Prabhaaya bhiksu revaca
Yogascaapi sevaasena
Dharmasyeke vinirnayah.
(Wrehaspati Tattwa, 25)
Maksudnya:
Sila artinya menjaga tradisi yang baik, yadnya artinya mengadakan homa. Tapa artinya mengendalikan indria, tidak diberikan pada objeknya. Daana artinya memberi. Prawerejya artinya wiku berpuasa Bhiksu artinya diksita, yoga artinya samadhi. Itulah perincian Dharma. Inilah yang disebut Jnyana.
DALAM kitab Wrehaspati Tattwa Sloka 25 ini dinyatakan rincian dari pengamalan Dharma yakni Sila, Yadnya, Tapa, Daana, Prabhaaya, Bhiksu dan Yoga. Apa yang diajarkan oleh Sang Hyang Iswara dalam Wrehaspati Tattwa ini, kelanjutan dari apa yang diajarkan oleh Sri Krisna dalam Bhagawat Gita XVIII.3 dan 5 menyatakan bahwa Daana, Yadnya dan Tapa tidak boleh dihentikan dalam hidup ini. Lebih-lebih Bhuwana Agung sedang berada pada zaman Kali di mana Dharma hanya berkekuatan satu menghadapi Adharma yang berkekuatan tiga kali kuat dibanding Dharma.
Agama Sang Diri di Bhuwana Alit tidak terpuruk oleh zaman Kali di Bhuwana Agung maka dalam diri harus diperjuangkan minimal berada pada zaman Dwapara. Agar dalam diri berada di atas zaman Kali hendaknya dilakukan dalam hidup ini minimal Daana, Yadnya dan Tapa.
Daana adalah melakukan Daana Punia baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Tujuannya melepaskan ikatan kita pada yang didanapuniakan. Di samping itu materi maupun nonmateri yang kita nikmati agar suci melalui jalan Daana Punia. Yadnya adalah dengan mengadakan Homa sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Wrehaspati Tattwa tersebut di atas.
Homa atau Agni Hotra ini adalah intisari dari pada Yadnya. Sedangkan Tapa adalah pengendalian hawa nafsu. Tidak henti-hentinya mengendalikan Wisaya atau gejolak nafsu. Dalam Sarasamuscyaa 260 dinyatakan Tapa negara kayasangsosana. Artinya: Tapa adalah kuat mengendalikan hawa nafsu.
Nafsu atau Kama adalah salah satu dari tiga pintu neraka. Dalam Bhagawad Gita XVI.21 dinyatakan ada tiga pintu yang dinyatakan akan mengantarkan orang menuju neraka. Yaitu Kama, Lobha dan Krodha. Jadi orang yang dikuasai oleh hawa nafsu, serakah dan marah menurut Bhagawad Gita dapat dipastikan akan masuk neraka.
Lebih-lebih pada zaman Kali ini kemungkinan lebih banyak orang menjelma dari neraka. Ciri-ciri orang menjelma dari neraka dinyatakan dalam kitab Canakya Niti Sastra.VII.17 seperti orang yang sering marah dengan meluap-luap, memusuhi sanak keluarganya sendiri, menjadi pelayan orang yang jahat, lebih banyak menggunakan kata-kata yang ketus dan kasar dalam komunikasi.
Pergaulannya dengan orang-orang hina seperti orang sombong, angkuh karena berkuasa, angkuh karena kaya, angkuh karena merasa bangsawan (kula kulina), angkuh karena sakti. Untuk menyelamatkan diri dari jebakan hawa nafsu seperti itu hendaknya beragama itu lebih ditekankan melakukan Tapa Brata.
Tapa itu bukanlah orang yang menjauhi keramaian lari ke tengah hutan. Justru Tapa itu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dalam dunia ramai di tengah-tengah masyarakat. Dalam kehidupan tersebutlah akan dijumpai banyak godaan yang menggugah berkobarnya hawa nafsu.
Dalam keadaan seperti itulah kekuatan diri diintensifkan agar tidak tergoda. Untuk mendapatkan kekuatan mental pada zaman Kali ini hendaknya beragama dengan lebih mengutamakan jalan Niwerti Marga.
Jalan Niwerti Marga itulah yang lebih diberikan prioritas melebihi beragama dengan jalan Praweri Marga. Jalan Niwerti Marga ini bukanlah suatu jalan ilmu hitam. Niwerti Marga itu adalah jalan Tapa untuk mengarahkan spiritual agama mereformasi diri menguatkan Guna Sattwam dan Rajah untuk menguasai Guna Tamah.
Dalam Wrehaspati Tattwa 21 dinyatakan kalau Guna Sattwam dan Guna Rajah sama kuatnya melekati Citta maka Guna Sattwam mendorong orang untuk berniat berbuat baik dan Guna Rajah yang mendorong untuk berbuat baik secara nyata. Untuk menguatkan Guna Sattwam dan Rajah dalam diri itu dengan jalan Tapa. Untuk melakukan Tapa itu diawali dari mengontrol jalannya pikiran, perkataan dan perbuatan.
Bertapalah dengan cara tidak mengizinkan hal-hal yang buruk masuk ke dalam pikiran. Caranya dengan selalu mengingat nama-nama suci Tuhan. Apalagi ada hal-hal yang kotor masuk ke dalam pikiran. Dengan demikian hal yang kotor itu terlupakan.
Demikian juga Tapa ucapan. Ucapkanlah Mantra suci atau nama suci Tuhan. Kalau lidah sudah terbiasa mengucapkan Mantra Weda atau nama suci Tuhan maka hal itulah yang disebut Tapa dengan ucapan. Jangan dibiarkan lidah dipakai mengucapkan hal-hal yang jahat, bohong, memfitnah dan mengucapkan kata-kata kasar.
Salah satu caranya dengan membiasakan lidah selalu mengecap makanan yang Satvika. Sedangkan Tapa perbuatan dilakukan dengan tidak mencuri, tidak membunuh dan tidak berzina. Jadinya Tapa itu menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari dalam masyarakat. * I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar