Oleh “ I Ketut Wiana
Sifat manusia dibentuk oleh Tri Guna.Ada
yang menonjol sifat Thamasiknya,ada yang sangat Rajasik dan ada juga yang hidupnya sangat tenang dan damai karena dikuasai oleh Guna
Sattwam. Disamping memiliki sifat
yang beraneka ragam, manusia juga memiliki kemampuan yang sangat
berbeda-beda.Karena itu cara beragamapun bagi ketiganya berbeda-beda.Banten
ibarat alat peraga bagi siswa yang sedang belajar. Bagi anak-anak tingkat
Sekolah Dasar alat peraga itu sangat dibutuhkan.Menghitung sederhana saja
mereka membutuhkan alat peraga seperti lidi dll. Namun kalau sudah Mahasiswa
menghitung sederhana seperti itu tentunya tidak perlu pakai alat
peraga.Demikian juga halnya dengan Banten sebagai sarana Upacara Keagamaan
Hindu.Banten itu adalah sarana sebagai alat peraga melakukan bahkti. Penggunaan
tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis hewan sebagai sarana upacara berdasarkan Manawa Dharmasastra V.40.Tumbuh-tumbuhan
dan hewan yang dijadikan sarana upacara Agama akan lahir dalam tingkatan yang
lebih tinggi pada kelahiranya yang akan datang. Demikian juga dalam Sloka berikutnya yaitu V.41 dan 42 ditegaskan
bahwa :seorang Dwijati yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda,menyemblih
seekor hewan dengan tujuan tersebut,menyebabkan dirinya sendiri bersam-sama
hewan tersebut masuk kedalam keadaan yang sangat membahagiakan. Namun
dalam adyaya V Sloka 43 disebutkan seorang
Dwijati sama sekali tidak boleh menyakiti makhluk lain kalau tidak berdasarkan
Weda. Dalam sloka selanjutnya ada makna yang menegaskan tidak dibenarkan
menyemblih hewan untuk tujuan rekreatif. Bahkan dalam Adyaya V,Sloka 54
disebutkan bahwa sangat besar pahalanya
kalau orang mampu tidak makan daging. Dalam Sloka 55 ditegaskan lagi bahwa”
Mamsah “ yang berarti daging pada hakekatnya
dinyatakan oleh orang-orang bijkasana berarti “saya dia” yaitu yang
dagingnya saya telan dalam hidup ini, ia yang menelan saya kemudian hari. Dalam
kehidupan beragama Hindu di Bali sudah disediakan tingkatan-tingkatan upacara untuk semua jenis sifat dan watak serta kemampuan
umat.Bagi mereka yang ingin melakukan upacara Agama tanpa menggunakan hewan yang disemblih pilihlah upacara yang
kecil dari wujud fisiknya namun nilai spiritualnya tidaklah kalah dengan yang
besar. Kalau memilih yang kecil sehingga tidak perlu memakai daging hewan yang
disemblih.Misalnya untuk Bhuta Yadnyanya dapat digunakan Segehan saja.Karena
segehan lauk pauknya cukup bawang jahe. Kalau dalam bentuk yang lebih besar
sepanjang petunjuk-petunjuk Lontar yang ada umumnya disemblih seperti Caru Eka
Sata,Panca Sata dst. Namun dalam kehidupan beragama yang lebih banyak
memberikan pilihan pada umat Lontar-Lontar
tersebut dapat di tafsirkan ulang oleh para
Pandita untuk disesuaikan dengan
perkembangan pemahaman umat dalam
melakukan Upacara yadnya.Dalam prektek saya sering menjumpai Pandita
membolehkan orang Nyambleh menggunakan anak ayam dan kucit tanpa perlu memotong
leher ayam dan kucit tersebut..Cukup
dipersembahkan dengan mencabut
bulu kepalanya dan terus dilepas tersebut.Cukup
dipersembahkan dengan mencabut bulu kepalanya saja kemudian anak ayam dan kucit
itu dilepas.Lebih-lebih pada jaman Kali ini tekanan beragama bukanlah pada
Upacara yadnya tetapi pada pelayanan kepada sesama dan alam serta pemujaan pada
Tuhan dalam wujud Japa dan Dhyana. Wujud Upacara Agama sebaiknya pilihlah yang
lebih sederhana saja,namun lebih menekankan pada aspek spiritualnya dan
pelayanan sosial yang langsung menyentuh kehidupan yang lebih nyata dalam masyarakat.
BUBUKSAH
DAN GAGAK AKING.
Dalam
lontar Bubuksah dan Gagak Aking ada
diceritrakan dua orang bersaudara yaitu Gagak Aking dan adiknya Bubuksah.
