Minggu, 24 April 2016

Moral

”Istriku dan aku menghabiskan tiga minggu di Bali pada bulan April tahun ini (2011). Kami di sana untuk merayakan ulang tahun perkawinan kami yang ke 38 sebagai tamu dari seorang sahabat yang sangat baik yang mengizinkan aku tinggal di vilanya yang indah secara gratis. Seharus aku membayar USD1,100 per malam. Itu setelah kunjunganku ke Australia dan tepat sebelum kuliah Haris Ibrahim yang aku sampaikan di Bangkok diikuti oleh semua drama itu.”

Demikian Raja Petra, mulai tulisan kenangannya tentang kunjungannya di Bali. Berikut lanjutannya.

Apa yang paling mengesankan aku tentang Bali adalah kejujuran dari orang-orangnya, yang sekitar 90% Hindu (tetapi sangat berbeda dari orang-orang Hindu Malaysia). Kami meninggalkan semua barang-barang kami termasuk uang tunai di kamar kami. Staf keluar masuk ke kamar dengan bebas dan kami tidak merasa khawatir sedikitpun. Dalam kenyataannya, kamar tidur kami tidak mempunyai kunci (namun) hanya celah-celah ventilasi kaca. .

Aku tanya seorang gadis Bali akan memijatku bagaimana bisa orang Bali begitu jujur.

Karena kita percaya akan karma, dia menjawab.

Oh, aku menjawab, itu berarti apapun yang Anda lakukan kepada orang lain hal yang sama akan terjadi kepada anda (balasan yang sama). Tidak, dia menjawab. Apapun yang Anda lakukan kepada yang lain sepuluh kali lebih banyak akan terjadi kepada anda. Dan itu termasuk kedua-duanya, baik atau buruk.

Kapan pun kami mengambil taksi, pengemudi taksi akan secara otomatis menghidupkan argo meternya. Dan mereka tidak pernah mengambil rute yang lebih panjang untuk sampai di tempat tujuan. Selalu saja jalan pintas. Kapan pun kita berhenti di tempat belanja untuk membeli barang-barang makanan dan minuman dan keperluan lain, pengemudi taksi akan mematikan argo meter dan menunggu, berapapun lamanya. Maka kita tidak harus membayar ”waktu yang hilang” (lost time) .

Suatu kali sahabatku meninggalkan Blackberrynya di McDonalds. Kami sudah separuh jalan kembali ke vila sebelum ia menyadari ia telah kehilangan Blackberrynya dan kami curiga ia mungkin telah meninggalkannya di McDonalds, di mana kami berhenti terakhir. Kami minta sopir berputar dan kembali ke McDonalds, sekalipun kami tidak benar-benar berpikir bahwa Blackberrynya masih ada di sana.

Tetapi perhatikan dan lihat, Blackberry itu masih di sana. Seseorang telah menemukannya di konter dan menyampaikannya ke manajer. Betapa leganya temanku yang tentu tidak dapat menanggung kehilangan semua datanya.

Ada banyak contoh lain mengenai kejujuran dari orang Bali yang sangat mengesankan kami. Aku berkelakar bahwa jika aku belum mempunyai agama dan tengah mencari suatu agama aku mungkin akan menjadi seorang Hindu Bali. Demikian bagaimana aku terkesan dengan orang Bali Hindu.

Setelah Bali kami pergi ke Jakarta dan tiba-tiba itu adalah dunia yang lain sama sekali. Jakarta sebagian besar Muslim tetapi Anda tidak merasa aman dalam kota itu. Anda merasa seperti Anda terus menerus di bawah kepungan.

Tulisan Raja Petra berikutnya saya edit, beberapa istilah yang sangat kategoris, saya ganti dengan yang lebih umum, agar tidak relalu provokatif

”Mengapa tidak bisa orang-orang Jakarta seperti orang-orang Hindu dari Bali?” aku berkomentar kepada istriku. Aku sangat terkesan dengan orangorang Bali Hindu dan jijik akan orangorang Jakarta. Dan adalah orang-orang luar Bali yang menyebabkan semua huru- hara di Bali dengan pengebomanpengeboman dan macam-macam lagi.

Aku ingin percaya bahwa mayoritas orang Indonesa telah mengurangi agamanya kepada suatu agama ritual-ritual kurang komitmen untuk ideal-ideal dari agama. Akan tetapi orang Bali bahkan lebih ritualistik dibanding mayoritas orang Indonesia. Dalam kenyataannya, mereka (orang Bali) kelihatan seperti terus menerus sembahyang.

Aku harus mengacungkan jempolku untuk mereka. Ada sesuatu mengenai agama Hindu versi orang Bali yang membuat mereka orang-orang pantas dan sangat jujur. Tetapi apa itu? Aku pikir aku akan kembali ke Bali dan menghabiskan beberapa waktu mempelajari orang-orang di sana, secara khusus agama mereka. Aku perlu untuk menemukan apa yang menyebabkan mereka berbuat benar dan kita berbuat jahat.

