Kamis, 07 April 2016

Upacara Nangluk Merana (Kasus Pelebon Jero Ketut)

Upacara Nangluk Merana (Kasus Pelebon Jero Ketut)


Berbicara upacara tradisional di daerah Bali tidak boleh lepas dari suatu evolusi sosial budaya pada masyarakat. Evolusi sosial budaya perkembangan umat manusia melewati empat gelombang peradaban : (1) peradaban yang berorientasi pada nilai peradaban asli orientasi pada kearifan lokal; (2) peradaban asli beraktualisasi dengan masuknya agama besar, termasuk Hindu; (3) peradaban yang bersinergi dengan nilai modern, termasuk politik, ekonomi, kekuasaan, iptek; (4) peradaban yang berorientasi pada keluhuran nilai luhur kemanusiaan atau humaniori.
Proses transformasi empat gelombang tersebut bersifat kontinu dengan ciri-ciri terdahului berlanjut; adanya nilai yang berakulturasi; ada yang beradaptasi; ada pula yang punah karena tak sesuai dengan perubahan. Kenyataan di Bali kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur asli selalu berakulturasi dan beradaptasi dengan nilai-nilai baru dari budaya-budaya asing (luar). Ciri-ciri seperti itu masih banyak terdapat pada upacara tradisional di Bali, khusus upacara tradisional Pelebon Jero Ketut (Kasus di desa Ababi Karangasem).
Mengapa ini yang dibahas, alasan karena sekarang, sedang terjadi Merana Jro Ketut di kabupaten Tabanan, sekarang di kabupaten Badung seperti diberitakan di koran-koran di Bali. Penulis membahas topik tentang kearifan lokal bersinergi dengan Hindu, dengan mengambil contoh upacara tradisional Pelebon Jero Kerut. Tujuan agar artikel berguna untuk menanggulangi Merana dari segi spiritual. Disamping itu upacara tradisional Pelebon Jero Ketut termasuk upacara "Nangluk Merana".
Akulturasi Kearifan Lokal dengan Hinduisme
Kearifan lokal atau lokal wisdom merupakan bagian dari kebudayaan, seperangkat pengetahuan, praktek dan tradisi yang sangat berguna bagi kemuliaan kehidupan dan sumber kehidupan. Kearifan lokal juga mengandung nilai luhur budaya yang perlu digali dikembangkan untuk memantapkan kualitas SDM. Jenis kearifan lokal; (1) kearifan lokal religius; (2) kearifan cultural : (3) kearifan ekologis; (4) kearifan institusional; (5) kearifan lokal ekonomis; (6) kearifan hukum; (7) kearifan keamanan; (8) kearifan teknologi. Kearifan lokal ini tersimpan pada sistem kepercayaan faktore, legende, mitos, pada hukum adat dan pada upacara tradisional termasuk upacara Pelebon Jero Ketut.
Kearifan lokal spiritual (religius); cultural maupun kearifan lainnya, bersinergi dengan Hinduisme. Hinduisme ajaran agama Hindu yang bersumber pada Susastra Hindu maupun pada Veda, juga ajaran suci percaya terhadap Ida Hyang Widhi Wasa yang bertujuan untuk menciptakan "Jagathita" atau "Bhakti" membina kemakmuran kehidupan masyarakat mengacu pada pemikiran tsb; nilai luhur kearifan lokal beraktualisasi dengan nilai luhur agama Hindu yang menjadi pedoman hidup masyarakat Bali yang religius.
Upacara Pelebon Jero Ketut, Sinergi Kearifan Lokal dengan Hinduisme
Seperti telah dijelaskan diatas upacara tradisional merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dengan Hinduisme yang masih survival di Bali. Upacara tradisional Pelebon Jero Ketut di desa Ababi Karangasem menurut penulis, merupakan upacara yang erat dengan nilai-nilai luhur kearifan lokal yang beraktualisasi dengan budaya Hindu yang masih diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakat Ababi Karangasem. Awal ceritanya, berdasarkan kepercayaan masyarakat Ababi Karangasem adalah sebagai berikut : suatu saat, tanaman padi masyarakat diserang hama bikul (tikus) yang cukup banyak, dengan berbagai usaha dilaksanakan tak berhasil dimusnahkan lebih-lebih ada bikul putih (tikus putih), diyakini bahwa hama tikus itu, dikendalikan oleh alam Niskala (dari Yang Maha Kuasa) maka harus dibuatkan upacara Pelebon Jero Ketut.
Upacara tersebut dilaksanakan karena ada ceritra dari masyarakat sbb: dahulu kala desa Ababi dirusak oleh burung sakti yang cukup besar yang tak bisa dikalahkan oleh orang sakti. Suatu malam pada saat kedis (burung) sakti sedang pules (tidur), datang segerombolan tikus cukup aneh pula, menggigit sayap burung sakti tersebut sehingga sayapnya habis. Karena sayapnya habis burung itu terjatuh ke tanah, dan burung sakti yang merusak desa Ababi, dapat ditangkap oleh masyarakat.
Peristiwa tersebut membawa hikmah bagi masyarakat desa Ababi, dibuatkanlah dengan iklasnya Pelinggih Gedong Jero Ketut (Bikul) dan kuburan Jero Ketut, disisi lain jasa Jero Ketut Bikul dianggap besar orang masyarakat Ababi, maka dibuatkanlah upacara kematian Pelebon Jero Ketut. Kepercayaan yang lain pula masih hidup berkembang di masyarakat, yang meyakini bahwa bikul (tikus) merupakan penjelmaan dari manusia yang meninggal salah pati, sehingga menjelma sebagai bikul (tikus). Penjelmaan atma manusia ke mercepada menjadi bikul berbagai warna, seperti bikul putih berasal dari pepusuhan manusia; bikul barak/tikus merah berasal dari hati manusia; bikul kuning berasal ungsilan manusia, bikul selem (tikus hitam) berasal dari nyali manusia.
Mengacu pada cerita diatas, menempatkan bahwa manusia yakin dengan adanya karma pala. Perbuatan yang tidak baik bisa inkarnasi menjadi binatang, maka dari ini masyarakat Ababi yakin, karena jasa bikul (tikus) itu harus dibalas dengan kebaikan, menyucikan arwah bikul dengan upacara Pelebon Jero Ketut dengan harapan agar arwah yang telah disucikan itu kembali ke asal, seandainya menjelma menjadi manusia yang baik.
Tahapan upacara Pelebon Jero Ketut, persis seperti upacara kematian (Pelebon) manusia. Upacara Pelebon Jero Ketut di desa Ababbi dilaksanakan 10 th sekali, tergolong upacara yang cukup besar. Upacara ini tergolong upacara Nangluk Merana dengan tata urutan upacara Penyucian tergolong upacara pitra yadnya. Menurut informasi, upacara suci harus dilaksanakan secara iklas dilandasi Tri Kaya Parisuda. Upacara tradisional Pelebon Jero Ketut mengandung berbagai nilai luhur sesuai dengan simbol maupun tahapan upacara yang dilaksanakan, intinya menyucikan arwah bikul (Jero Ketut) agar suci kembali ke asal (Ida Sang Hyang Widhi) dan tidak merusuh menganggu lagi di mercapada terutama pada tanaman padi. Kesejahteraan manusia alam tercipta, karena tak ada hama yang mengganggu kehidupan manusia.
Suatu harapan penulis sekarang masyarakat Tabanan dan Badung sedang dilanda hama tikus di sawah, apakah tidak mungkin hal seperti diatas (Pelebon Jero Ketut) dilaksanakan sesuai dengan keyakinan, tradisi masing-masing, karena bikul (tikus) juga ciptaan Tuhan. Upacara tradisional dilaksanakan, juga berfungsi untuk keseimbangan buana agung, buana alit, saling menolong, menghormati antar ciptaan Beliau.
Penulis juga membaca, dimana Bupati Tabanan memimpin pengroyokan tikus (14/7-09) dan sepakat akan dibuatkan upacara Somya dengan jalan niskala dengan Mretaka Tikus. Semoga hal ini menumbuhkan kesadaran keyakinan manusia di Bali, dimana mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi perlu saling mencintai, saling menghormati dan manusia sebagai mahluk tertinggi, ciptaan Ida Hyang Widhi yang mempunyai bayu, sabda, idep, perlu memantapkan menolong sesama ciptaan Tuhan, agar tumbuh keharmonisan dalam hidup ini. Hal di atas sesuai dengan bunyi salah satu Bhagawad Gita 15.7 yang menyatakan:
MAMAIVA A M SHO JIIVA LOKE JHVA BHUUTAH SANA ATANAH
Artinya :
Segala mahluk merupakan bagian dari diri-Ku yang abadi.
Makna dari isi susastra Hindu diatas bahwa segala mahluk ciptaan Ida Hyang Widhi merupakan percikan Tuhan yang perlu saling menolong, mengasihi satu sama lain untuk mewujudkan masyarakat jagadhia ya can iti dharmah. Upacara tradisional Pelebon Jero Ketut punya nilai luhur kearifan lokal berakturasi dengan nilai luhur Hindu yang menata keyakinan masyarakat Ababi khususnya dan masyarakat Hindu pada umumnya.
Source: Dra. S. Swarsi, M.Si l Warta Hindu Dharma NO. 512 Agustus 2009
sumber : http://phdi.or.id/artikel/upacara-nangluk-merana-kasus-pelebon-jero-ketut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net