Keduanya Nangun Tapa. Kakaknya bertapa di bagian tengah gunung dan adiknya
dipangkal gunung. Kakaknya yang bertapa diatas tidak makan daging. Namun
Bubuksah dibawah adalah memakan daging. Keduanya bersaudara dan tidak saling
mencela.Mereka berdua saling kasih mengasihi dan hormat menghormati.Mereka
tidak pernah mempertentangkan tentang cara mereka bertapa. Kedua-duanya mendapatkan kesempurnaan rokhani.Akhir ceritra
kedua-duanya mencapai Moksha. Ceritra ini adalah ceritra Lontar di Bali.
Nampaknya perbedaan pandangan tentang penggunaan daging dan makan daging itu
sama-sama memiliki landasan yang kuat dalam Sastra Agama Hindu.Hal ini menimbulkan perbedaan persepsi tentang hal
itu .Untuk tidak menimbulkan pertentangan maka munculah ceritra Bubuksah dan
Gagak Aking tersebut. Ceritra tersebut untuk menjembatani perbedaan tersebut.
Yang terpenting dalam memahami perbedaan itu adalah saling hormat menghormati
dan tidak saling mencela dan mengunggulkan pandangan masing-masing. Hindu
memberikan jalan yang cukup luas kepada setiap orang dan setiap golongan untuk
menuju jalan kebenaran dan jalan Tuhan. Mencela orang lain adalah
Himsa.Meskipun kita seorang yang tidak makan daging namun kalau sehari-hari
kerja kita hanya mencela saja itu bukanlah seorang pengamal ajaran Ahimsa. Mengamalkan ajaran
Ahimsa tidaklah sekedar tidak makan daging. Hal itu baru permulaan yang awal saja. Kalau salah cara
memahami kita bisa egois merasa diri paling suci dan paling beragama dan
menganggap semua orang yang makan daging itu adalah raksasa. Kalau vegetarien
sebagai pilihan yang dirasakan sangat
baik lakukanlah hal itu dengan sungguh-sungguh tanpa mencela dan tidak
merasa diri super Lebih-lebih dalam soal membunuh tidak ada satu orang pun yang
hidup di dunia ini lepas dari mebunuh. Menurut Manawa Dharmasastra III,68
menyebutkan setiap Kepala Keluarga memiliki lima tempat penyemblihan yaitu
tempat masak,batu pengasah,sapu,lesung, dan alu. Membunuh itu memang dosa.
Untuk menebus Dosa tersebut Manawa Dharmasastra III,69 mengajarkan agar setiap
keluarga melakukan Panca Yadnya setiap hari. Panca Yadnya tersebut adalah dalam
wujud upacara berbentuk Yadnya Sesa
habis masak. Sebaiknya lengkapi pula dengan melakukan Japa,Dhyana dan Seva sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Yang terpenting adalah adanya perobahan dalam
diri menuju perobahan yang semakin baik dalam kehidupan sehari-hari. Inilah
tujuan beragama.
MENYEMBLIH KEMALASAN DAN KESERAKAHAN.
Hidup adalah perjuangan sepanjang jaman. Kita
selalau berjuang menghadapi pergolakan
baik buruk,benar salah. Kalah
berjuang melawan pergolakan tersebut kita akan ditimpa oleh
kemiskinan moral dan kemiskinan
material. Salah satu bentuk kekalahan tersebut adalah berupa kemalasan dan keserakahan.. Kemalasan
akan melahirkan kemiskinan kultural. Keserakahan akan melahirkan kemiskinan
struktural. Meskipun Tuhan sudah menciptakan alam yang subur kalau kita malas
kesuburan alam tersebut tetap akan membuat kita menjadi miskin ibarat
ayam mati bertelor dilumbung padi. Meskipun kesempatan kerja melintang luas dihadapan kita kalau kita
malas kitapun juga akan tetap miskin.. Keserakahan akan membuat
orang lain menjadi miskin.
Pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan membawa pemerataan yang adil
kalau dalam pertumbuhan tersebut ada pihak-pihak yang serakah mementingkan
diri sendiri dalam menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut.. Hasil
pembanguan ekonomi misalnya haruslah
dibagikan secara adil kepada pengusaha,pekerja dan pajak untuk negara..
Kalau pengusaha itu adalah orang yang
serakah iapun akan mementingkan dirinya sendiri saja. nasib karyawanpun akan
manjadi miskin. Demikian juga kalau
aparat negara itu serakah pajakpun akan diselewengkan untuk kepentingan dirinya
sendiri.. Rakyat kecilpun tidak akan mendapatkan dampak positif dari suatu pertumbuhan
pembangunan tersebut.. Keserakahan
itulah yang akan menimbulkan kemiskinan struktural.. Karena itu salah
satu makna perayaan Galungan adalah untuk melawan sifat-sifat malas dan serakah
itu. Malas dan serakah adalah perwujudan Adharma dalam diri.. Dalam mitologi
Galunagn Adharma itu dilukiskan sebagai Sang Kala Tiga Galungan. Malas dan
serakah adalah wujud nyata dari
sifat-sifat Sang Kala Tiga Galungan tersebut
Sang Kala Tiga Galungan itu dilukiskan turun pada waktu Redite Paing
Wuku Dungulan. Pada hari inilah dianjurkan oleh Lonatr Sunarigama untuk
melakukan “
Anyekung Jnyana Nirmalakena . Artinya memusatkan dan
menyucikan potensi rokhani. Sedangkan
Senin Pon melakukan Yoga Semadhi. Pada Hari Penampahan Galungan disimbolkan untuk melenyapkan segala
sifat-sifat Sang Kala Tiga Galungan tersebut. Pada Hari Penampahan
Galungan umat Hindu melakukan Upacara Natab Sesayut Penampahan untuk
menghilangkan sifat-sifat Kala tersebut. Hal ini dilukiskan melakukan Pamiak
Kala Lara Melaradan. Artinya
menghilangkan sifat-sifat Kala Tiga yang
menimbulkan penderitaan dan kemelaratan. Pada Hari Penampahan ini umat pada
umumnya menyemblih ayam dan babi untuk melengkjapi sarana upacara. Sesungguhnya
bukan menyemblih ayam dan babi itu
menjadi ciri utama penampahan Galungan .
