlu, sekali lagi kita perlu diam sejenak lalu mempertanyakan pada hati kita terdalam apakah sekadar rutinitas itu telah mencukupi pemaknaan hari galungan? Apakah dalam runtinitas ritual itu, kita telah melakukan dharma sebagai kewajiban, dan menjauhi hal hal yang dilarang weda? Apakah kita sebagai pencari kebenaran Dharma sudah menemukan batasan batasan itu, atau kita hanya mencari pembenaran sebuah ritual galungan dan kuningan?.
Menapaki hari raya galungan mulai dari mempersiapkan upakara yadnya. upakara dalam kepustakaan Hindu artinya melayani dengan ramah, dalam hal ini, pelayanan kepada Hyang Widhi sehingga suasana yang ditampilkan bukan kemeriahan dan kemewahan semata tetapi sikap yang sangat religius. Pondasi ketulus iklasan, kesucian hati dan pikiran serta cinta kasih menyambut hari raya galungan tertancap di benak hati nurani, bukan sebaliknya justru memaksa yang membuat diri susah dan mengeluh dalam beragama.
Sobat sedharma menyambut galungan sebagai piodalan jagat, adalah ungkapan syukur bahwa Hyang Widhi memberikan anugerah yang melimpah terahadap kualitas hidup yaitu kerahayuan dan alam semesta gemah ripah loh ginawe. Oleh karena itu sudah menjadi dharma kita, mempersembahkan limpahan kasih Hyang Widhi dalam bentuk upakara. Hal ini sesuai dengan sastra suci Bhagawadgita bab IX sloka 26 menyuratkan:
Patrampuspam phalam toyam 
Yo me bhaktya prayacchtai 
Tad aham bhaktya-upahrtam 
Asnami prayatatmanah
Patut menjadi suluh dan penerang dijalan yang benar bagi sobat sedharma, bahwa persembahan berupa daun, bunga, buah dan air yang dilandasi dengan ketulusiklasan dan kejernihan hati akan diterima Hyang Widhi. Kemudian apa yang tersurat tersebut, mengalir dalam ruang dan waktu seiring perubahan dan dinamika jaman, dalam kemasan budaya yang indah, daun, bunga, buah dan air ditata dalam bentuk banten yang indah dalam galungan dan kuningan sehingga berwujud beragam persembahan sesuai adigium desa, kala dan patra yaitu tempat, waktu dan sastra dan tentunya persembahan maha utama itu adalah padma hati dan kesucian pikiran menyonsong galang galungan.
Galungan adalah hari raya siklus jatuhnya setiap Budha Kliwon Dungulan, dan hari Raya Kuningan yang jatuh pada Saniscara Kliwon Kuningan Sebuah pertautan indah antara saptawara, panca wara dan wuku. dengan rangkaian yaitu:
1. Tumpek Wariga memohon kepada Bhatara Sangakara agar tumbuh-tumbuhan rahayu, berbuah, berbunga dalam rangka menyambut galungan
2. Sugihan Jawa yakni hari kamis wage Sungsang di namakan parerebwan, atau disebut sugihan jawa oleh umat Hindu, melakukan rerebu (penyucian) di sanggar dan di parhyangan.
3. Sugihan Bali yaitu pada hari jumat kliwon Sungsang dina¬makan sugihan Bali, hari suci bagi umat manusia. Maknanya adalah penyucian diri manusia lahir bathin,
4. Minggu Pahing Dungulan merupakan hari suci panye-keban,pendeta dan orang-orang bijaksana senantiasa berwaspada mengekang batin agar selalu dalam keadaan hening dan suci sehingga tidak bisa di rasuki oleh bhuta Kala Galungan.
5. Panyajaan, Pada hari senin pon Dunguluan merupakan hari suci bagu umat Hindu untuk melakukan yoga semadi secara bersungguh-sungguh, benar-benar bersujud dan berbhakti kepada Tuhan"
6. Penampahan, Pada hari selasa wage Dungulan dinamakan penampahan, merupakan waktu bagi Bhuta Galungan mencari mangsa. Karena itu, umat manusia di setiap desa pakra-man patut menyambutnya dengan membuat upacara Bhuta Yadnya.
7. Puncak Hari Raya Galungan Rabu kliwon Dungulan dinamakan yang bermakna bangkitnya kesadaran, titik pemusatan batin yang terang benderang, melenyapkan segala bentuk kegalauan batin, dengan cara mempersembahkan sesajen kepada para dewa di sanggar, di Parhyangan,
8. Pada hari minggu kuningan di namakan pemaridan guru ataupun disebut Ulihan, yakni hari pulang kembalinya para dewa ke sorga.
9. Pada hari senin kliwon kuningan di namakan pemacekan agung, di mana senja harinya umat wajib menyuguhkan segehan agung.
10. Pada hari jumat wage Kuningan dinamakan penampaha kuningan Sama seperti penampahan galungan, umat wajib membuat sesajen untuk upacara dan mengekang pikiran ke arah keheningan dan kesucian".
11. Puncak hari suci kuningan, Pada hari sabtu Kliwon Kuningan para dewa turun lagi ke dunia bersama para roh leluhur, karena itu umat wajib menyucikan diri lahir bathin dan membuat sajen,
12. Pada haru rabu Kliwon pahang dinamaka pegatwakan, artinya terputusnya sabda atau batas waktu berakhirnya pelaksanaan dhyana semadi yang berkaitan dengan wuku Dungulan Siklus sebulan penuh dari tumpek wariga sampai buda kliwon pahang adalah waktunya sobat sedharma eling, bhakti pada Hyang Widhi dan bukan hanya sekedar seremonial biasa sehingga hari raya galungan tersebut membangun kesadaran baru dalam gerak pikiran, perkataan dan tindakan mengemban dharma yang utama.
Sobat Sedharma laksana bunga yang tumbuh dalam lumpur tentunya hari raya galungan bukanlah seremonial meriah tanpa makna, akan tetapi didalamnya terdapat pelita dan permata pikiran sebagai cahaya utama melakoni hidup berlandaskan dharma. Sabda suci Bhagawadgita: " Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharataabhyutthanam adharmasya tadatmanam srijamany aham" - (Kapanpun dan di manapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan Dharma merajalela, pada waktu itulah Aku Sendiri menjelma, wahai putra keluarga Bharata).
Sebuah cerminan bening bagi sobat sedharma apa yang diuraikan Radhakrishna bahwa "Kemanusiaan sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Pekembangan sains dan teknologi tidak disertai dengan kemajuan yang sama di bidang spiritualitas, bahkan spiritualitas makin rapuh dibawa arus materialisme, hedonisme, dan pragmatisme peradaban modern. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia semakin pintar memparasitkan diri kepada alam dan mengejar hidup yang sifatnya kebendaan saja" Dengan demikian galungan pemberi energi baru membangun spiritualitas bahwa segala tindakan dan perkataan bersumber dari cahaya utama Hyang Widhi yang bersthana di dalam padma hati, padma-hrdaya.
Sumber : Wartam Edisi 12 - Pebruari 2016
sumber : http://phdi.or.id/artikel/renungan-galungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net