Orang-orang Bali Hindu adalah suatu contoh yang sempurna dari orangorang Indonesia. Itulah yang mengganggu aku. Orang Bali Hindu adalah apa yang orang Indonesia seharusnya menjadi tetapi tidak. Dan aku benar- benar ingin menemukan mengapa itu harus demikian sekalipun itu adalah hal terakhir yang aku lakukan. (Sumber, MyHinduCommunity: Subject: Balinese Hindus)

Tulisan di atas pasti terdengar seperti gong kebyar di telinga orang Bali Hindu, tentu saja dengan mengesampingkan sementara berbagai kasus korupsi yang telah dan sedang digelar di pengadilan negeri Denpasar, atau desas- desus yang santer sekali tentang KKN di berbagai lembaga pemerintah daerah di Bali. Tulisan ini memang tidak dimaksudkan untuk memompa ahamkara orang Bali sampai meletus. Tulisan ini bermaksud menyampaikan sesuatu yang lebih tinggi dan karena itu mungkin kelihatan agak angkuh, yaitu bahwa agama Hindu yang dianut oleh orang Bali, tetapi sering dicitrakan secara negatif oleh orang non Hindu, misalnya sebagai penyembah berhala, penyembah tuhan palsu, ternyata mampu melahirkan etika atau moral yang terpuji. Paling sedikit oleh Raja Petra. Siapa Raja Petra ini?

Raja Petra bin Raja Kamarudin, lahir 27 September 1950 di Inggris, adalah seorang pangeran dari kerajaan Selanggor, dan editor web site Malaysia Today dan menerbitkan satu seri artikel komentar mengenai politik Malaysia. Karena komentarnya yang kritis terhadap penguasa, ia pernah ditahan dua kali di bawah Internal Security Act. (Undang-Undang Keamanan Nasional)

Datuk Syed Ali Alhabshee, Ketua Divisi Umno Cheras, membuat pernyataan agar pemerintah menghapuskan kewarganegaraan Raja Petra, karena dia tidak senang tinggal di Malaysia dan karena kegiatannya telah merusak kedamaian negeri itu.

Belajar Moralitas ke Partai Komunis

Partai Golkar dalam waktu dekat akan mengirimkan kader-kader mudanya untuk belajar di Sekolah Partai, Pusat Partai Komunis China. Golkar tertarik belajar pendidikan moralitas PKC dan penanaman ideology partai kepada kader-kadernya. Terkait dengan itu Gokar akan mengirimkan pemuda- pemuda Golkar berusia 20an tahun untuk tinggal atau homestay di rumah- rumah pengurus PKC. Dan sebaliknya kader PKC juga diundang untuk homestay di rumah para kader Gokar. (Kompas, Kamis 21 April 2011).

Di Indonesia partai yang berazas komunisme dilarang, karena Partai Komunis Indonesia pernah berontak dua kali terhadap NKRI, pertama tahun 1948 dan kedua tahun 1964. Di samping itu komunisme tidak mengakui adanya Tuhan dan melarang atau menindas agama. Agama, sebagaimana dikatakan oleh Karl Marx, nabi dari komunisme, adalah racun bagi rakyat banyak.

Bagi kaum agama, tidak beragama, apalagi tidak mengakui Tuhan, sama artinya dengan tidak bermoral, karena bagi mereka, satu-satunya sumber moral adalah kitab sucinya sendiri, yang merupakan satu-satunya katakata Tuhan yang benar. Bahkan kitab suci agama lain, bukan lagi sumber moral, karena kitab suci itu apakah buatan manusia atau buatan Tuhan tetapi telah diselewengkan oleh para pengikutnya.

Lalu mengapa sekarang Partai Golkar, partai yang pernah berkuasa selama hampir 30 tahun, dan sekarang merupakan mitra koalisi dari partai- partai agama, mau belajar moral ke Partai Komunis China? Mengapa tidak ke negara-negara yang berdasarkan agama? Mungkin karena Tiongkok sekarang maju pesat di segala bidang, ekonomi, teknologi dan olah raga. Pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia. Tiongkok sudah bisa mengirimkan astronot ke angkasa. Di samping itu pembrantasan korupsi dilakukan dengan sungguh-sungguh. Para koruptor kakap dihukum mati. Jadi jelaslah, bagi saya, bahwa etika atau moral tidak selalu lahir dari agama. Bisa juga dari ideologi ateis, dan dalam kasus Tiongkok etika yang lahir dari ideologi ateis lebih baik dari etika yang lahir dari agama. Tetapi sekalipun Tiongkok sekarang secara resmi menganut ideologi komunis ateistik, tampaknya ajaran Konfucius masih tetap melekat dalam tata nilai mereka. Salah satu ajaran dari maharsi Tiongkok ini adalah bahwa ”Kerja itu adalah doa”, mirip dengan ajaran Karma yoga di dalam Hindu, tindakan kerja yang tidak mementingkan diri sendiri, sebagai salah satu jalan untuk mencapai moksha.

Sebaliknya agama, terutama agama yang didrop dari langit, dapat menimbulkan kerusakan paling hebat atas sendi- sendi etika atau moral, melalui kekerasan yang dilakukan dengan mengatas namakan Tuhan.

sumber : http://www.mediahindu.net/index.php?option=com_content&view=article&id=113:moral&catid=3:artikel-umum&Itemid=6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net