Yang paling penting hari itu kita di ingatkan untuk menyemblih sifat-sifat
malas dan serakah. Babi lambanag sifat
malas dan ayam lambang sifat serakah,suka bertengkar dan mementingkan diri
sendiri.
MENYEBARKAN
KEMENANGAN KESELURUH PENJURU
Pada
Hari Raya Galungan umat menghaturkan
Banten Galungan .Salah satu unsur Banten Galungan yang penting adalah ada yang
disebut Banten “ Pakideh”. Banten Pakideh ini seperti Banten Sodaan biasa cuma
nasinya dibuat dari dua tumpeng kembar
yang kecil-kecil ditambah dengan Pelas dan Kecai. Pada waktu Galungan Banten inilah yang diaturkan kesegala tempat
pemujaan diwilayah Desa seperti Kahyangan Tiga,
Pura Subak,Pura Melanting Pura Penataran, Pemujaan Keluarga dll.. Banten
Pokok lainya adalah Tumpeng Galungan yang lebih besar dari Tumpeng Pakideh Pada wacana Galungan kali ini saya akan bahas tentang Banten Pakideh.. Menurut Guru
saya Ibu IGst Agung Mas Putra (almarhum). Pakideh itu berasal dari kata “ paha dan ideh “. Paha dalam bahsa Bali membagi-bagikan dan “ideh”
artinya keliling atau keseluruh penjuru.. Tumpeng kembar itu adalah lambang
keseimbangan lahir batin sebagai hasil kemenangan Dharma melawan Adharma. Kemenangan ini ada yang dicapai secara
individu ada yang dicapai secara bersama-sama.. Sebagai makhluk sosial manusia
tidaklah benar kalau ia hanya asiik pada
kenikmatanya sendiri. Manusia harus
saling memperhatikan satu sama lainya secara benar. Bagi mereka yang nasibnya
beruntung jangan lupa memperhatikan nasib mereka yang belum beruntung. Marilah
kita ingat doa Parhlada yang tidak mengharapkan Kerajaan (jabatan),tidak pula
mengharapkan Sorga,tidak pula mengharapkan menjelma menjadi manusia yang hebat.
Hanya satu yang ia harapkan adalah “
mengabdi pada mereka yang menderita”. Jadinya nilai spiritual dari Banten Pakideh itu untuk menyebarkan kemenangan
Dharma itu pada mereka yang menderita. Mereka yang menderita itu adalah mereka
yang miskin materi,miskin rokhani, yang ketakutan,yang sedih,yang sakit, yang
kecewa, yang putus asa, yang suka marah, yang mudah tersinggung, yang sering
kasar ,yang membutuhkan bantuan dan juga mereka yang sombong, yang
angkuh,egois.,rakus serta mereka yang mabuk akan kekayaan,kekuasaan maupun karena kepandaianya.. Kalau anda kebetulan sebagai pegawai disuatu instansi
layanilah dengan tulus mereka yang membutuhkan pelayanan sesaui
dengan ketentuan. Jangan lah mereka dijadikan objek untuk diperas. Janganlah
mereka yang berperkara dijadikan objek untuk mengeruk kekayaan. Bagi yang
bekerja di bidang kesehatan janganlah orang sakit dijadikan objek untuk mencari
kekayaan.. Kalau anda seorang penguasa janganlah kekuasaan itu dijadikan alat untuk
menimbun kekyaan. secara tidak benar. Jadikan semua keberuntungan itu sebagai kesempatan untuk mengabdi pada mereka
yang membutuhkan . Tentunya sesuai dengan kemampuan Nilai-nilai spiritual
Galungan itu janganlah dibiarkan mentok ditingkat ritual semata.. Melayani mereka yang
menderita itu bukanlah berarti memanjakan mereka yang menderita seperti
membagi-bagikan sembako cuma-cuma. Namun bangkitkanlah semangat hidup mereka .untuk mengatasi penderitaanya.Inilah bantuan
yg terpenting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar