Rabu, 23 Maret 2016

Pemarah Tergolong Orang Candala

KALAU ada orang marah karena suatu sebab tentunya sangat manusiawi. Itulah salah satu keterbatasan manusia hidup di dunia ini. Apalagi marah itu dilakukan secara sadar untuk menasihati anak, misalnya. Marah seperti itu tentunya masih dalam kendali kesadaran budi dan kekuatan pikiran. Marah seperti itu bukan didorong oleh gejolak emosional. Marah seperti itu dimotivasi oleh cinta kasih kepada yang dimarahi. Kaa-kata marah yang keluar pun akan terukur. Marah seperti itu tentunya masih berada di dalam koridor Dharma.

Kata-kata yang tergolong umpatan, makian, sumpah serapah, tidak akan keluar dari marah yang didorong oleh cinta kasih seperti marahnya orangtua kepada putranya itu. Tetapi marah seorang pemarah latar belakangnya sangat berbeda, bahkan bertolak belakang. Kalau ada orang sampai menjadi pemarah bahkan sampai pendendam dan pendengki, itu sudah tergolong ada kelainan. 

Krodha yang diartikan pemarah adalah salah satu pintu neraka menurut Bhagawad Gita XVI.21. Marah yang menjadi pintu neraka itu dimotivasi oleh egoisme yang digelorakan oleh wisaya atau hawa nafsu kebencian semata. Marah yang demikian adalah marah yang menghancurkan Dharma. Manusia yang tergolong pemarah itu, menurut Slokantara 24 disebut sebagai manusia candala artinya orang cacat. Orang yang paling candala adalah orang jahat (wong durjana) Pemarah atau pendendam itu digolongkan sebagai orang candala dalam Slokantara tersebut dinyatakan sebagai sawa. Sawa dalam bahasa Sansekerta di samping berarti mayat juga berarti ular berbisa. 

Dalam Sarasamuscaya 367 dinyatakan umur manusia itu sangat pendek. Di samping itudi ambil lagi oleh tidur, sakit, umur tua, sedih dan gangguan (wighna), orang pembenci dan pendendam tergolong dalam keadaan terganggu kesadarannya. Karena pendendam itu sama dengan tidak hidup alias bagaikan mayat. 

Orang dendam adalah orang yang tidak akan sadar akan apa itu kebenaran (Dharma). Karena itu pendendam disebut sawa atau ular berbisa. Bisa pendendam itu dapat membawa sensara baik bagi yang bersangkutan maupun pada orang lain. Spektrum derita yang ditimbulkan oleh pendendam itu sangat tergantung kedudukan orang tersebut. Kalau pendendam itu seorang ayah atau ibu maka spektrum derita yang akan ditimbulkan setidak-tidaknya dalam keluarga tersebut seperti suami/istri dan anak-anaknya yang akan menderita dari sifat pemarah itu. Kalau mereka itu penguasa tentunya spektrum deritanya akan lebih luas. Segala yang dikuasainya akan digunakan untuk melampiaskan dendamnya itu. Segala fasilitas dan kewenangan akan dijadikan untuk melampiaskan dendamnya, baik terang-terangan maupun secara terselubung. Sikap dendam orang yang punya kekuasaan inilah akan dapat menimbulkan kekerasan publik terutama bagi mereka yang terkena langsung spektrum dendam tersebut. Karena itu orang-orang yang memiliki sifat pendendam janganlah dipilih menjadi penguasa. Kekerasan, perang antarnegara umumnya ditimbulkan oleh pemimpin yang memiliki rasa dendam dan benci yang selalu berkobar dalam hatinya. 

Dalam Manawa Dharmasastra VII.48 dinyatakan bahwa sifat pemarah dan dengki akan dapat menimbulkan delapan keburukan. Delapan keburuhan yang ditimbulkan oleh kebiasaan marah itu adalah suka memfitnah (paisuna), Sahasa mengembangkan kebijakan yang kejam, Droham artinya dendamnya semakin dalam. Artinya semakin marah semakin dalam dendamnya, suka iri hati (irsia). Konon dalam Markandya Purana dikatakan Iri itu awal dari kehancuran. Asurya artinya gemar sekali dengan sikap-sikap permusuhan bagaikan asura atau raksasa yang gemar bermusuhan. Artha Dursanam artinya suka merampas harta orang lain dengan menggunakan kekuasaannya. Wagdanda artinya suka menyisihkan lawannya sampai menjadi terhina. Parusya artinya suka ngomong hebat tanpa isi. 

Timbulnya berbagai permusuhan dalam berbagai kehidupan sosial dengan segala coraknya bahkan sampai di tingkat pemimpinan negara, mencirikan masih banyak orang yang bersifat pendendam duduk sebagai pemimpin. Tradisi bertapa mengendalikan indria bagi kalangan pemimpin tampaknya semakin tidak kelihatan lagi. Bahkan pemimpin dewasa ini banyak menyediakan fasilitas untuk hidup bersenang-senang. Seperti pesta-pesta, piknik tanpa tujuan yang urgen, memfasilitasi para penyanjungnya untuk membangun yes man group. Pemimpin yang bergelimang kesenangan, sedikit saja ada yang menghalangi kehendaknya akan membangkitkan kemarahannya. Dari marah yang semakin mendalam inilah timbul pemimpin pendendam. Pemimpin semestinya tidak melaksanakan kehendaknya, tetapi melaksanakan kehendak rakyat. 

sumber : www.balipost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net