Agham sa kevalam bhungkte
Yah pacaatyaat makaranaat
Yadnyaasistaasanam hyeta tat
Sataam annam vidhiyate.
(Manawa Dharmasastra. III.118)
Maksudnya:
Orang yang menyiapkan makanan hanya untuk dirinya sendiri, sebenarnya ia memakan dosa. Karena sudah ditetapkan bahwa makanan orang bijaksana adalah makanan yang telah dipersembahkan sebagai Yadnya.
DALAM setiap upacara agama Hindu selalu ada jamuan makan bersama, terutama untuk menjamu tamu-tamu yang diundang dalam upacara yadnya tersebut. Adanya jamuan yang demikian itu memang diajarkan dalam Bhagawad Gita XVII.13 yang disebut Srsta Annam. Kalau ada upacara yadnya yang tidak disertai dengan jamuan makan bersama (Srta Annam) maka yadnya itu tergolong Tamasika Yadnya atau yadnya yang tergolong sangat rendah.
Jamuan makan bersama dalam upacara yadnya ini tentunya tidak dimaksudkan harus pesta-pesta yang mewah. Ia bisa diselenggarakan secara sederhana saja. Yang penting makanan yang disuguhkan adalah makanan yang Satvika, artinya makanan yang berkualitas rohani. Makan bersama itu adalah sebagai suatu simbol untuk mengingatkan kita secara rohani agar jangan bekerja mencari nafkah hanya untuk diri sendiri.
Upacara yadnya pada hakikatnya adalah media agama Hindu untuk menanamkan nilai-nilai Tattwa dan Susila agama Hindu kepada umat penganut. Dalam kitab Ayurveda dinyatakan ada tiga cara mengelola hidup untuk mewujudkan hidup yang sejahtera. Tiga cara mengelola hidup yang baik adalah Ahaar adalah menentukan cara mendapatkan dan memilih makanan yang baik dan benar.
Vihara adalah menentukan gaya hidup yang benar dan tepat sesuai dengan kenyataan hidup. Ausada adalah cara memelihara hidup sehat. Jadi di antara tiga cara mengelola hidup yang baik adalah menentukan kebijakan yang benar dan tepat dalam hal mencari dan memilih makanan sesuai dengan petunjuk ajaran agama Hindu.
Menurut kutipan Sloka Manawa Dharmasastra di atas, makanan yang baik dan benar itu adalah makanan yang didapatkan berdasarkan yadnya. Makna dari sloka tersebut adalah dari berbuat yadnyalah kita mendapatkan makanan. Berbuat yadnya itu adalah berbakti kepada Tuhan, mengabdi kepada sesama dan menyayangi isi alam dengan segala isinya (Bhuta Hita). Dari memutar roda yadnya (Cakra Yadnya) itulah manusia mendapatkan makanan yang dapat digolongkan makanan yang utama atau Satvika Ahara.
Dalam Manawa Dharmasastra III.115 dinyatakan orang dapat disebut manusia bodoh apabila ia makan sendiri tanpa memberikan makanan kepada mereka yang wajib diberi makan terlebih dahulu.
Mereka yang makan dengan lahap seorang diri kelak saatnya ia mati ia akan ditelan oleh anjing-anjing dan burung bangkai. Jadinya makan bersama seperti tradisi magibung dalam setiap upacara yadnya Hindu dimaksudkan sebagai simbol untuk mengingatkan umat agar janganlah mementingkan diri sendiri dalam hidup ini.
Di samping itu, makna bersama itu umumnya diberikan pada setiap puncak upacara yadnya. Hal ini sebagai ekspresi rasa bersyukur kepada Tuhan atas karunianya selama ini. Tradisi makan bersama itu dalam rangka upacara yadnya juga dijumpai dalam kehidupan beragama Hindu di India. Modelnya juga sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali dan Lombok.
Cuma kalau di India makanan yang disuguhkan makanan yang vegetarian yang umumnya disuguhkan dengan cara melingkar mengelilingi makanan yang disuguhkan. Hal ini sebagai simbol agar umat janganlah hanya memikirkan makanan untuk dirinya sendiri semata. Marilah bangun kebersamaan dalam berbagai bidang kehidupan untuk membangun hidup sejahtera bersama-sama.
Dalam tradisi umat Hindu di Bali ada istilah ''ngalih gae bareng-bareng apang paturu hidup''. Dalam bahasa Bali itu bermaksud untuk mendorong masyarakat bekerja sama untuk dapat hidup sejahtera bersama-sama. Makan bersama itu juga menunjukkan rasa bersyukur kepada Tuhan. Karena kebersamaan yang sungguh-sungguh itulah yang akan dapat meraih karunia Tuhan.
Yang penting dalam tradisi magibung itu adalah adanya tindak lanjut untuk memaknai arti magibung tersebut. Jangan berhenti di tingkat pesta berhura-hura saja. Tindak lanjut itu adalah dalam wujud kerja sama yang lebih nyata dalam membangun kesejahteraan bersama seperti yang dicerminkan dalam magibung itu.
Misalnya, menghimpun dana punia dalam setiap kegiatan keagamaan untuk memajukan pendidikan generasi muda membangun SDM yang Suputra. Membangun kerja sama ekonomi yang benar-benar normatif membuka lapangan kerja mewujudkan kesejahteraan bersama yang benar-benar adil.
* I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar