Dvaaram naasanam aatmanah
Kaamah krodha tathaa lobhas
Tasmaad etat trayam tyajet
Maksudnya:
Pintu mereka yang mengantarkan jiwatman pada kehancuran ada tiga yaitu: Kaama (dorongan nafsu), krodha (dendam dan benci) dan lobha (rakus). Oleh karena itu, orang hendaknya menghindari ketiga pintu neraka itu.
HIDUP yang hanya mengejar kesenangan indriawi akan terjerumus pada hidup untuk mengumbar keinginan yang didorong oleh hawa nafsu. Kalau keinginannya itu sedikit saja terhalang, orang akan terjerumus pada kemarahan, dendam dan benci. Pengumbaran hawa nafsu itu membutuhkan banyak benda-benda pemuas hawa nafsu. Karena itu, orang yang demikian itu cenderung rakus atau lobha pada benda-benda duniawi sampai merugikan orang lain dan mengabaikan kebenaran.
Pengumbaran hawa nafsu, marah dan rakus tiga perilaku ini dapat menghancurkan moral dan mental bangsa. Bagi mereka yang melakukan yadnya janganlah semata-mata hanya melangsungkan upacara keagamaan dalam wujud fisik. Lanjutkanlah dengan mewujudkan nilai-nilai suci seperti rela menahan diri dan tidak bersenang-senang di lautan kemiskinan rakyat.
Janganlah mengumbar nafsu marah, benci dan dendam dalam menyelesaikan masalah. Ada juga orang marah kepada mereka yang tidak mau sejalan atau bersekongkol dengan dirinya. Rakus menikmati hasil-hasil pembangunan sampai menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.
Mampu menahan keinginan, tidak mudah marah, apalagi dendam dan tidak rakus. Orang yang demikian itu akan dapat meringankan beban masyarakat dari hidup yang penuh beban yang memberatkan. Sikap emosional sampai melakukan tindakan brutal, karena dalam masyarakat terjadi ketidakadilan yang sangat merisaukan. Ketidakadilan itu timbul karena ada sementara masyarakat yang kebetulan memiliki akses di tingkat elite kurang mau menahan diri untuk tidak hidup bersenang-senang.
Di samping itu, ada sekelompok orang juga sangat rakus mengambil keuntungan material dalam proses ekonomi yang cenderung masih kapitalistis dan aji mumpung. Rakus itu terjadi di kalangan kehidupan berbisnis, birokrasi, politik dan juga penegakan hukum. Hal inilah yang banyak ditiru oleh masyarakat. Mengapa bisa demikian? Karena contoh menahan diri sebagai perwujudan beryadnya tidak mereka dapatkan dari atas. Bahkan, cendrung pukul rata semua usaha bisnis, birokrat, para politisi, maupun penegak hukum cenderung rakus, sewenang-wenang, mementingkan diri sendiri dan seterusnya.
Padahal, masih ada pebisnis, birokrat, politisi maupun penegak hukum yang tidak rakus, tidak sewenang-wenang, penuh dedikasi pada fungsi dan konsisten untuk bekerja sesuai dengan swadharmanya masing-masing. Inilah bahayanya kalau rakyat sudah kehilangan kepercayaan. Meskipun demikian, mereka yang masih peduli untuk beryadnya lakukanlah yadnya dengan mengorbankan diri untuk menahan gejolak hawa nafsu, tidak mudah marah atau tersinggung menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan.
Kalau banyak orang memiliki ketetapan hati untuk mau beryadnya dengan menahan gejolak nafsu marah dan tidak serakah, pasti wara nugraha Hyang Widhi akan dapat diraih berupa kehidupan yang dinamis penuh kasih sayang tanpa kekerasan. Hal itu akan lebih cepat dapat dicapai apabila mereka yang berada di atas tidak menggunakan uang dan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya melalui kelemahan-kelemahan hukum yang ada.
Masyarakat umum yang tidak kuat daya tahannya akan mudah terpancing ikut-ikut memaksakan kehendaknya. Karena mereka tidak punya kekuasaan dan uang maka emosi dan kekuatan digunakan untuk memaksakan kehendaknya. Dalam hal inilah perlu ada kepeloporan mereka yang masih punya hati nurani. Apakah mereka yang berada di kelas atas maupun yang berada di akar rumput untuk meyakini bahwa menahan diri itu sebagai suatu Yadnya yang utama. * I Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar