Selasa, 22 Maret 2016

Pemahaman Utuh Ajaran Hindu

MERAYAKAN Nyepi Tahun Saka 1925 ini umat Hidnu Soroako Sulawesi Selatan yang berjumlah 57 KK mengadakan dharma santi. Salah satu kegiatan dharma santi itu adalah mengadakan dharma tula tentang agama Hindu, yang dilangsungkan dari tanggal 3 sampai dengan 5 Mei 2003 yang lalu. Dalam dharma tula tersebut umat Hindu Soroako mengundang pengurus PHDI Kabupaten Luwu dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten sampai berjumlah 125 peserta. 

Dalam dharma tula tersebut berdasarkan diskusi-diskusi yang cukup hangat namun penuh kendali, dapat saya simpulkan bahwa pemahaman umat Hindu tentang keberadaan agama Hindu secara utuh masih sangat kurang. Demikian juga pendekatan yang dilakukan oleh elite umat Hindu yang berada di lembaga keumatan dan lembaga pemerintahan lebih menonjolkan pendekatan melalui prosedur birokrasi. Pendekatan yang semestinya dilakukan adalah secara informal dan formal. Yang paling utama adalah mediator harus benar-benar paham akan keberadaan agama Hindu seutuhnya. Terjadinya permasalahan selama ini semata-mata karena sangat kurangnya pemahaman akan keberadaan agama Hindu seutuhnya. 

Lemahnya pemahaman akan keberadaan agama Hindu yang benar, terjadi hampir di semua kalangan umat. Hal ini antara lain menyebabkan kehadiran sampradaya menjadi masalah. Masalah sampradaya ini juga muncul dalam diskusi hangat tersebut. Kalau saja benar cara memahaminya justru keberadaan sampradaya akan menjadikan umat Hindu memiliki banyak pilihan dalam mengamalkan ajaran suci Veda. Dengan demikian tidak ada umat Hindu merasa tertekan kalau pilihan yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan tipe atau selera rohaninya. 

Kesalahpahaman seringkali dikarenakan adanya oknum pengikut sampradaya yang berbuat tidak sesuai dengan norma-norma lingkungannya. Demikian juga umat Hindu yang tradisional, karena kekurangpahaman, menganggap kehadiran sampradaya sebagai ancaman. Padahal umat Hindu tradisional itu pun tergolong sampradaya Siwa Sidhanta. Di Bali disebut Siwa Paksa yang memuja Tuhan dengan sebutan Parama Siwa. 

Sedangkan Waisnawa Paksa yang Bhagawata memuja Tuhan dengan sebutan Sri Krisna. Sementara sampradaya Waisnawa atau Wisnu Paksa memuja Tuhan dengan sebutan Maha Wisnu. Maha Mantra Siwa Paksa menghadapi zaman Kali adalah Panca Aksara Mantra, Maha Mantra Wisnu Paksa Asta Aksara Mantra, sedangkan Maha Mantra Waisnawa Bhagawata yang disebut Hare Krisna adalah enam belas nama Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam kitab Kali Santarana Upanishad. 

Semuanya itu justru yang sesuai dengan ajaran Veda. Rgveda I.64.46. menyatakan bahwa Tuhan itu satu, para Vipra atau orang sucilah yang memberikan banyak nama. Setiap Kalpa ada Vipra atau Resi yang memberikan nama Tuhan berbeda dengan Resi sebelumnya. Apakah Tuhan Yang Esa itu diberikan sebutan Siwa, Brahma, Wisnu, Rama, Krisna dan lain-lain. Hal itu sah-sah saja. Apalagi Tuhan, manusia saja setiap orangnya memiliki banyak sebutan. 

Pada mulanya 20.389 mantram Catur Veda dipelajari oleh 1180 Sakha atau perguruan (Vedik School). Pada zaman Purana pengamalan Veda dilakukan melalui sampradaya yang parampara atau perguruan Hindu yang turun-temurun. Pada hakikatnya tidak ada seorang umat Hindu pun yang tidak termasuk salah satu anggota sampradaya. Bagaikan mahasiswa tidak ada yang tidak termasuk salah satu dari suatu Perguruan Tinggi. 

Dalam lontar-lontar di Bali dalam menyebutkan nama tokoh sering kita jumpai keterangan tentang paksanya atau sampradayanya. Ada yang disebut sebagai Siwa Paksa, Wisnu Paksa dan lain-lain. Kalau ada perilaku yang aneh-aneh dari suatu oknum sampradaya tertentu, hal itu merupakan suatu gejala umum yang sifatnya sementara. 

  
sumber : www.balipost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net