Umat Hindu di Bali
sangat yakin bahwa orang yang belum melangsungkan upacara Mepandes atau Potong
Gigi akan mendapat siksaan di alam Neraka. Karena itu kalau sudah meningkat
remaja orang tua sianak akan berusaha agar anaknya sudah melangsungkan upacara Mepadnes
tersebut. Bahkan banyak juga umat yang berusaha agar putra-putranya sudah
potong gigi sebelum anaknya memasuki jenjang perkawinan..Kewajiban untuk
melangsungkan Upacara Potong Gigi ini tercantum dalam Lontar Atma Prasangsa.
Dalam Lontar tersebut dinyatakan bahwa kalau orang meninggal namun belum
diupacarai Potong Gigi maka setelah di alam Sunya rohnya akan ditugaskan mengigit bambu Petung. Di Bali disebut "
Pedagalan Tiying Petung ". Dapat dibayangkan betapa tersiksanya kalau gigi
itu terus disuruh memgigit bambu petung.Betapa gigi menjadi ngilu kalau terus
menggigit bambu .Bunyi Lontar Atma Prasangsa inilah yang menyebabkan orang yang
meninggal diupacarai potong gigi kalau waktu hidupnya belum sempat diupacrai
potong gigi. Sesungguhnya memaknai isi Lontar Atma Prasamngsa itu tidaklah sebatas
dengan upacara semata. Maksud Lontar tersebut mendidik umat agar sebelum
ia meninggal berusahalah berbuat baik menghilangkan keserakahan. Menghilangkan
keserakahan itu adalah tujuan utama dari upacara potong gigi itu. Siapa dapat
menghilangkan keserakahanya dengan menguasai Sad Ripunya ia pasti terjamin
tidak masuk neraka.Menggigit bambu petung itu adalah lambang hukuman di Neraka
karena semasa hidupnya belum mampu menghilangkan keserakahan atau Sad Ripunya.
Mengapa upacara potong gigi umumnya diupayakan sebelum orang itu melangsungkan
perkawinan.Ini juga suatu pendidikan bahwa kalau belum dewasa atau belum mampu
menguasai Sad Ripu janganlah membangun
rumah tangga terlebih dahulu.Berumah tangga tanpa kedewasaan akan menjadikan
rumah tangga itu sebagai wadah penderitaan. Demikian dalam sesungguhnya makna
dari tradisi beragama Hindu tersebut yang dituangkan dalam bentuk ritual.
Tradisi ritual tersebut mengandung makna untuk memotivasi setiap orang atau
keluarga agar berusaha terlebih dahulu mendewasakan putra-putranya.Salah satu
cara mendewasakan putra-putranya itu adalah dengan dorongan ritual keagamaan yang sakral. Upaya
Sekala mendewasakan anak - anak dan upaya Niskala dengan upacara potong gigi
ini harus dilakukan secara sinergis.Seandainya belum sempat dilakukan karena
keburu meninggal maka saat itupun dapat dilakukan secara simbolis. Upacara
tersebut sesungguhnya wujud dari doa atau Puja Mantra sebagai upaya kita yang
masih hidup. Upacara Potong Gigi bagi mereka yang telah meninggal ada yang
menganggap melukai jazad .Menurut ketentuan Lontar Sang Hyang Aji Proktah
sangat dilarang melukai jazad orang yang meninggal itu. Dalam Lontar Sang Aji Proktah disebutkan "ngeluding
wangke ".Perbuatan ini diyakini sebagai perbuatan dosa kepada mereka yang
meninggal itu. Menyangkut perbedaan antara ketentuan Lontar Atma Prasangsa dengan Lontar Sang Hyang Aji
Proktah telah diambil suatu keputusan oleh
PHDI yang didahului oleh suatu seminar kesatuan tafsir. Kesataun tafsir
itu dilakukan berdasarkan pada konsep mati menurut ajaran Hindu. Ada dua
pengertian mati yaitu mati menurut
Tattwa
dan mati menurut
Upacara Agama. .Menurut kitab Wrehaspati Tattwa orang disebut mati apa bila
Atman telah lepas dari badan kasar yang
berasal dari Panca Maha Bhuta. Mati itu disebut mati menurut Tatwa..Tatwa
artinya hakekat.Sedangkan menurut Upacara
orang tersebut belum syah matinya menurut ketentuan Lontar Pratekaning
Wong Pejah.Menurut ketentuan lontar tersebut orang baru syah meninggal setelah
melalui prosesi upacara. Pada awalnya
jenazah itu dimandikan layaknya orang hidup. Diberi pakaian seperti
masih hidup. Prosesi ini menggambarkan sebagai orang yang masih hidup. Terus
disembahyangkan ke Surya mohon
persaksian Tuhan, ke Kahyangan Tiga
terus ke Kawitanya . Saat i meninggal secara Tatwa itu upacara potong gigi dilangsungkan. Alat yang
dipakai mapar giginya adalah bunga tunjung sehingga tidak melukai jazadnya.
Upacara selanjutnya adalah melangsungkan Upacara Mapepegat simbol mati secara
Upacara Agama. Upacara ini sebagai simbol
perpisahan dengan keluarga yang masih hidup. Setelah upacara Mapepegat
barulah jazadnya digulung dengan kain kafan. Barulah syah orang tersebut
dinyatakan meninggal secara upacara Agama. Dengan cara seperti itu kedua
ketentuan Lontar tersebut dapat
dijalankan dengan baik.
penulis : I Ketut Wiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar